Telah Kutemukan, Cintaku, Cerpen Pramudhita Mega Maharani
NUSANTARANEWS.CO – Cermin-cermin berkilauan tertimpa cahaya senja yang menembus temperglass di bagian barat dinding kamarku. Kini aku tengah menanti, menanti rasa dimana hatiku merasa tenang. Menanti rasa yang dulu tak pernah menghampiriku. Rasa cinta paling dahsyat yang pernah aku rasakan dalam hidupku. Rasa yang membuatku ingin memeluk sangat erat, hingga tak terbersit sedikitpun untuk melepaskannya. Rasa yang membuatku tergila-gila untuk senantiasa mendengar surat-surat cintanya.
Aku pernah mencicipi berbagai cinta. Merasakan indahnya gemerlap dunia. Berlari. Tertawa. Berpetualang tuk buktikan betapa cintaku pada dunia. Menyusuri waktu malam hingga tak ada batas waktu. Aku hanya paham, bagaimana aku harus menghabiskan waktu-waktu terbaik di dunia, bersama orang-orang terbaik, dan hal-hal terbaik, kurasa.
Tidak ada siapapun dapat membatasi langkahku. Hentikan bahagiaku. Inilah caraku mendapatkan kebahagiaan. Merekalah bahagiaku. Bagaimana aku bersenang-senang dan melepaskan begitu saja lembaran-lembaran rupiah. Aku tak ingin tau apa kata orang. Aku tak ingin tau bagaimana hidup orang. Karena untuk apa? Toh aku tak akan membutuhkan mereka. Aku sangat cukup mampu mengendalikan hidupku.
Malam itu, aku terbangun. Masih dengan sisa-sisa erang tangis dalam mimpiku. Sepersekian detik kemudian, aku telah sadar dengan sempurna. Aku hentikan sesak nafas karena tangisku. Aku pun telah menghapus bercak air mata. Segera aku keluar kamar, bahkan keluar rumah. Ya, hal yang tak pernah aku lakukan sebelumnya.
Aku mulai menggerakkan kursi goyang yang terletak di sudut serambi. Kuketuk kepalaku pelan, memoriku akan cepat terbuka kembali, pikirku. Nihil. Aku tidak dapat mengingatnya sedikitpun. Mimpi apa aku? Malahan, air mata menetes di setiap helaan nafasku. Sedih. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku benar-benar merasakan sedih. Sakit. Hatiku benar-benar terasa terkikis. Urat-urat mataku? Bahkan ikut terasa perih, padahal aku tidak menginginkan air mata ini untuk kembali jatuh.
Aku rasa telah tertampar jiwaku. Bagaikan diterpa angin badai. Aku merasa tercabik-cabik hatiku. Naas. Aku rasa. Jiwaku telah kecelakaan. Dihantam keadaan. Menimbulkan memar-memar biru di hati.
Aku berada diantara kegelapan. Di jurang yang sangat dalam. Dimana udarapun bahkan enggan untuk lewat. Dimana batu bakar dengan api yang menyala-nyala di pinggir tebing, siap untuk dijatuhkan. Aku seperti orang yang ling-ling. Aku merasa senang, ya aku sedang bersenang-senang disini, di dala suasana gelap tanpa kepastian. Namun, disisi lain aku merasa kerakutan, sangat-sangat ketakutan. Aku takut jika tiba-tiba api itu melompat ke dalam sini. Sedangkan aku dan semua yang disini, semakin bergembira, tertawa, melompat-lompat, sehingga batu itu semakin sedikit semakin bergeser untuk segera jatuh ke sini.
Aku kebingungan. Aku senang tetapi aku takut. Aku ingin menghentikan ini dan mengatakan pada semua, batu bara dengan api yang menyala-nyala itu akan segera terjun kemari. Tetapi aku merasa senang disini, bernyanyi, bergembira. Aku sangat sangat ketakutan. Namun, aku malah tertawa dan bernyanyi semakin keras. Lalu tiba-tiba, suasana menjadi sangat mencekam. Ada suara bergema yang sangat memekakan telinga, mendebarkan dada, menggetarkan jiwa. Hingga kerikil-kerikil kecil dengan gemercik api mulai berjatuhan dari atas. Sekelebat awan putih kini mulai terbentang. Aku dan yang lain hanya ternganga melihat keindahannya. Bahkan tak peduli bahwa gemericik api mulai terdengar.
Luar biasa. Banyak orang mulai berjalan dengan anggun diatas sana. Aku pun keheranan. Padahal, tiap langkah kaki menembus awan, tetapi mereka sama sekali tidak terjatuh. Mereka tersenyum bahagia. Ah, sama dengan kami yang bahagia, pikirku. Ku lihat, mereka menggunakan mahkota pula, sama seperti kami, pikirku. Tetapi, mahkota kami mulai koyak terkena gemercik api. Aku juga melihat mereka memakai pakaian yang indah, berwarna putih bersih, sama seperti pakaian kami yang bersih dan warna-warni. Tetapi, kini pakaian kami mulai menghitam, kotor terkena percikan bara api. Kuperhatikan pula, wajah mereka cantik, bersih, bahkan bak bercahaya. Kurasa pun sama seperti kami, kami juga menghias wajah kami dengan warna-warna yang indah. Tetapi sayang, kini mulai kotor dan dekil terkena panasnya terpaan api-api kecil di sekitar kami.
Batu berapi jatuh menghasilkan bunyi debam yang sangat kuat. Aku mulai kesakitan, karena api-api mulai mengenai tubuhku. Aku ingin menangis. Tetapi untuk apa? Toh aku bahagia. Debuvan ini terjadi berkali-kali. Kini, aku tak dapat melihat apa-apa. Semuanya gelap. Aku meraba-raba disekitarku, tapi tak kunjung menemukan apapun. Aku terus berusaha. Sembari mengutuk keadaan. Ya, ternyata aku menemukan sebuah tali kecil, tali yng sangat kecil, namun teraba sangat-sangat lembut. Tak ada pilihan lain, aku mencoba mencari pertolongan dengan meraih tali itu, mencari kemana asalnya. Sial. Tali itu menghentakkanku, hingga peganganku terlepas. Aku kembali terjatuh. Dan terbangun dari tidurku dengan air mata dan suara tangis yang masih menderu.
Aku tak lagi mencintaimu, aku hanya cinta padaNya.
Pramudhita Mega Maharani, Lahir Bantul, 19 Oktober 1999. Memiliki hobi Membaca, menulis, menggambar, berenang, badminton. Siswi kelas XII IPA4 SMAN 2 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Email : [email protected]
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].