HukumPolitik

Tolak Pasal Penghinaan Presiden, Fahira: Kalau Tidak Kuat, Jadi Rakyat Biasa

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pasal penghinaan presiden yang akan dihidupkan lagi di Rancangan KUHP terus menjadi polemik hangat. Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris menolak keras usul tersebut.

Menurut Fahira sudah seharusnya seorang presiden memiliki telinga tebal dan hati sekeras baja menerima kritik di negara Demokrasi seperti Indonesia.

“Menjadi Presiden di negara demokrasi seperti Indonesia ini, memang berat, karena telinganya harus tebal dan hatinya harus sekuat baja. Ini sudah jadi konsekuensi logis,” kata Fahira di Jakarta, Jumat (9/2/2018).

Fahira berpendapat, Presiden di negara demokratis harus punya kelebihan di atas rata-rata rakyat biasa.

“Salah satunya tahan banting terhadap segala macam kritik bahkan hujatan. Kalau tidak kuat, jadi rakyat biasa saja, jangan jadi Presiden. Tapi saya Yakin Pak Jokowi kuat,” tegas putri dari politisi senior Partai Golkar itu.

“Untuk itu kita harus tolak pasal penghinaan Presiden dalam RKHUP!”, seru Fahira Idris.

Bayangan Zaman Otoriter

Baca Juga:  Aliansi Pro Demokrasi Ponorogo Tolak Hak Angket Pemilu 2024

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon sependapat dengan Fahira. Jika pasal tersebut diberlakukan kembali, Fadli menilai itu akan kembali pada zaman otoriter. Ia berpandangan, ada kemunduran total pada demokrasi jika pasal tersebut dimasukkan dalam Rancangan KUHP.

“Menurut saya sih tidak perlu. Saya kira ini akan membuat kita kembali ke zaman otoritarian dan masyarakat tidak bisa mengkritik. Saya kira ini satu kemunduran total terhadap demokrasi kita,” kata Fadli kepada Detikcom, Jumat (9/2/2018).

Menurut Fadli, kritik terhadap presiden memang sudah semestinya. “Presiden wajib dikritik dong kalau salah. Masak yang boleh hanya puja-puji saja. Ini kan negara demokrasi,” tuturnya.

Di hari yang sama, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti berpandangan wacana tersebut akan melampaui dua hal. Pertama, pasal penghinaan presiden sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan pembatalan pasal penghinaan presiden oleh MK itu dilakukan pada tataran norma bukan redaksi.

Baca Juga:  Polres Pamekasan Sukses Kembalikan 15 Sepeda Motor Curian kepada Pemiliknya: Respons Cepat dalam Penanganan Kasus Curanmor

“Bagaimanapun norma itu tak mungkin dihidupkan kembali. Kecuali hanya redaksi yang diubah. Tentu (pasal penghinaan presiden) sangat bertentangan dengan demokrasi,” ujar Ray kepada SINDOnews.

Kedua, menghidupkan pasal penghinaan presiden akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Mantan aktivis 98 ini berpandangan, pasal yang bersifat mengekang demokrasi ini rawan digugat ke MK.

“Kalau putusan MK final dan mengikat, kemudian dimasukkan kembali ke dalam revisi undang-undang, nanti diuji lagi, dibatalkan lagi, maka tidak akan ada finalnya. Makanya saat normanya dibatalkan oleh MK sejatinya pemerintah dan DPR tidak boleh memasukkan pasal itu oleh karena alasan apapun ke dalam undang-undang,” jelas Ray Rangkuti.

Pewarta: M. Yahya Suprabana
Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 45