Puisi

Tentang Rasa dan Lintang Biasa; Laras Ngilu Gadis Pemalu

gadis berjilbab, tangisan, cerpen, syukur budiardjo, nusantaranews, kumpulan cerpen
Ilustrasi gadis pemalu. (Foto: DevianArt)

Tentang Rasa dan Lintang Biasa

Langit diam … temaram dalam hitam
Rembulan menatap kosong pada malam
Membuat rasa itu kembali berpendar
Terus bersinar dan tak tahu kapan akan pudar

Ribuan titik menyala-nyala
Menghidupkan asa merajut cita-cita
Menatap ke bawah padamu yang sibuk bertanya :
Tentang hakikat rindu yang kelabu
Melilit tulangmu jadi satu
Menggores luka tersedan tersedu
Andaikan engkau tahu
Di sana,
Diatas langit dan angkasa
Ada satu titik tak tega melihatmu meratapi lara
Ada satu titik ingin memberitahumu segalanya
Namun apalah daya,
Ia hanya satu titik lintang biasa
Yang tersamarkan diantara remahan cahaya

Klaten, 6 November 2018

 

Menanti dan Pergi

Dulu kaulah yang selalu menanti
Kala aku pergi tanpa perlu meminta permisi
Berharap cemas aku segera pulang
Meski diriku malah tak kunjung datang

Namun kini semesta menciptakan bumerang untuk menyerang
Yang menancap di ulu hati dan mengukir luka radang :
Engkau yang kini pergi bahkan tanpa harapan kembali
Kau bawa semua janji dan ambisi
Melenyapkan semua harap serta mimpi
Sisakan diriku yang tinggal menangisi

Jangan tanyakan lagi apa rasanya hati
Rindu yang teronggok disini sungguh membuat nyeri
Dan kini bila aku pergi pun tiada yang akan mencari
Tapi kemana kaki ini harus kubawa berlari
Jika beban rindu ini rasanya setengah mati

Klaten, 11 Maret 2019

 

Ruang Mimpi

Dini beralun melodi
Mengeringkan harap dan imaji
Memancing gema pada ruang mimpi
Sunyi …

Pernah juga mengalami
Menggapai-gapai yang tak pasti
Merangkai-rangkai yang jarang bersemi
Hingga disadari, mimpi tetap mimpi

Klaten, 15 Juli 2019

 

Laras Ngilu Gadis Pemalu

Dengung sembilu memenuhi karsa dari segala indra.
Menghantam rasa hingga porak-poranda
jadi puing berkeping-keping.
Anak manusia biasa kehilangan citanya.
Kehilangan asa, hilang makna hidupnya.
.
Tiap waktu terasa bagai pedang yang menusuknya
dengan iringan gendang bertalu nada haru
Sakit bila dikenang dan sulit dilupakan, walau detik telah berlalu.
Ketakutan dan air mata akan menemaninya selalu.
Membuncahkan lara dan pilu.

Lalu kini batinnya makin sakit. Cobaan yang diterima
membuatnya ingin menjerit. ‘Tak cukupkah hidupnya selama ini
sungguh rumit? Hingga langkah terakhirnya pun dipersulit.

Klaten, 31 Oktober 2019

 

Ratapan Sang Pemimpi

Gurat langit tersenyum sendu
Dalam nuansa putih di atas biru
Menatap diam pada garis takdir berliku:
Betapa hidup sungguh lucu

Sepelemparan batu, tinggal sejengkal lagi
Langkah kecil itu akan menjumpa mimpi
Selepas bertahun hanya bisa berimajinasi
Betapa menyenangkan penantian ini

Namun salah, ini semua diluar rencana
Tanpa sadar ia diintai bencana
Lalu terperosok dalam jurang kuasa
Bagaimanalah caranya menahan air mata

Sepelemparan batu, tinggal sejengkal lagi
Ah!
Seberapa dekat pun mimpi tetaplah mimpi
Seberapa deras pun air mata ‘tak akan bisa menolong diri
Dan benar, betapa ironi ini lucu sekali

Sukoharjo, 6 November 2019

 

 

Tentang penulis:

Hasna Nabila Qotrunada. Lahir di Klaten, 19 September 2001. Merupakan seorang siswi sekolah farmasi yang suka menggores kata dan bermimpi tentang cita-cita. Beberapa kali mengukir cerita di akun instagram @hsnblqtrnd dan membuka pintu pertemanan melalui email [email protected]

Related Posts

1 of 3,050