Budaya / SeniCerpen

Tetangga Badut

Cerpen Ken Hanggara

Tidak jauh di seberang rumah, dibatasi taman kanak-kanak, tinggal seorang badut dangdut. Setiap subuh ia berangkat dan menenteng karaoke jinjing dan pulang tepat jam sebelas malam. Aku tidak tahu pekerjaan badut dangdut seperti apa, sampai suatu hari Om Joe bercerita bahwa badut seperti ini nasibnya malang.

“Anak-anak tidak suka mereka dan sekarang orang dewasa juga latah,” begitu kata omku, yang juga adik kandung Mama ini. Umur Om Joe seperti kakakku dan ia masih muda serta belum menikah. Tapi tidak ada di dunia ini yang dia tidak tahu.

Kata Om Joe, badut dangdut bukan tukang lawak atau pesulap di televisi. Badut dangdut tidak bisa main sulap, jika seandainya aku membayangkan kelak bisa tertawa senang dihibur badut macam itu. Badut jenis ini juga bukan badut yang ada di pesta ulang tahun.

Aku tidak tahu perasaan orang lain, tetapi Om Joe sepertinya sangat benci badut. Katanya, tak ada badut yang baik. Kukira kalau aku bisa melihat isi hati Om, mungkin tidak ada badut di sana, atau kalaupun ada, badut itu pasti diikat dengan tali di pohon dan dibiarkan mati dirubung semut. Aku tidak membenci badut, meski aku masih kecil dan kadang-kadang pipis di celana. Lagi pula, kalau tidak bekerja, badut yang tinggal di seberang rumah kelihatannya orang yang baik.

Suatu hari Imo, temanku di bangku TK, mimpi didatangi seorang badut. Karaoke jinjing—begitu kata Om Joe untuk menyebut kotak hitam aneh yang selalu dijinjing sang badut ke mana-mana—di mimpi Imo tidak ada. Badut itu malah memikul karung beras.

“Badut itu bawa-bawa hadiah di karung dan aku boleh memilih hadiah mana yang kusuka,” kata Imo senang. Lalu ia bercerita dengan amat sangat detail tentang hadiah-hadiah yang dibawa Pak Badut sampai aku jadi iri.

Sesampai di rumah aku melamun di teras dan melihat rumah badut itu sepi. Aku bayangkan anak-anak kecil tidak pernah berdosa, seperti kata Mama, sehingga Tuhan sering turun tangan membantu dan menghibur kami lewat hadiah menyenangkan dari tangan seorang badut. Apa kata Imo? Mobil-mobilan? Video game? Komik? Mama tidak sering membelikanku itu dan aku pun berangan, mungkin mimpi Imo adalah tanda.

Waktu kutanya pada Om Joe, apakah Tuhan suka bermain tanda-tanda, dia bilang terkadang juga begitu. Tuhan suka memberi tanda pada kita seperti misalnya pigura foto yang jatuh atau gelas pecah tiba-tiba dan sebagainya. Maka kupikir bisa saja di rumah si badut dangdut itu ada banyak sekali hadiah. Aku membayangkan ini dengan cukup baik sampai malam harinya mamaku bertanya ada apa.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Aku bilang, “Badut tetangga kita itu orang yang baik.”

“Tentunya,” kata Mama.

Om Joe mendeham dan aku tidak paham kenapa. Mungkin saja Om marah padaku dan tidak mau mendongengiku banyak persoalan seperti biasanya, karena aku malam ini membela badut itu. Mama kebingungan dan berkata bahwa semua orang pastilah baik. Dan kita juga harus berbuat baik pada siapa pun.

Aku tidak dengar Om Joe berkata apa-apa, kecuali bertanya pada Mama apa botol susu di kulkas yang habis tidak diisi ulang? Maka omku berangkat ke mini market dekat gang depan dan tidak mengajakku.

Sejak malam itu aku sering membayangkan badut dangdut, yang suka pulang tepat jam sebelas malam itu, adalah seorang kesepian yang punya banyak mainan dan rela membagi hadiah itu untuk anak-anak. Dia tidak punya anak dan tidak pernah menikah dan mungkin saja kalau sudah tua nanti hidupnya tetap sebatang kara.

Imo masih saja bermimpi soal badut dan ia cerita ke semua teman, bahwa badut itu seharusnya ke sekolah kami saja, bukannya membawa karaoke jinjing dan berjoget dari rumah ke rumah seperti orang tidak jelas arah. Bukankah kalau ketemu kami setiap hari, dia tidak sedih walau tidak punya anak?

“Kalau badut itu ke sekolah, kita juga tidak bosan dengan pelajaran menggambar,” kata Imo.

Dan kami membayangkan, seperti di televisi, seorang badut berdiri di depan kelas dan membuat tertawa semua anak dengan tingkah lucunya. Kalau itu terjadi, aku bisa mengajak Om Joe ke kelas dan menunjukkan bahwa tidak semua badut seburuk yang ia bilang, atau malah tidak ada sama sekali badut yang jahat.

Bagaimana kami tahu pekerjaan badut dangdut itu berjoget adalah dari Bu Maria, guru kami yang gendut dan berbau keripik kentang. Jangan heran, beliau memang suka sekali makan keripik dan membawa stoples keripik kentang rasa keju setiap hari, dan kami sekelas boleh ikut makan.

Waktu itu kami bertanya, di hari ketika badut itu tidak pergi dan duduk-duduk di samping rumahnya, setelah menjemur kostum badutnya, kira-kira apakah yang badut itu kerjakan di luar sana?

Bu Maria menjawab, sambil mengunyah keripik kentangnya, bahwa badut tersebut berjoget untuk dapat uang.

Kami paham dan tidak tanya uang itu untuk apa. Badut itu pasti butuh uang juga untuk membeli susu, beras, sayur-mayur, dan berbagai keperluan seperti di rumah kami. Mamaku kerja di tempat laundry dan setiap hari mengeluarkan uang untuk kami makan. Om Joe tidak kerja dan kadang ia pergi bersama pacarnya entah ke mana, setelah minta uang pada mamaku. Jadi, yang kemudian kupikirkan adalah badut itu tidak sejahat yang Om Joe bilang dan bisa saja ia lebih baik dari omku.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Imo bilang, “Badut itu bekerja untuk beli mainan. Dan dia tidak punya anak, serta tidak pernah kelaparan.”

Dari mana Imo tahu badut itu tidak pernah kelaparan? Bukankah berjoget diiringi lagu dangdut dari rumah ke rumah, membutuhkan energi? Walaupun masih kecil, aku tahu soal ini, karena biasanya setiap anak akan kelelahan setelah berlari-lari main petak umpet.

Jadi, badut dangdut pasti kecapekan setelah berkeliling dan berjoget di mana-mana demi mendapat uang. Aku dan teman-teman sekelas pun, termasuk Imo, sepakat bahwa mungkin badut itu menyisihkan sedikit uangnya untuk beli makan dan deterjen untuk mencuci kostumnya. Dan sisa uang yang lebih banyak dipakai untuk membeli mainan serta membayar listrik.

Kami lega bisa menyimpulkan bagaimana badut dangdut yang misterius itu hidup. Badut itu kalau tidak bertopeng kelihatan seperti seorang yang baik. Lebih tua dari Om Joe, tapi masih lebih muda dari Mama.

Aku membayangkan, mungkinkah suatu hari aku datang ke rumahnya, tepat jam sebelas malam, dan bertanya, “Anda punya mainan?” Kalau memang aku bertanya, apa badut itu bakal menjawab ‘ya’, sehingga besoknya aku pergi sekolah dengan membawa mainan baru?

Belakangan Imo sudah tidak bermimpi tentang badut pemberi hadiah. Di seberang jalan, aku suka melihat badut itu menjinjing benda kotak, yang kata Om adalah karaoke untuk memutar lagu-lagu dangdut. Kata Om Joe, orang zaman sekarang tidak punya ide bagus untuk mencari uang, kecuali membuat dirinya konyol. Dan badut itu pasti orang yang konyol.

“Tapi badut itu punya hadiah kok,” kataku.

“Tidak. Dia bakal menculikmu dan mamamu kehilanganmu selamanya.”

Aku bilang betapa jahatnya Om Joe karena menuduh badut dangdut itu tanpa bukti. Malam itu juga aku mengetuk pintu rumah si badut tanpa Mama atau Om Joe ketahui, dan segera bertanya apa dia punya banyak mainan. Badut itu bilang, ‘tidak’. “Tapi aku punya makanan,” katanya ramah. Tentu saja, badut itu masih kelihatan seperti badut, karena baru pulang dan belum cuci muka.

Aku pun dipersilakan  masuk dan melihat ada banyak tisu berserakan di lantai. Pak Badut bilang, aku harus menunggu di sini, dan tidak boleh ikut ke dapur, karena beliau sedang menyiapkan masakannya malam ini. Lalu ia menyalakan televisi dan di sana ada tayangan film alien yang amat kubenci dan membuatku suka mimpi buruk.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Ketika badut itu ke dapur, aku menghirup bau keripik hangus. Aku kira dia juga suka makan keripik, tetapi tidak pintar memasak. Aku mengambil remote televisi dan memindah channel, tetapi tidak ada acara lain selain alien yang memangsa anak kecil dan aku mulai pipis di celana. Kursi yang kududuki kotor. Aku tidak bisa memutuskan; apakah aku melapor pada Pak Badut dan meminta maaf padanya, atau aku berlari ke rumah dan tidak pernah kembali ke sini selamanya?

Tapi Pak Badut sudah datang dan di tangannya ada segelas susu. Aku malu karena pipis, tapi dia tidak tahu. Ketika badut dangdut menyuruhku minum susu, aku patuh dan kuhabiskan itu. Kubayangkan betapa Imo dan teman-teman akan iri padaku, karena susu ini amat sangat lezat—walau tidak ada hadiah macam-macam seperti yang ada di mimpi Imo. Dan aku menduga, mungkin, setelah ini, badut itu memberiku keripik kentang rasa keju.

Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah itu, karena aku mengantuk dan ketiduran. Di pagi hari, ketika seharusnya aku ke sekolah, aku tidak ke mana-mana. Aku tidak ada yang membangunkan. Tidak ada Mama yang menyentuh pipiku dan bilang soal keripik kentang Bu Maria yang renyah. “Kalau kesiangan, nanti keripiknya habis.” Itu kalimat andalan Mama.

Aku akan lari ke kamar mandi dan pergi ke sekolah, ketika diiming-imingi keripik kentang. Tetapi pagi ini, tidak ada yang berkata soal keripik, atau Bu Maria, atau betapa rakus teman-temanku mengganyang keripik kentang bekal guru kami. Tidak ada semua itu, kecuali seorang badut yang berdiri persis di depanku dan menenteng karaoke jinjing dan berkata, bahwa mulai hari ini aku tidak bisa ketemu Mama dan Om Joe lagi seperti dulu.

Aku tidak bisa menangis, karena sudah mati dan aku tidak tahu bagaimana bicara pada Imo dan teman-teman, karena mereka tidak bisa mendengarku dan masih bicara tentang badut yang membawa berbagai macam hadiah. [ ]

Gempol, 2016 – 2018

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017).

 

 

Related Posts

1 of 39