Toko Cokelat di Pasar Cilegon

Toko Cokelat di Pasar Cilegon
Toko Cokelat di Pasar Cilegon

Toko Cokelat di Pasar Cilegon.

Oleh: Irawaty Nusa.

 

Sukim sedang menikmati makan siang sambil membaca koran yang menyajikan berita tentang merger bisnis yang dikerjakannya. Seketika ia membaca iklan perihal dibukanya sebuah toko cokelat baru yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Toko itu dinamakan Al-Madani, dan ia memutuskan mengunjungi tempat itu sepulang dari kantor nanti.

Dari depan nampak sempit, tetapi setelah memasuki bagian dalamnya begitu luas dan megah. Bangunannya memperlihatkan susunan batu bata merah, berlantai tiga. Bagian depan lantai dasar dijajari dengan jendela kaca yang memperlihatkan pajangan di dalamnya. Bagian dalam toko didominasi oleh warna gelap yang menyelimuti hampir seluruh bagian dinding. Wallpaper dengan desain padang rumput luas berbalut warna merah dan emas terhampar dari permukaan sampai ke atapnya. Pajangan dan kotak wadah diterangi oleh lampu gantung. Kain sutera menyelimuti atapnya, berwarna cokelat keemasan, namun juga terdapat sedikit warna biru tua, merah, hijau, dan ungu kehitaman.

Namun dari semua keindahan itu, koleksi cokelat-cokelat-lah yang paling menarik perhatian Sukim.

Di salah satu sudut ruang yang panjang dan sempit terdapat semua jenis cokelat. Di sana ada bagian yang memajang segala jenis permen cokelat yang dapat kita jumpai di toko-toko swalayan maupun minimarket.

Di tengah ruangan, di mana Sukim berdiri sambil terpana, terdapat segala jenis cokelat dengan macam-macam bentuk dan merk. Di dekatnya ada cokelat-cokelat batang yang tidak terbungkus, ditumpuk seperti batangan emas. Ada pula berikat-ikat cokelat yang sangat hitam seolah baru saja diambil dari bahan dasar yang membuat aromanya begitu memabukkan.

“Ahay! Sepertinya Anda begitu terpesona melihat toko saya ini, bukan begitu?”

Sukim berpaling, dilihatnya seorang lelaki keturunan Arab berbadan tinggi dan gemuk. Umurnya mungkin sekitar 55-an. Kumisnya menarik bertengger di atas bibirnya, dan rambutnya pun tersisir rapi, agak pendek, dengan sedikit uban di sana-sini.

“Bapak ini termasuk orang yang beruntung di Kota Cilegon ini…,” ujar Sukim yang masih terbengong-bengong takjub.

Lelaki itu lalu tertawa keras, sebuah ledakan tawa yang membahana ke seluruh ruangan, hingga menarik perhatian dari pelanggan-pelanggan lain.

“Sekarang saya sudah menemukan orangnya… sudah menemukan orangnya…”

Ia bergumam sambil terkekeh-kekeh, dan dari cara tawanya itu membuat Sukim agak merinding.

Ia bangkit dari tempat duduk lalu menjulurkan tangannya, “Kenalkan, nama saya Maher Ali, pemilik toko Al-Madani… nama Anda?”

“Ahmad Sukim… panggil saja Sukim.”

“Baik, Mas Sukim, mari ikut saya… apa yang bisa saya bantu….”

Ia membantu Sukim memilih beberapa jenis cokelat batangan dengan kualitas terbaik, ditambah dengan dua kilo permen cokelat.

Dalam beberapa hari saja ia habiskan cokelat-cokelat itu, lalu setelah tiga hari ia berkunjung lagi ke Al-Madani. Lama kelamaan, minggu demi minggu ia terus mengunjungi toko cokelat itu. Meskipun ia menyangkal beberapa teman yang mengatakan ia ketagihan berjumpa dengan Maher Ali, karena seringnya ia berkunjung ke toko itu.

***

“Lalu, sekarang apa yang Anda cari, Mas Sukim?” tanya lelaki keturunan Arab itu setelah berjumpa kembali.

“Apakah ada yang berbeda selain cokelat?” tanyanya sambil memicingkan matanya.

“Wah, tepat sekali… itu pertanyaan bagus, Akhi… mari ikut saya ke dalam…”

Maher mengambil tangan Sukim dan membawanya masuk melewati tirai ungu yang sewarna dengan lautan kelam. Di balik tirai, setelah melewati lorong yang dipenuhi kardus dan kotak-kotak kosong, mereka sampai di depan sebuah pintu. Maher masih menggenggam tangan Sukim, dan agak khawatir juga karena basah oleh keringat. Ia mengeluarkan kunci berornamen tulang dari saku jubahnya, lalu memasukkannya ke lubang pintu dan memutarnya.

Ia terus menuntunnya melalui labirin koridor yang sangat gelap. Udara di sana terasa sedikit lembab, seperti hembusan napas yang keluar dari mulut yang telah lama tertutup. Lalu, ketika Sukim hendak bertanya mau ke mana, sampailah mereka di hadapan tangga yang terbuat dari besi dan membentuk zig-zag. Kemudian mereka menaiki undakannya satu persatu. Sesampainya di atas, Maher membuka pintu yang langsung menyibakkan sinar matahari yang sangat terang.

Sukim menutup mata dengan tangannya saat Maher membimbingnya berjalan melewati pintu. Kini, mereka berada di atap bangunan toko, maka terhamparlah sebuah taman yang amat sangat indah terbentang di hadapannya. Pohon-pohon yang cukup besar membendung pandangan ke langit dan menaunginya dari sinar matahari. Walaupun udara sebenarnya panas menyengat, tetapi di tengah taman itu justrun berkabut seakan-akan hanya bersuhu 15 derajat atau lebih rendah.

Maher berjalan melewati jalan beraspal batu di tengah rerumputan ke meja di dekat air mancur.

“Wati, bawakan minumannya!” seru Maher sambil menepuk-nepuk tangannya saat mereka duduk.

Seorang wanita cantik mengenakan jilbab merah tiba-tiba muncul dari semacam pintu tersembunyi, kemudian berhenti di sebelah Maher. “Wati, tolong ambilkan dua gelas kopi? Atau teh?”

Sukim lalu menjawab pelan, nampaknya dia masih kebingungan. “Apa ada es sirup?”

Maher tertawa keras, “Es sirup… wah, apa kami punya es sirup, ya? Oke Wati… kalau begitu es sirup buat Tuan Ahmad Sukim dengan kopi buat saya…”

Wanita cantik itu menghilang, dan Maher memperhatikan Sukim yang terkagum-kagum karena hal-hal di sekitarnya.

“Bagaimana, menarik, kan?”

“Ya, Pak Maher, sebenarnya saya pernah mendengar kebun di atas atap, tapi ini lebih menakjubkan, sepertinya taman di atas atap. Bagaimana Pak Maher bisa membawa ini semua sampai ke atas?”

“Sudahlah, yang penting semua sudah ada di atas, dan Anda sendiri sudah ada di sini, bukankah begitu, Mas Sukim?”

“Ya, tentu saja.”

“Kalau begitu nikmati saja… nikmati setiap kesempatan yang muncul dalam hidup Mas Sukim…”

***

Wanita cantik itu kembali dengan nampan perak yang di atasnya terdapat segelas kopi dan sebuah gelas antik berisi es sirup dan sedotannya. Minuman itu diletakkan di atas meja bersama nampannya, kemudian wanita itu pergi ke belakang.

Setelah mempersilakan minum, Sukim mengambil gelas dan meminum es sirup yang disediakan.

“Hmm, rasanya enak.”

“Sebenarnya rasa manis dari sirup itu berasal dari gula tebu, bukan gula aren atau jagung yang jauh lebih baik buat kesehatan. Sama halnya dengan rasa manis pada kebanyakan cokelat di Indonesia.”

Sukim menenggak sirup itu hingga tinggal setengah gelas. Maher tersenyum sambil meminum kopi yang terhidang di atas meja. “Nanti akan ada beberapa botol sirup yang menunggu Mas Sukim di pintu depan. Anggap saja itu sekadar hadiah dari saya.”

“Oke, terima kasih banyak, Pak Maher.”

“Sama-sama. Dan sekarang, kira-kira cokelat jenis apa yang paling disukai Mas Sukim? Yang dilapisi wafer, biskuit, kacang mete atau almond?”

“Kira-kira, apa ya?”

“Ayo, cokelat enak macam apa yang pernah Mas Sukim temukan di suatu tempat, yang belum ada di toko saya ini?”

Pemilik Al-Madani itu terdiam sebentar, lalu menyeruput kopinya sekali lagi. “Ada rahasia penting yang tidak akan saya beritahukan pada siapapun kecuali pada Mas Sukim… tapi tolong jangan bicara pada orang lain.”

“Rahasia apa itu? Apakah ada hubungannya dengan cokelat?”

“Ya, tentu saja.”

Ia menggaruk kepalanya, kemudian menjulurkan wajahnya sambil berbisik, “Nanti akan saya tunjukkan cokelat terenak yang belum pernah dirasakan oleh Mas Sukim… tetapi juga cokelat yang paling menyeramkan…”

“Menyeramkan?”

“Ya, sangat menyeramkan. Apakah Mas Sukim pernah mendengar manusia cokelat?”

“Tidak pernah,” jawabnya menggelengkan kepala.

“Ahh,” suaranya mendesah, lalu katanya berbisik, “Sebenarnya yang disebut manusia cokelat itu adalah mayat manusia yang dilumuri cokelat, setelah beberapa lama ia dilumuri dengan madu.”

“Mayat manusia?”

“Ya. Para dokter di Arab, Cina, dan Mesir sudah berabad-abad memakai metode ini untuk menyembuhkan penyakit-penyakit tertentu, tapi tergantung jenis penyakit yang akan disembuhkan.”

“Mereka memakan mayat itu?”

“Ya, bagian dari tubuh mayat. Tapi, tentu manusia yang terpilih saja yang bisa dipakai untuk metode pengobatan ini…”

“Manusia terpilih bagaimana?”

“Manusia yang menjaga kesehatannya, dan telah menjalani hidupnya dengan gaya hidup yang sehat juga. Itulah manisan cokelat yang paling langka, murni dan sangat berharga.”

“Apakah Pak Maher juga pernah… maksud saya…”

Dahi lelaki keturunan Arab itu mengernyit. Wajahnya menjadi muram, lalu katanya lagi, “Kalau saya bilang pernah, Anda akan ketakutan, tapi kalau saya bilang belum pernah, bisa jadi Anda tidak percaya.”

Maher menatap mata Sukim untuk membaca reaksi pada wajahnya. “Waktu saya muda, saya pernah membantu ayah untuk membuat manusia cokelat. Saat itu adalah pengalaman paling berharga dan… menarik…”

“Untuk apa orang tua Pak Maher membuat itu?”

“Untuk para dokter yang kemudian meresepkannya kepada pasiennya… terutama untuk pasien-pasien yang kaya. Dan agar para penggemar cokelat seperti Mas Sukim bisa menikmati kesempatan menyicipi cokelat yang terenak di dunia ini.”

Sukim menelan ludahnya. “Jadi, Pak Maher sendiri pernah makan?”

Lelaki Arab itu tidak menjawab, lalu katanya lagi, “Sekarang hanya tersisa sebuah bagian kecil dari manusia cokelat itu. Bagian terakhir setelah empat puluh tahun lebih. Hanya ujung jarinya saja. Saya telah menyimpannya selama lima tahun terakhir ini. Boleh jadi saya telah ditakdirkan untuk menyimpannya agar Mas Sukim sendiri bisa menyicipinya. Saya kira, Mas Sukim adalah orang yang paling tepat.”

“Saya?”

“Ya.”

“ Apa yang membuat Pak Maher berpikir kalau saya ingin… memakan bagian mayat manusia?”

Maher tersenyum. “Apakah keju adalah susu basi? Apakah anggur tua adalah anggur yang membusuk? Saya kira, prosesnya yang membuat kualitasnya semakin lama semakin baik. Sama juga dengan proses pelumuran yang membuat daging lebih dari sekadar daging.”

“Tapi kan keju dan anggur itu bukan mayat manusia, Pak Maher?”

Sukim berdiri dari kursinya dan berbalik mencoba menemukan jalan masuk mereka tadi. Lelaki Arab itu masih duduk di sana, menghirup kopinya sekali lagi, lalu katanya, “Mas Sukim, saya kira kita ini sama.”

“Mungkin saja sama, tapi kita beda dalam soal ini.”

“Bagaimanapun Mas Sukim penggemar cokelat. Boleh jadi satu-satunya lelaki yang dapat menghargai sisa terakhir dari sesuatu yang langka… sesuatu yang sakral.”

Sukim menatapnya, namun tidak berkata sepatah kata pun.

“Mas Sukim tadi bilang ingin menikmati cokelat yang langka, sesuatu yang tak pernah ditemukan di manapun, iya kan?”

“Iya benar, tapi saya bicara tentang cokelat yang paling enak dan paling nikmat di dunia. Bukan sejenis manisan cokelat dari tubuh manusia. Maaf Pak Maher, saya tetap menolak tawaran Bapak.”

Lelaki Arab itu masih tidak bergerak, dan untuk beberapa saat yang membuat Sukim berkeringat, dia berpikir mungkin ada konsekuensi karena menolak tawaran itu. Tetapi, Maher hanya menggerakkan tangannya. Tak berapa lama, pembantunya muncul.

“Wati, ajak Mas Sukim ini keluar.”

Wanita berjilbab itu membungkuk dan meminta Sukim agar mengikutinya. Mereka berjalan menuruni anak-anak tangga, kemudian kata Maher lagi, “Mas Sukim, tolong pertimbangkan… tolong dipikirkan masak-masak… ini adalah kehormatan khusus yang saya berikan untuk Mas Sukim…. Oya, jangan lupa dua botol sirup di pintu depan. Nanti Wati akan membawakannya sampai ke kendaraan Mas Sukim….”

***

Selama beberapa minggu Sukim menyibukkan diri dengan urusan kantornya, kadang-kadang bekerja lembur. Ia menahan diri untuk tidak pergi ke Al-Madani, meskipun kadang terpikir bahwa ia harus kembali ke sana, karena dia terus-menerus bermimpi sedang duduk-duduk di sofa bersama Pak Maher yang tersenyum kepadanya.

Di hadapannya ada nampan emas dengan potongan tangan manusia di atasnya, terpotong pada bagian pergelangan, tergeletak dengan telapak mengarah ke atas. Jari-jarinya membengkok ke dalam. Tangan tersebut ditaruh dalam luapan cairan kental yang berwarna cokelat.

Dalam mimpinya ia menjepit tangan tersebut ke piring dengan garpu dan membuat irisan tipis di bagian bawah jempolnya. Bagian dalam dagingnya berwarna kecokelatan, dan terasa padat.

Dia mengangkat garpunya, cairan kecokelatan menetes ke piringnya, lalu ia memasukkannya ke dalam mulutnya. Tepat pada saat dia akan mengunyahnya, mimpinya berakhir.

Dia masih dapat mengingat teksturnya, padat seperti daging, lembut ketika digigit, melumer di mulutnya. Dia dapat merasakan rasa aneh yang tertinggal di mulutnya, sangat menghantuinya, manis dan kental dan… menghilang… menghilang….

***

Pada hari Jumat pagi.

“Ahay, Mas Sukim!” Maher menyambutnya saat dia masuk ke dalam toko. “Senang bertemu Anda lagi. Sudah lama sekali. Apakah Anda menikmati sirup saya?”

Sukim mengangguk, dahinya berkeringat walaupun udara di dalam toko begitu dingin.

“Biar saya tebak,” kata Maher sambil memicingkan matanya, “Saya tahu maksud kedatangan Mas Sukim hari ini. Tentu soal menikmati manusia cokelat yang pernah kita bicarakan, iya kan?”

“Begini, Pak Maher,” ia menjulurkan wajahnya sambil melihat kiri-kanan, memastikan tidak ada orang yang mendengar, “Apakah orang seperti saya bisa memakannya… maksud saya, apakah tidak ada efek sampingnya? Lalu, kira-kira berapa saya harus membayarnya?”

Lelaki keturunan Arab itu menampakkan senyum lebar, kemudian tertawa terbahak-bahak, “Oke… oke… sungguh tepat dugaan saya… sekarang, ayo kita ke atas untuk mengatur semuanya.”

Manusia cokelat mungkin satu-satunya jenis cokelat yang Sukim pernah dengar. Ia begitu sakral. Meski tidak memerlukan puasa selama 40 hari, tapi dibutuhkan syarat-syarat tertentu sebelum menyantapnya. Untunglah syarat-syarat itu tidak terlalu berat. Hanya memerlukan bentuk tubuh yang ideal, dengan berat minimal 65 kilogram.

“Bentuk tubuh ideal seperti apa, Pak Maher?”

“Ah, soal itu nanti saya yang persiapkan,” sambil mengamati postur tubuh Sukim serta menepuk-nepuk perutnya.

“Jadi, apa yang harus saya konsumsi supaya bentuk tubuh saya ideal?”

“Begini, selama tiga minggu Mas Sukim tidak usah makan apa-apa kecuali cokelat dan air putih. Tidak boleh makan nasi, roti, daging, buah-buahan. Pokoknya hanya cokelat dan air putih saja.”

“Untuk apa? Sepertinya kurang baik untuk kesehatan?”

“Sudah, pokoknya turuti saja,” tegas Maher. “Buktinya kambing, sapi atau kerbau bisa hidup hanya dengan makan rumput dan air saja… juga tawon hanya makan madu saja…”

“Tapi, saya kan manusia, bukan tawon?”

“Sudah, pokoknya diam.”

Maher memandang mata Sukim, dan kini memastikan tekadnya yang sudah bulat.

“Lalu, berapa saya harus membayarnya, Pak Maher?”

“Kira-kira… dua juta saja, bagaimana?”

“Oke, baiklah kalau begitu.”

Maher tersenyum layaknya bandar narkoba berpengalaman. “Percayalah Mas Sukim, hal ini akan mendatangkan banyak keberuntungan di masa yang akan datang….”

***

Hari demi hari, minggu demi minggu. Kini sudah memasuki minggu ketiga. Badan Sukim terlihat atletis dan segar bugar. Lebih baik daripada yang telah diperkirakannya. Di hari-hari pertama ia merasa khawatir jika tidak akan cukup makan dan menjaga energinya, tapi lama kelamaan sepertinya tidak masalah. Dia membawa cokelat-cokelat batangan dengan air putih pemberian Maher yang selalu tersimpan di tas kopernya. Dia memakan dua atau tiga batangan besar jika ia merasa lapar, kemudian menenggak air putih dari botol yang telah dipersiapkan.

Dia pergi ke tempat kebugaran setiap hari, berolahraga paling sedikit dua jam. Dalam dua minggu, berat badannya semakin bertambah tujuh hingga sepuluh kilogram. Memasuki minggu ketiga, bentuk tubuhnya semakin atletis dan tegap semampai. Otot-otot yang awalnya tidak nampak, kini terlihat sangat jelas melalui pakaiannya.

Bos di kantornya memanggil ke ruangannya untuk memastikan bahwa beberapa rekan kerjanya melihat dia bekerja selama makan siang dan tidak memakan apapun kecuali batangan cokelat dan air putih dalam botol. Orang-orang sudah mengenali kebiasaannya memakan cokelat, tapi kali ini ada yang terasa janggal mengenai dirinya.

Kemudian ia meyakinkan mereka semua bahwa dirinya baik-baik saja. Bahkan ia mengucap terima kasih bila ada yang menyatakan dirinya lebih sehat dan segar bugar dari sebelumnya.

“Mungkin karena dia rajin olahraga,” kata bos di kantornya.

“Ya, sambil diet tidak makan nasi, itu saja,” jawab Sukim.

“Baiklah kalau begitu, jaga dirimu baik-baik, Mas Sukim. Orang seperti Mas Sukim ini amat sangat berharga.”

Sukim kurang menyimak perkataan itu. Padahal, sungguh tepat kata-kata yang disampaikan bosnya saat itu.

***

Tubuh Sukim gemetaran saat tiba di Al-Madani. Ia tidak paham apakah itu hanya reaksi ataukah fakta empiris bahwa setiap molekul di tubuhnya bergetar dengan frekuensi yang sangat cepat.

Wati membukakan pintu, membimbingnya ke taman di atas atap. Malam itu udara sangat dingin. Musim panas mulai beralih menjadi musim hujan. Matahari sudah turun di kaki langit, membuatnya sewarna mawar. Tepat seperti di mimpinya waktu itu, Pak Maher sedang duduk di kursi sofa.

“Saya senang sekali Mas Sukim datang ke sini,” sahutnya, lalu mendekat untuk memeluknya. Sukim menerima pelukannya, merasa kurang enak lalu memeluknya pula. Maher mengajaknya duduk lalu menyuruh Wati pergi agar mereka dapat berbincang nyaman berduaan.

“Jadi, bagaimana, sudah siap?”

“Oke, saya siap, Pak Maher.”

“Bagus kalau begitu… ayo kita mulai…”

“Lalu bagaimana? Apakah saya perlu membayar sekarang? Saya sudah bawa uangnya nih,” ia mengeluarkan amplop tebal berwarna putih.

“Oh ya, baiklah.” Maher mengambil amplop tersebut dan menaruhnya dengan cekatan seperti seorang pesulap menaruh sesuatu ke saku baju hitamnya. Tak berapa lama, ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku yang sama lalu menaruhnya di atas meja.

“Inilah bagian tubuh dari manusia cokelat itu.”

Kotak itu terlihat sederhana dan seukuran kotak korek api. Sukim menyentuh permukaan besi kotak tersebut, kemudian menaruhnya di telapak tangan, lalu mengangkatnya. Dia membuka penutupnya. Kini, hanya butuh waktu beberapa detik saja untuk mengetahui dengan pasti apa yang dilihatnya.

Bersarang di dalam kotak tersebut adalah benda yang telah berkerut seukuran permen cokelat. Kuku yang masih menempel di sana membuktikan bahwa itu adalah ujung jari manusia. Warnanya coklat keemasan, sewarna daging rendang buatan para ahli masak dari Padang. Kukunya lebih panjang daripada jarinya, namun telah melunak dan lembut di ujungnya. Aromanya sangat tajam, manis dan wangi sewangi semerbak bunga mawar.

Sukim sangat terkejut, tapi kemudian ia memberanikan diri menyentuh jari tersebut sebentar. Lalu, ia mengambilnya dari kotak itu dan menciumnya. Aromanya sangat mirip dengan cokelat batangan yang selama ini dimakannya.

Tiba-tiba muncul keberanian yang amat sangat sehingga ia membuka mulutnya, menaruhnya di atas lidah, lalu menutup bibir dan matanya.

Dia tidak bergerak, tidak pula mengunyah, hanya membiarkan di lidahnya sampai meleleh. Rasanya tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Cokelat itu menghangatkan mulutnya, mengirim aliran rasa lezat ke seluruh permukaan lidahnya, aliran rasa almond atau kacang mete, namun juga rasa yang lebih mendasar lagi.

Ah benar, rasa daging… ya, rasa daging… daging apa ini?

Perutnya ingin memaksanya untuk memuntahkan daging manusia itu ke atas meja, tapi tidak, dia tidak melakukannya karena rasanya amat sangat lezat. Rasanya merupakan campuran dari berbagai macam rasa, manis, asin, tetapi nikmat dan lezat….

Lalu, dia mengunyahnya pelan-pelan, dan daging itu berpindah, menempel di bawah giginya dengan rasa seperti tekstur karamel. Awalnya padat, namun kemudian melunak. Kini, mulutnya dipenuhi liur dan dia berusaha agar tidak menelannya Kalau terburu-buru menelannya, maka ini semua akan berakhir dengan cepat.

Kemudian, potongan jari itu memasuki tenggorokannya, tapi terlintas adanya rasa daging busuk yang bertahan sebentar. Namun itu tertutupi oleh ledakan aroma bunga yang manis semanis permen cokelat.

Dia menelan bagian akhirnya, kemudian melihat Pak Maher. Nampak air matanya turun di pipinya, “Terima kasih Mas Sukim… terima kasih… mungkin Anda tidak membayangkan betapa bahagianya saya hari ini….”

Sukim tidak tahu lagi jam berapa sekarang, dia tidak tahu sudah berapa lama duduk-duduk di sana. Maher mengambil kembali kotaknya, lalu menutupnya dan menaruhnya kembali ke dalam sakunya.

***

Pagi hari. Sukim terbangun. Tapi ia merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Seketika ia tersadar bahwa energi misterius yang merasukinya selama sebulan terakhir ini telah lenyap. Sekarang digantikan oleh kekakuan dalam dirinya seolah darahnya terlalu kental untuk dapat mengalir di pembuluh-pembuluhnya.

Ada pula sebuah rasa di mulutnya yang tidak mengenakkan. Rasa seperti daging mayat yang manis. Sukim lalu menyibakkan selimutnya dan berdiri, kemudian pergi ke kamar mandi, melihat ke kaca di atas wastafel. Wajahnya mengembung, matanya muram, dia terlihat seperti banyak minum bir dan mabuk berat.

Kulitnya berwarna kuning gelap. Bahkan putih matanya berwarna kecokelatan. Dengan menggelengkan kepalanya, dia melangkah ke toilet dan mencoba untuk buang air kecil. Hampir tiga menit berlalu. Dia membuka matanya, lalu melihat ke bawah. Dari tadi tidak ada air yang keluar. Ada sesuatu di dalam kandung kemihnya, terasa seperti cairan kental.

Muncullah rasa pedih dan perih secara tiba-tiba.

Rasa perih yang amat sangat sehingga kakinya terguncang, perutnya keram dan lututnya pun menekuk. Dia berharap melihat darah di toilet, tapi yang dilihatnya bahkan lebih buruk dari itu. Dia berhasil kencing, namun itu bukanlah urin yang biasa dikeluarkannya. Itu adalah aliran kecokelatan yang bergerak perlahan seperti sirup. Dan rasanya sangat sakit, terlalu kental untuk dapat dikeluarkan.

Cairan itu jatuh perlahan-lahan ke dalam toilet. Baunya seperti aroma sirup cokelat, semerbak bunga, dan manis. Dengan tubuh bergetar karena rasa sakit dan takut, dia mencolet sebagian dengan jarinya lalu mengecapnya.

Cokelat… dia kencing cokelat!

Saat ia tersadar akan hal ini, sebuah gelombang rasa sakit membuncah di perutnya, membuatnya tersungkur ke lantai toilet yang dingin. Beberapa jam kemudian, saat kesadarannya mulai pulih, dia teringat dengan dua juta rupiah yang pernah diberikannya pada Pak Maher.

***

Sudah agak siang, tetapi toko Al-Madani belum buka seperti biasanya. Sukim tak peduli, ia mengintip melalui tirai di balik jendela, namun toko itu terlihat seperti kosong dan lampunya pun padam.

“Maher!” teriaknya keras sambil memukul-mukul jeruji besi di jendelanya. “Maher! buka pintunya!”

Orang-orang yang lewat menoleh ke arahnya. Dia tidak sempat berpakaian, jadi hanya mengenakan celana kolor dan kaos oblong yang dipakainya sejak tidur semalam.

Dengan tatapan terheran-heran, seorang wanita berjilbab membuka kunci pintunya. “Oh, ada yang bisa saya bantu?”

“Maher… di mana dia!”

“Maher siapa, Pak?”

“Si Maher majikanmu itu!”

Di sini tidak ada nama Maher… bapak siapa?”

“Maher si pemilik toko cokelat itu, apakah dia ada di lantai tiga?”

“Ini warung makan, Pak… tidak ada lantai tiga. Hanya ada dua lantai… Bapak lihat sendiri kan….”

Sukim melongok dan menengadah ke atas, dia mencari-cari lantai tiga. Tapi bangunan itu hanya ada dua lantai.

“Lalu, Mbak ini siapa?”

Wanita berjilbab itu mengatakan bahwa sejak tiga tahun lalu ia pernah menjadi pembantu di rumah seorang warga keturunan Arab, tapi majikannya itu telah meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan.

“Kenalkan, nama saya Wati,” sambil menyodorkan tangannya.

Sukim menolak untuk menjabat tangannya, kemudian lari terbirit-birit. (*)

 

Penulis: Irawaty Nusa (Cerpenis dan kritikus sastra, menjadi peneliti historical memories untuk wilayah Indonesia)

 

Exit mobile version