NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Fokus Wacana Universitas Indonesia menggekar diskusi bertema Menakar Ekslusivisme dan Radikalisme di BUMN dan ASN, Rabu (26/6/2019) kemarin. Lembaga kajian yang didirikan oleh figur-figur dengan latar belakang aktivis dan jurnalis alumni Pascasarjana UI tersebut, ingin menggali seberapa jauh faham ini masuk di lingkungan BUMN dan bagaimana upaya mencegah perkembangannya.
Bob R Randilawe salah satu Presidium dari Fokus Wacana UI dalam pengantarnya mengingatkan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang baru-baru ini mencanangkan Gerakan “pembersihan” dilingkungan Kementerian Keuangan RI.
Menurut Bob, Langkah Menkeu tersebut mendapat apresiasi publik karena dianggap sebagai sebuah terobosan yang dapat menjawab kekuatiran dan keresahan masyarakat luas terhadap fenomena keterpaparan kalangan birokrasi termasuk BUMN dari infiltrasi radikalisme.
“Faham radikalisme telah menciptakan keresahan bahkan telah menjadi permasalahan kebangsaan dan kenegaraan. Menkeu Sri Mulyani mengidentifikasikan mereka sebagai ASN eksklusif,” ujar Bob Randilawe yang juga dikenal sebagai aktivis 80 tersebut.
Sedangkan BUMN dengan jumlah pegawai sebanyak 2 juta orang (ASN, Profesional dan outsourcing), kata Bob, juga telah menjadi sasaran dan target kelompok penganut faham rasikal untuk dimanfaatkan sebagai “ATM”, dalam arti negatif. Ia menambahkan, kelompok ini juga telah menjadikan BUMN sebagai basis kaderisasi dan kekuatan massa untuk dikerahkan demi kepentingan politik.
Dari hal Itulah Bob nenyatakan, dalam diskusi yang domederatori oleh oleh DP Yudha dan Satrio Arismunanda dan terbagi dalam 2 sesi tersebut, selain Direktur Stara Institute, pihaknya sengaja menghadirkan Fadjroel Rachman dan Teddy Wibisana sebagai pembicara.
“Hamili akan memaparkan hasil penelitian Setara Institut, yang akan membuka seberapa jau ancaman radikalisme. Sedangkan Fadjroel dan Teddy, sebagai komisaris BUMN dengan latar belakang aktivis demokrasi, bisa memberikan potret yang lebih komprehensif mengenai infiltrasi radikalisme di BUMN,” ujar Bob.
Sementara Hamili dalam kesempatan tersebut menjelaskan, bahwa infiltrasi radikalisme semakin meluas bahkan sudah masuk dikalangan pelajar. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, sikap intoleransi ada di 38,4 persen siswa SMA. Yang paling mencemaskan, ungkapnya, 0.3 persen diantaranya menyetujui tindakan teror atas nama agama.
Mengenai upaya penanganan radikalisme di BUMN, dosen ilmu sosial UNY Yogyakarta ini, mengusulkan adanya screening ideologi dari tingkat staf sampai direksi. Selain itu menurutnya, audit tematik dalam jabatan terkait ideologi perlu dilakukan.
“Penyaluran dana CSR juga perlu diperhatikan. Jangan sampai dana CSR BUMN disalurkan bagi kepompok-kelompok intoleran dan radikal. Undang-Undang kita secara tegas menyatakan seluruh aparatur negara harus setia pada Pancasila, UUD 45 dan NKRI,” tegasnya.
Sedangkan Komisaris Indofarma yang merupakan salah satu perusahaan BUMN, Teddy Wibisana, dalam kesempatan berikutnya menjelaskan bahwa data dan informasi mengenai terpaparnya pegawai BUMN oleh faham radikalisme dapat dilihat dari hasil riset P3M.
Menurut Teddy, riset itu dilakukan oleh P3M di 100 tempat ibadah yang ada di Kantor Kementerian, Lembaga tinggi negara dan BUMN. Hasilnya, ungkap Teddy, menunjukan bahwa 41 persen terpapar radikalisme dab khusus untuk BUMN, hasilnya lebih besar lagi dimana 56 persen manajemen /pengelolaan Masjid di BUMN terpapa Radikalisme.
Dari hasil riset itu, Teddy mengungkapkan bahwa fakta dapat langsung terlihat. Penceramah radikal dan yang terafiliasi dengan HTI , lanjut Teddy, bahkan dengan bebas mendapat panggung di masjid-masjid BUMN. Pun jika ada beberapa Penceramah yang membatalkan dakwahnya, hal itu bukan karena kehendak Panitia namun karena tuntutan publik.
“Perlu diketahui, mereka yang kemudian batal berceramah,itu bukan karena kesadaran panitia, tapi karena adanya tekanan publik. Banyaknya karyawan BUMN yang terlibat pada aksi politik identitas juga menunjukan hal tersebut,” ujar Aktivis Pro Demokrasi yang akrab dengan jeruji besi karena menentang Presiden Suharto tersebut.
Lebih lanjut Teddy mengungkapkan, bahwa Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pernah mengumpulkan direksi BUMN guna melakukan sosialisasi tentang bahayanya faham radikalisme. Seharusnya menurut Teddy, sosialisasi tersebut bukan hanya sekedar seremonial belaka melainkan ditindaklanjuti oleh para Direksi ke tingkat Manager sampai Staf.
“Tapi siapa yang bisa memastikan bahwa tindak lanjut itu dilakukan. Indikator performance direksi dan kesehatan BUMN itu dilihat dari profitabilitas. Menjaga semangat kebangsaan dan peduli pada kepentingan dan asset negara tidak masuk dalam KPI (Key Performance Index) direksi,” ujar Pria yang juga pernah menjabat Direktur dari salah satu Radio terkemuka di Ibukota itu.
Menjawab pertanyaan tentang penyebab terpaparnya BUMN oleh paham ini, Teddy berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan oleh rendahnya kesadaran insan BUMN untuk menjaga kepentingan Negara. Menurut Teddy, saat ini profesionalitas dan laba, seolah menjadi ukuran, padahal karakter Kebangsaan lah yang memperkuat BUMN dan harus dipertahankan.
“Kalau hanya profesionalitas dan laba yang menjadi ukuran, mengapa masih ada bahkan meraja lela kasus Korupsi? Mengapa BUMN banyak yang tidak efisien? Saya tegaskan bahwa BUMN ada asset negara didalamnya, sehingga karakter kebangsaannya tak boleh hilang. Yang harus hilang itu KKN nya,” tandasnya.
Dikesempatan yang sama, Komisaris Utama Adhi Karya Fadjroel Rahman membuka penjelasannya dengan menceritakan peristiwa adanya karyawan Adhi Karya yang memaki Gus Mus dengan kata “ndasmu” saat ia tidak setuju terhadap pernyataan Gus Mus. Peristiwa itu menunjukan betapa agresifnya karyawan BUMN terhadap pikiran yang berbeda.
Mengapa ideoligi radikalisme semakin marak, menurutnya karena semasa Orde Baru, ideologi disampaikan dengan model indoktrinasi. Hal ini menurutnya sangat tidak menarik dan terkesan memaksa. Sebaliknya pasca redormasi ada kekosongan ideologi negara.
“Di Perguruan Tinggi pun, sosialisasi terhadap Pancasila dilakukan dengan cara indoktrinasi, bukan dengan diskusi terbuka. Saya pun saat masuk ITB tidak mau mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila-red),” tukas Fadjroel
Baru setelah Reformasi, ungkap Fajroel, Pancasila sebagai ideologi negara seolah menjadi tidak relevan. Dan disaat itu pula ideologi khilafah justru mulai berkembang. Namun Fajroel juga mengingatkan, bahwa di masa Pemerintahan Jokowi ideologi negara dikembalikan keberadaannya.
“Ia Presiden yang merasa Pancasila penting sebagai pedoman kehidupan berbangsa. Dan jika Jokowi memimpin negara sampai tahun 2024, kesempatan untuk membumikan Pancasila dengan cara yang tepat sesuai dengan perkembangan jaman, masih terbuka,” Pungkas Fadjroel. (eddy santry/nn)
Editor: Achmad S.