Telaah Kritis Hak Angket DPR Untuk KPK*

Sidang e-ktp/foto ilustrasi/Nusantara.news

Kasus e-KTP/Foto: Ilustrasi/Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO – Salah satu peristiwa politik yang sukses kejutkan publik tanah air baru-baru ini ihwal penggunaan hak angket DPR untuk KPK. Diketoknya palu dalam sidang paripurna DPR menandakan persetujuan penggunaan hak angket dalam sidang paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah.

Hak angket itu seharunya dikeluarkan dalam kondisi sangat mendesak dan sangat penting. Jika hak angket digunakan DPR untuk mencari kejelasan penuntasan sknadal e-KTP, itu sangat aneh. Hak angket yang dimaksud DPR seolah-olah mengganggu wewenangnya KPK dalam penanganan kasus korupsi.

KPK sebagai lembaga independen, harus dipisahkan dari kepentingan DPR yang terdiri dari unsur partai politik. Sehingga yang ditakutkan adanya the parpolisasi dengan adannya intervensi terhadap KPK dalam penanganan kasus korupsi, terlebih keterlibatan elit politik di DPR yang diduga menerima suap dari korupsi e-KTP.

Inilah yang memicu DPR dalam menggunakan hak angket. DPR menginginkan keterbukaan KPK terhadap adanya dugaan intervensi dari tim penyidik KPK terhadap proses pemeriksaan politisi Hanura Miryam S. Haryani.

Sebagian anggota DPR yang menyetujui penggunaan hak angket DPR disinyalir untuk membantu kader-kadernya yang terlibat dalam kasus korupsi. Tentunya dengan adanya upaya campur tangan DPR terhadap KPK setidaknya mampu mendengar dan membaca bocoran informasi-informasi penting bagi kepentingan penuntasan kasus korupsi kader parpol di DPR.

Pro Kontra KPK

KPK sebagai lembaga yang paling garang menghantam korupsi tentu kehadirannya ditakuti oleh para koruptor. Pro-kontra terhadap KPK sering sekali terjadi dengan adanya upaya pelemahan wewenang KPK dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Secara garis besar kita bisa melihat pertama, pihak mana yang menginginkan KPK tetap sebagai lembaga independen.

Independen maksudnya bukan berarti bebas dari aturan hukum, kritikan, saran dan perbaikan kekurangan-kekurangan. Tidak kalah pentingnya KPK menjalankan aturan sebagaimana mestinya dan bebas dari kepentingan manapun.

Kedua, pihak yang tidak menginginkan KPK terlalu bebas mengusut sana-sini kasus korupsi. Karena yang ditakutkan, KPK akan leluasa menjadi lembaga anti korup yang menyeret siapapun yang terlibat dalam kasus korupsi tanpa mempertimbangkan kekurangan-kekurangan yang ada pada tubuh KPK itu sendiri.

Sederhananya keduanya punya kekuatan positif dalam penanganan korupsi. Poin penting yang dapat kita ambil dalam kasus ini adalah bagimana KPK harus berhati-hati dalam mengusut tuntas kasus para petinggi parpol dan elit-elit politik terutama di DPR yang saat ini disorot KPK. Sebab sudah sewajarnya DPR sebagai lembaga tertinggi di negra mengawasi KPK sebagai lembaga independen, agar KPK tidak lost control dan over authority.

Fraksi-Fraksi Berkepentingan

Jika dicermati proses ketok palu dalam penggunaan hak angket, tentunya bagi KPK, proses persetujuan itu merupakan hal penting karena menentukan hasil apakah hak angket itu benar-benar suara mayoritas dari DPR atau bukan. KPK perlu juga memberikan apresiasi kepada fraksi-fraksi yang tegas menolak dan menerima hak angket serta tetap mendukung pemberantasan korupsi.

Apabila nantinya hak angket itu bergulir menunaikan tugasnya, KPK harus tegas menyatakan bukti-bukti terkait dengan kasus yang masih ditangani tidak akan dibuka, kecuali dalam proses persidangan. Sebab upaya pengungkapan bukti-bukti di luar proses pengadilan adalah bentuk intervensi.

Jika KPK dipaksa, itu adalah bentuk intervensi terhadap independensi KPK yang juga dijamin Undang-Undang. Fraksi-fraksi yang pro terhadap KPK adalah Fraksi Partai Gerindra, PKB, PKS dan Partai Demokrat yang menolakan terhadap usulan penggunaan hak angket tersebut. Penolakan tersebut tidak lain untuk mengkaji secara mendalam implikasi hak angket terhadap upaya penegakan hukum oleh KPK. Sehingga, kita bisa menilai agar tidak adanya kesan mengganggu dan menghambat, apalagi mengintervensi KPK dalam pemberantasan korupsi.

Kemudian fraksi yang menuntut hak angket dicetuskan yaitu fraksi Golkar, Nasdem, PDIP dan Hanura. Dukungan fraksi ini untuk mengakui hak angket sebagai upaya untuk mendalami dan mungkin untuk mengoreksi berbagai kejanggalan yang terjadi di dalam proses internal KPK. Seperti bocornya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), Berita Acara Perkara (BAP), surat cekal dan etika penyebutan nama-nama orang yang baru diduga terlibat, serta terkait proses-proses tugas dinas dan penganggaran di internal KPK.

Jika kita tarik secara keseluruhan, dapat terpetakan kepentingan fraksi yang menggunakan hak angket, untuk melindungi elit-elit parpol yang terlibat di dalam kasus e-KTP. Seperti nama Setya Novanto (Golkar) dan Miryam S. Haryani (Hanura). Keinginan Golkar dan Hanura untuk menandatangani hak angket itu tidaklah murni dalam keadaan mendesak dan tidak terlalu penting, bahkan bertentangan dengan tujuan penggunaan hak angket itu sendiri.

Disamping Golkar dan Hanura, partai PDIP, Nasdem adalah partai yang sangat mendukung pemerintahan Jokowi. Keterlibatan partai ini dalam penandatangan hak angket ini tentu akan dipertanyakan, apakah ini benar murni dalam konteks penegakan hukum atau melindungi anggota fraksi yang diduga meneriam suap dalam korupsi e-KTP.

Langkah terbaik adalah membebaskan kepentingan murni partai politik di fraksi DPR terhadap penggunaan hak angket untuk menyelamatkan anggota fraksi dari dugaan kasus korupsi. Jika ini terjadi, tentu akan muncul lagi hak angket, hak angket berikutnya. Hal tersebut secukupnya diselesaikan melalui mekanisme Rapat Kerja antara Mitra DPR yakni Komisi III dengan KPK.

Selanjutnya yang sangat penting, KPK juga harus terbuka dan memperbaiki diri jika masukan dan koreksi tersebut benar dan konstruktif semata-mata demi menjaga marwah KPK sendiri agar pemberantasan korupsi semakin efektif, menutup celah kelemahan, dan abuse of power.

*Ikhwan Arif, Pengamat Politik dan Direktur Indonesia Political Power
Editor: M. Romandhon

Exit mobile version