Belakangan ini, ramai diperbincangkan oleh kalangan dunia usaha soal wacana menurunkan ambang batas PTKP (penghasilan tidak kena pajak). Di saat yang sama, ramai digunjingkan isu pelemahan daya beli masyarakat dikaitkan dengan penutupan gerai-gerai ritel. Lepas dari benar tidaknya isu pelemahan daya beli tersebut, penutupan gerai-gerai ritel tentu langsung memunculkan masalah baru yakni ancaman pengangguran.
Sebab itu, diperlukan suatu kebijakan fiskal yang secara langsung dapat mendorong gairah perekonomian rakyat. Salah satu instrumen itu ada diperpajakan yakni Penghasilan Tidak Kena Pajak (non-taxable income) atau PTKP. PTKP merupakan batas penghasilan yang tidak dikenakan pajak. PTKP ini diatur dalam Pasal 7 UU No.36 tahun 2008 yang merupakan pengembangan dari UU No.7 tahun 1983 tentang penghasilan. Sejak dijadikan UU, sudah ada 7 (tujuh) kali penyesuaian PTKP. Namun dalam satu dekade terakhir sudah ada 4 (empat) kali penyesuaian dan semua penyesuaian itu, PTKP dinaikkan. Bukan diturunkan nominal abang batasnya.
Mencuatnya ide menurunkan PTKP dilatari oleh upaya pemerintah untuk terus mengeksplorasi sumber-sumber pendapatan dari pajak guna menopang Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN). Pendapatan negara 2018 diproyeksikan sebesar Rp 1.878,4 triliun. Penerimaan dari perpajakan diproyeksikan sebesar Rp 1.609,4 triliun. Sedangkan, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 267,9 triliun dan dari hibah sebesar Rp 1,2 triliun. Pemerintah memang perlu terus menaikkan target pajak dan utang, menyusul kian lesunya pendapatan negara dari sumber lainnya.
Namun, apakah dengan menurunkan PTKP hingga sesuai Upah Minimun Regional (UMR) dari saat ini Rp 4,5 juta, pendapatan pajak akan meningkat dengan sendirinya? Ternyata tidak demikian. Sebab, data membuktikan, ketika PTKP dinaikkan, pendapatan dari pajak justru meningkat signifikan.
Kenaikkan PTKP sudah terjadi sebanyak 4 kali dalam 10 tahun terakhir. Sebanyak itu pula, penerimaan dari PPh 21 terus meningkat. Bukannya menurun. Peningkatan paling signifikan terjadi pada 2008 sebesar 30,90%. Selanjutnya pendapatan PPh 21 terus meningkat rata-rata sebesar 15,67%. Kenaikan PTKP juga berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat dan berujujung pada melonjaknya pendapatan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan PPh 22 Impor setiap tahun.
Dampaknya malah sangat positif terhadap usaha rakyat. Itu terlihat dari kenaikan PTKP juga berdampak positif pada PPh Final Pasal 4 ayat 2. Rata-rata kenaikkan mencapai 20%. Bahkan pada 2015 ketika PTKP naik 48,1% PPh pasal 4 ayat 2 justru naik signifikan sebesar 38% dari Rp 87,32 triliun menjadi Rp 120,11 triliun.
Loh kok bisa begitu? Begini logikanya, semakin kecil pajak yang dibayar setiap rumah tangga, warga akan memiliki uang yang cukup untuk konsumsi, berinvestasi, meningkatkan simpanan, deposito, membeli obligasi, membuka usaha, dan lain-alin. Semakin besar pendapatan masyarakat makan semakin besar pula kemampuan belanja masyarakat. Semua kegiatan produktif warga di atas tentunya kemudian dikenakan pajak. Di sinilah kemudian pendapatan negara dari pajak dengan sendirinya meningkat. Bonusnya adalah ekonomi bergerak, industri bertumbuh, peluang usaha tercipta dimana-mana, dan lapangan kerja terbuka lagi dimana-mana pula.
Bonus Lainnya
Bonus lainnya ketika PTKP dinaikkan, membuka peluang bagi karyawan berpenghasilan kecil untuk mencapai Standar Kebutuhan Hidup Layak (SKHL). UMR ditetapkan Pemda dengan mempertimbangkan SKHL. Sebagian besar dari karyawan bergaji UMR ini berasal dari usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). UMKM adalah penyerap tenaga kerja terbesar di republik ini, yakni sebesar 97,2% dari total tenaga kerja yang ada, dengan total unit UMKM yang mencapai 56,2 juta unit usaha. Sekitar 98,82% dari jumlah itu adalah usaha mikro. Sisanya, usaha kecil dan menengah. Tidak hanya itu, UMKM juga memiliki kontribusi dalam PDB (Produk Domestik Bruto) yang mencapai Rp 4.303 triliun/tahun atau hampir 50% dari PDB keseluruhan. Dengan menaikkan PTKP, sejatinya pemerintah juga membantu memperkuat pilar utama perekonomian kita yakni UMKM dan koperasi termasuk didalamnya.
Dan, yang mesti diingat lagi, pada RAPBN 2018, pemerintah menetapkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen. Target tersebut akan dicapai melalui belanja pemerintah sebesar Rp 2.204 triliun. Namun harus diingat pula, APBN semata tidaklah cukup, bahwa konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi nasional. Konsumsi ini jangan dilemahkan oleh beban kebijakan perpajakan yang sifatnya sesaat. Dia musti ditopang oleh kebijakan perpajakan yang sifatnya jangka panjang, pro pertumbuhan, dan yang lebih penting lagi, pro pada iklim usaha, menciptakan lapangan kerja baru, agar daya beli masyarakat makin kuat.
Oleh: Rizal Calvary Marimbo, Pemerhati Kebijakan Publik