NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra terkait rencana pengembalian format pemilihan kepala daerah kepada DPRD yang sudah pernah menjadi rancangan undang-undang (RUU) di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun Yusril bilang, SBY terpengaruh oleh statement Mahfud MD yang dinilainya keliru sehingga SBY mengeluarkan Perppu (Pilkada langsung).
Menanggapi pernyataan Yusril dalam pemberitaan rmol.co, Rabu (10/4/2018) berjudul “Yusril: SBY Putar Balik Karena Statement Mahfud MD” itu, Mahfud MD memberikan penjelasan panjang melalui akun twitternya, @mohmahfudmd dalam bentuk kultweet panjang, Kamis (12/4).
“Statement Yusril terasa ingin memberi kesan bahwa: 1) Saya mendukung Pilkada Langsung; 2) Saya yang menginspirasi SBY untuk berbalik arah sehingga mengeluarkan Perppu. Itu semua manipulatif dan tendensiun. Inilah fakta yang bisa dilacak jejak digitalnya,” kata Mahfud MD memulai kultweetnya.
Sebagai Ketua MK (waktu itu), kata Mahfud, yang mengadili sengketa Pilkada sekitar 395 kasus, pihaknya berperan sebagai salah seorang yang mengusulkan agar Pilkada kembali dilakukan di DPRD. “Itu saya kemukakan pada Seminar Nasional antara MK, KPU, dan Kemendagri pada bulan Pebruari 2012 di Hotel Mulia,” turunya.
Pada seminar itu, kata Mahfud, tampil sebagai narasumber seperti Menko Polhukam Joko Suyanto, Ketua MK Mahfud MD, Mendagri Gamawan Fauzi, Ketua KPU A. Hafidz. Semua narassumber setuju bahwa Pilkada dikembalikan ke DPRD karena Pilkada Langsung lebih banyak mudharatnya. Materi seminar Itu sudah dibukukan. Setelah seminar 2012 itu, kata Mahfud, Pemerintahan SBY, melalui Mendagri Gamnawan Fauzi dengan surat Presiden, mengajukan RUU Pilgub, Pilbup, Pilwali (Pilkada) yang berisi perubahan sistem Pilkada dari langsung menjadi dipilih oleh DPRD. Waktu itu semua parpol di DPR-RI menyetujui.
“Ormas-ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah juga mendukung secara terbuka, Pilkada di DPRD saja. Kata mereka, Pilkada langsung telah merusak moralitas rakyat dan membelah-belah kehidupan sosial. Penyalahgunaan jabatan, kekerasan politik, dan money politic marak di Pilkada langsung,” ungkapnya.
Mahfud menerangkan, masalah politik kemudian muncul: RUU yang sebenarnya sudh mulus di DPR itu proses akhir pengesahannya dilakukan pada saat Pilpres yang polarisasi politiknya terbelah ke dalam Koalisi Merah Putih (KMP) pendukung Prabowo dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Jokowi. Sidang Paripurna DPR Oktober 2014, tuturnya, berlangsung panas. Parpol-parpol yang tadinya pro Pilkada di DPRD ada yang berbalik, meminta Pilkada langsung. LSM-LSM berteriak bahwa Pilkada lewat DPRD membawa kemunduran demokrasi yang sudah kita bangun dengan susah payah. “Mengapa jadi begitu?” tanya Mahfud.
“Waktu itu atraksi politik yang muncul adalah, jika Pilkada dilakukan lewat DPRD akan menimbulkan ketidakseimbangan. Sebab para DPRD akan dikuasasi oleh KMP sebagai pemenang Pilleg 2014 padahal pemenang Pilpres alah KIH. Ini sangat potensial menimbulkan instabilitas. Itulah,” papar Mahfud.
NU Muhammadiyah pun, kata dia, juga mengubah pandangannya, meskipun tidak institusional. Ketua PBNU Hasyim Muzadi dan Katib Am PBNU Malik Madani yang tadinya gencar mengusulkan Pilkada lewat DPRD kemudian mendukung Pilkada langsung. “Situasi politik sangat penas. SBY dan Gamawan dihujat,” ujarnya.
“Saya yg sejak 2012 mendukung Pilkada di DPRD tetap pada sikap itu. Saya dikeroyok ramai-ramai melalui dialog yang tidak imbang di TV-TV dan medsos. Saya tunjuk bahwa melalui Penpres No. 6 Tahun 1959 Bung Karno pun tak setuju pilkada langsung sehingga membatalkan UU No. 1 Tahun 1957,” imbuhnya.
Akhirnya, kata dia, keputusan tentang itu diputuskan secara dramatis melalui voting di DPR dan disetujuilah UU Pilkada dengan mekanisme melalui DPRD. Masyarakat sipil dan pers didominasi hujatan terhadap SBY sebagai perusak demokrasi yang telah dibangunnya sendiri. “Pokoknya RUU itu harus dibatalkan,” ujar Mahfud.
“Bully terhadap SBY itu bagaikan bah yang menjadi trending topic sampai berhari-hari. SBY yang sedang melakukan kunjungan ke Amerika megeluarkan pernyataan bahwa dirinya tidak setuju pada RUU itu dan SBY setuju dengan aspirasi masyarakat serta akan mencari jalan keluar secepatnya. Dari Amerika Mensesneg Sudi Silalahi yang ikut kunjungan SBY bilang bahwa SBY tidak akan menandatangani RUU itu. Dari Indonesia, saya berteriak, meskipun SBY tidak menandatangani tapi setelah 30 haru RUU itu akan berlaku dengan sendirinya sesuai dengan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945,” tutur Mahfud.
Sepulang dari Amerika, lanjut Mahfud, SBY mampir ke Jepang dan bertemu dengan Yusril di sana untuk mendapat saran. Inilah saran Yusril yang tersiar: “SBY tidak usah menandatangani RUU itu karena tidak setuju dan selanjutnya serahkan itu kepada Presiden baru agar disikapi dan diselesaikan”.
“Saran Yusril di Jepang itu menurut saya tidak fair dan mendorong Presiden baru, Jokowi, masuk dalam jebakan betmen. Sebab ditandatangani atau tidak RUU itu akan berlaku dengan sendirinya setelah 30 hari disetujui di DPR. Saran saya waktu itu, SBY harus tandatangan secara gentleman. Saya bilang setelah ditandatangani, kalau SBY tidak setuju dengan UU itu barulah diubah melalui legislative review. Sepulang ke Indonesia pada tanggal 30 September SBY menandatangani UU itu tetapi 2 hari kemudian, tanggal 2 Oktober dicabut sendiri dengan Perrpu. Itulah sejarahnya,” urai Guru Besar FH-UII itu.
“Jadi, dari mana ceritanya Yusril mengatakan SBY balik kucing karena statement saya? Dari mana pula datanya saya menyimpang dari tujuan reformasi yang telah menyepakati Pilkada tetap dilakukan di DPRD. Bukankah sikap saya ada dokumen dan jejak digitalnya sejak 2012? Wadduh,” imbuhnya.
“Setelah banyak pimpinan parpol, MPR dan DPR, setuju ke Pilkada lewat DPRD dan saya juga berbicara tentang itu di Senayan beberapa hari yang lalu, tiba-tiba Pak Yusril ingin ambil posisi opini dengan membalik-balikan fakta dengan tudingan yang tidak berdasar. Subhanallah, lihai benar ya. Zaman now adalah zaman digital. Sulit berbohong karena direkam oleh Malaikat Roqib dan Atid via jejak digital. Yang saya kultwit itu jejak digitalnya lengkap. Oh, ya, di atas pengesahan RUU di DPR saya tulis bulan Oktober 2014, maaf, yang benar menjelang bulan Oktober, setelah Pilpres,” lanjut Mahfud.
“Demikianlah penjelasan saya. Saya tak ada urusan politik apa pun dengan Pak Yusril melainkan hanya menjelaskan fakta yang tak bisa dipungkiri karena ada dokumen dan jejak digitalnya. Penuh hormat kepada sahabat akademis saya, Prof. Yusril Ihza Mahendra,” tutup Prof. Mahfud MD.
Pewarta: Achmad S.
Editor: M. Yahya Suprabana