Esai

Terapi untuk Penguasa dan Para Politisi

Sebuah Ilustrasi Pesta Demokrasi. (Foto: IST)
Sebuah Ilustrasi Pesta Demokrasi. (Foto: IST)

Terapi untuk Penguasa dan Para Politisi

Oleh: Muhamad Muckhlisin, Penulis adalah kritikus sastra dan pemenang pertama sayembara cerpen nasional yang diselenggarakan harian Rakyat Sumbar (2017)

Ada tipologi calon pemimpin yang punya rasa takut berlebihan apabila ia gagal atau kalah. Sebaliknya, ada juga tipologi yang justru merasa takut apabila prestasinya terus menunjukkan peningkatan. Terkait dengan ini, kita masih ingat psikoterapi yang secara rinci diberikan Dokter Andy kepada pasiennya (Haris) dalam novel Pikiran Orang Indonesia. Memang cukup banyak pemimpin di negara-negara berkembang telah dipaksa oleh “keadaan”, atau menjadi pemimpin bukan karena panggilan jiwa dan hati nuraninya, melainkan karena pengaruh keluarga, perusahaan, partai, massa, bahkan posisi jabatan yang dimandatkan dari atasannya. Sementara pemimpin yang baik dan mumpuni, sejatinya ia dihargai karena kinerja yang baik, atau pengaruh yang kuat sehingga memiliki wibawa dan kharisma sebagai pemimpin.

Pemimpin yang memiliki core belief yang rendah, pijakan hidupnya tidak kokoh, jiwanya labil, mudah panik, tegang, dan gampang tersinggung. Pada kondisi tertentu, amarah dapat mudah meledak karena tak mampu menghadapi kenyataan bahwa sifat pemimpin harus siap menerima kondisi lapang dan sempit, sukses dan gagal. Jiwa yang labil dan temperamental itu akan sulit menerima keberhasilan orang lain, juga akan mudah berkata atau bersikap yang dapat melukai hati rakyatnya.

Bisa dibayangkan, jika pemimpin minim kompetensi seperti itu. Ia akan berupaya dengan segala cara, agar rakyat mendukung dan menghormatinya, namun tak sepadan dengan ekspektasi yang dicapainya. Perhatikan figur-figur seperti itu di lingkungan partai politik, tim sukses kandidat, hingga ke kalangan Ormas, LSM, dan akedemisi. Kita bisa memahami jika kualitas ekonomi dan budaya menjadi janggal selama beberapa dasawarsa ini, karena memang kurang didukung oleh prestasi yang memadai. Orang-orang berprestasi (achievers) masih banyak yang tersingkir, dan tidak mempunyai habitat yang layak. Mereka kurang fokus pada bidang yang digelutinya karena direcoki oleh urusan-urusan politik praktis yang bersifat semu dan sesaat belaka.

Baca Juga:  Malam Penentuan

Lalu, bagaimana andil agama dalam proses perkembangan dan kemajuan suatu bangsa? Saya kira, agama yang masih terpaku pada ortodoksi yang konservatif sama sekali tidak punya peran yang berarti bagi kemajuan peradaban bangsa, malah hanya akan menjadi penghambat yang merecoki jalannya pintu kemajuan. Di Jakarta dan Banten saja, lebih dari 5.000 pesantren terdaftar di kementerian agama, tetapi ketika yang diajarkan kepada anak-didik hanya sebatas kitab-kitab klasik (kitab kuning) dengan pola penyampaian monolog antara guru dan murid, rasanya sulit memunculkan generasi muda yang sanggup melaju dalam kancah persaingan global. Pemahaman agama yang ortodoks – apalagi radikal – seakan hanya berfungsi sebagai tambal sulam yang membius penganutnya agar terhibur pada jaminan surga di akhirat kelak.

Integritas kepemimpinan

Kita menyaksikan fenomena demokrasi yang masih pincang dan tertatih-tatih, terutama ketika negeri ini baru sebatas menghasilkan pemimpin yang siap maju, tetapi belum siap mundur dan menerima kekalahan. Ada juga kepala daerah yang tertangkap KPK karena kasus suap dan korupsi, tetapi bersikukuh ingin tetap menjabat dari dalam penjara. Ia mengabaikan perasaan rakyat-banyak yang butuh pemimpin benar dan bersih. Tangis air matanya seakan hanya perlu menangisi diri sendiri, tetapi tak mampu menangisi penderitaan rakyat. Kualitas politisi semacam itu, tidak akan mampu mengumpulkan kekuatan moril sebagai pemimpin berintegritas yang pantas diteladani generasi muda kita.

Baca Juga:  Malam Penentuan

Di sisi lain, banyak angkatan muda yang mencari peruntungan di dunia tablig dan dakwah. Dari pagi hingga siang hari, puluhan siaran televisi – baik nasional maupun lokal –berlomba-lomba menjaring iklan untuk acara-acara ceramah agama. Tetapi, seringkali luput dari perhatian mereka tentang kualitas penceramah yang mumpuni, apakah materi yang disampaikannya membawa pencerahan dan pencerdasan rakyat, ataukah menggiring imajinasi massa kepada khayalan negeri akhirat sehingga pemahamannya cenderung eksklusif dan menyesatkan.

Apakah fungsi agama yang didakwahkan mampu berperan sebagai akal yang semakin mempermudah urusan bermasyarakat dan berbangsa? Sedangkan Nabi Muhammad bersabda, bahwa bukanlah seorang agamis yang baik jika kerjaannya hanya taklid dan meniru belaka, namun tidak mengoptimalkan fungsi akal yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Apakah kualitas kepemimpinan yang ada sanggup menangkap sinyal-sinyal dari gejala kejiwaan yang menghinggapi sebagian masyarakat, hingga agama yang berkembang dapat memberi rasa aman dan kesejukan yang dapat menaungi kebhinekaan, agar hidup saling menghormati di antara sesama warga negara?

Kompetensi kepemimpinan

Pada prinsipnya, kinerja seorang pemimpin akan mudah tercapai apabila kepemimpinan didasarkan pada kompetensi. Sedangkan kompetensi dapat dinilai dari hasil yang telah dicapai. Pada tatanan pembangunan Indonesia, situasinya menjadi kompleks karena interpretasi terhadap kinerja yang dicapai saat ini, dilakukan dengan persepsi yang dibingkai kepuasan yang berbeda-beda.

Calon pemimpin yang puas merespons keadaan akan berbeda dengan mereka yang menyatakan tidak puas. Mereka yang merasa puas akan cenderung lebih percaya diri, juga lebih percaya terhadap orang lain. Sementara mereka yang tidak puas, apakah karena kalah bersaing – ataukah takut gagal tadi – cenderung memiliki penghargaan diri yang rendah. Tidak sedikit orang-orang berpendidikan tinggi, intelektual, elite politik, yang merasa tidak puas dengan kinerja pemerintah, lalu menjatuhkan pilihan sebagai kritikus kasar, negatif, dan gemar mencaci-maki pihak-pihak yang tak disukainya.

Baca Juga:  Malam Penentuan

Dalam konteks ini, sastrawan Jacob Sumardjo secara tendensius menyarankan agar bangsa ini segera disediakan layanan jasa-jasa psikiater secara massal. Karena menurutnya, gejala delusi kejiwaan sudah menjalar ke mana-mana. Seraya mengutip novel Pikiran Orang Indonesia, ia melanjutkan, “Jika hal itu dibiarkan mengontaminasi anak-didik dan generasi muda kita, sudah saatnya untuk dicarikan para mentor agar segera memberi terapi massal, hingga mereka terselamatkan dari benih-benih negatif ini.”

Dengan demikian, kurang lebih sama dengan proses setting ulang (re-setting value), karena setiap pribadi terbentuk dari nilai-nilai yang dilatarbelakangi oleh kepercayaan dan tradisi masalalunya, termasuk dari pola pikir pemimpin yang gagal dan tidak puas tadi. Di sisi lain, tidak jarang ditemukan ulah pemimpin yang “sakit hati”, ketika gagal terpilih sebagai pejabat publik, perilakunya yang buruk dipertontonkan secara terang-terangan. Mulai dari gemar mencaci-maki, menebar hoaks, menyerang dan mengerahkan massa, hingga memproduksi kekacauan dan kerusuhan. Ada juga yang nekat menggunakan cara-cara lama, laiknya politik memadamkan kebakaran, kemudian muncul sebagai pahlawan pemadam api yang sebenarnya telah ia sulut sebelumnya.

Gejala-gejala kejiwaan seperti itu seringkali tidak dirasakan, karena yang merasa tidak nyaman bukanlah penderitanya melainkan orang-orang yang dipimpinnya. Tanpa disadari, pemimpin atau calon pemimpin yang “sakit hati” itu sebenarnya telah mewarnai perubahan yang radikal dan destruktif ke dalam benak sebagian masyarakat kita. Oleh karena itu, terapi kepemimpinan (leadership therapy) sangat dibutuhkan bagi kesehatan jiwa dan mental bangsa ini.

Related Posts

1 of 3,050