NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Tensi politik pada perhelatan Pilpres 2019 dinilai terlalu tinggi. Pemerhati Kebijakan Publik sekaligus Dosen FISIP UNAS Chazali H Situmorang mengatakan suasana Pilpres 2019 terasa sangat berbeda dengan pemilihan presiden sebelum-sebelumnya. Sebab, tensi gesekan antar pendukung capres-cawapres terasa sangat tinggi.
“Suasana berbeda dirasakan saat sekarang ini. Gesekan antar pendukung sudah pada tahap menggunakan kata-kata yang tidak pantas di dengar publik,” katanya dikutip dari keterangannya, Jakarta, Senin (25/2/2019).
“Seperti istilah kebohongan, curang, sontoloyo, genderuwio, kecebong, kampret, menjadi menu sehari-hari yang dilontarkan oleh para elie politik, bahkan penyelenggara negara,” sambung Chazali.
Dosen FISIP UNAS ini menuturkan, tensi yang meninggi tersebut terjadi akibat tingkat elektabilitas pasangan calon bersaing ketat. Ada yang cenderung menutun, meskipun pelahan. Sebaliknya, ada yang cenderung naik elektabilitasnya meskipun juga berlangsung secara perlahan.
“Yang menurun cenderung stres dan yang naik perlahan cenderung juga stres. Demikian juga stres melanda partai politik pendukung utama salah satu paslon yang cenderung menurun karena diikuti dengan menurunnya elektabilitas partai besar tersebut,” ucapnya.
“Akibatnya sudah dapat diduga. Berbagai strategi untuk upaya pemenangan dilakukan. Mulai dengan cara yang halus, sampai dengan yang kasar. Mulai dengan bujukan sampai dengan ancaman,” lanjut dia.
Contoh sederhana, katanya, dapat dilihat dari perilaku politik para politikus yang dulunya memaki-maki Jokowi sekarang justru berbalik arah mencium tangan eks walikota Solo itu.
“Menjadi juru bicara yang seolah-olah seluruh darah daging dan nyawanya untuk Jokowi. Ada yang dulu menuduh Jokowi PKI, sekarang minta maaf ke Jokowi bahwa tuduhan tersebut tidak benar. Dan Jokowi mamaafkan,” ujarnya.
Dalam situasi seperti saat ini, lanjut Chazali, Jokowi harus pandai-pandai mengelola dirinya yang kini berstatus seorang Presiden RI dan seorang politisi. Pasalnya, jika tidak pandai mengelolanya akan ibarat seperti pisau bermata dua.
“Pengalaman sebagai penyelenggara Negara mulai dari Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan sudah 4 tahun lebih sebagai Presiden RI, seharusnya sudah merupakan modal sosial yang cukup untuk berkompetensi dalam Pilpres kali ini sebagai Petahana,” terangnya.
“Semoga Jokowi, Bapak Presiden RI yang juga Petahana, dalam debat putaran berikutnya mendatang ini tidak lupa posisi beliau sebagai politisi yang sudah menjadi negarawan karena menjabat sebagai Presiden berhadapan dengan Paslon 02 yang merupakan politisi yang akan mencoba menjadi negarawan melalui lembaga Kepresidenan,” pungkasnya.
(eda)
Editor: Eriec Dieda