Berita UtamaEkonomiFeatured

Tax Amnesty Jawaban Negara Gagal

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta“Di negara dunia manapun, hanya negara-negara gagal yang menerapkan kebijakan tax amnesty. Rata-rata mereka adalah negara-negara yang tengah terdera defisit keuangan akut. Beberapa negara tersebut antara lain Yunani, Kenya, Argentina, Trinidad & Tobago dan Honduras.” Bagaimana negara hendak membayar angsuran hutang? Ketika kenyataan antara postur APBN dengan hasil pajak negara terjadi timpang. Ini yang mengakibatkan negara defisit. Sebagaimana diketahui, pajak merupakan satu-satunya sumber pemasukan negara.

Berdasarkan laporan pajak non-PPH Migas tahun 2016, pajak yang mampu disumbangkan ke negara hanya Rp. 870 triliun. Sementara APBN 2017 membutuhkan anggaran sebesar 2.080 triliun. Disisi lain utang pemerintah Indonesia jumlahnya telah mencapai Rp. 3.667,4 triliun lebih.

Dengan mengandalkan nilai pemasukan 870 triliun pertahun, mustahil bagi negara bisa menyicil hutang. Wajar kemudian, selama 2,5 tahun menjabat, pemerintahan telah mengumpulkan hutang sebesar Rp. 1.067 triliun. Inilah yang kemudian menginisiasi Sri Mulyani menempuh jalan tax amnesty.

Penting diketahui bahwa program tax amnesty menyadarkan publik bahwa negara Indonesia saat ini memang tengah dirundung paceklik. Artinya, jika ada klaim yang menyebut pemerintah memiliki uang jutaan triliun di brankas, jelas itu kebohongan besar. Pasalnya di negara dunia manapun hanya negara-negara gagal yang menerapkan kebijakan tax amnesty. Mereka adalah negara-negara yang tengah terdera defisit keuangan akut.

Baca Juga:  Drone AS Tidak Berguna di Ukraina

Diantara negara-negara gagal yang menerapkan tax amnesty (pengampunan pajak) antara lain Yunani, Kenya, Argentina, Trinidad & Tobago dan Honduras. Pernahkah kita mendengar, Amerika atau Inggris misalnya memberlakukan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty)? Tidak pernah. Sebab, Amerika dan Inggris bukan negara gagal.

Atau Jerman katakanlah mendadak memberikan pengampunan pajak? Tidak mungkin. Karena pertumbuhan nilai aktiva dan passive di negara tersebut berjalan baik dan stabil. Dalam hal ini, perlu dibedakan antara tax amnesty dan repatriasi.

Beda Tax Amesty dan Repatriasi

Tax amnesty merupakan kebijakan penghapusan pajak yang semestinya tertulis sebagai hutang. Karena berstatus mendapat ampunan, akhirnya ia juga tidak akan dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan. Ini dilakukan Dengan catatan mereka bersedia mengungkap harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.

Sementara repatriasi sendiri adalah kegiatan penarikan modal (harta) yang disimpan di kantor atau bank luar negeri atau cabang di luar negeri untuk ditarik kembali ke negara asal. Adapun negara yang telah menerapkan kebijakan repatriasi ini antara lain Israel, Malaysia, Rusia dan beberapa negara Eropa lainnya.

Baca Juga:  Resmikan IKA Unair Chapter Australia, Inilah Pesan Khofifah

Inilah yang membedakan mengapa kebijakan tax amnesty kerap diidentikkan sebagai kebijakan negara-negara gagal. Karena memang tak ada lagi jalan lain yang bisa ditempuh. Termasuk langkah berhutang juga sudah tak memungkinkan dilakukan.

Maka memberi pengampunan merupakan satu-satunya pilihan. Berat memang, namun itu harus dilakukan. Dengan memberikan ampunan pajak, diharapkan mereka (warga negara/sebuah perusahaan) bersedia melaporkan harta kekayaannya dan membayarkan pajaknya yang sekarang. Sedang kewajiban membayar pajak yang lalu-lalu tak masuk dalam hitungan, sebab sudah diampuni.

Jalan Terakhir

Dalam teori ekonomi, kebijakan tax amnesty merupakan satu-satunya jalan terakhir yang ditempuh suatu negara guna menyelamatkan pemerintahan. Tak berlebihan pada suatu kesempatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengatakan, jika saat ini hutang merupakan pilihan satu-satunya.

Guna membiayai kebutuhan operasional pemerintahan. Untuk itu, sebagai upaya meminimalisir kebiasaan menghutang, maka kebijakan tax amnesty diterapkan.

Tax amnesty memberi simbol bahwa ibarat perusahaan, negara ini sejatinya terus merugi dan mengalami defisit. Apa yang bisa diharapkan dari sebuah perusahaan yang terus defisit? Kecuali menunggu kehancuran.

Baca Juga:  PPWI Adakan Kunjungan Kehormatan ke Duta Besar Maroko

Parahnya, defesit ekonomi ini mengantarkan Indonesia menuju defisit masa depan. Banyak kebijakan yang dipaksakan. Seperti pembangunan insfrastruktur mega proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Jelas ini tak subtansial. Ironisnya, proyek yang didanai Cina ini memakai perusahaan BUMN sebagai jaminan.

Jika negara tak mampu mengembalikan hutang ke Cina sesuai kesepatan, maka pengelolaan BUMN ini secara otomatis diserahkan ke Cina. Persis seperti yang dialami Sri Lanka. Secara hukum, jelas Cina tak bersalah, karena itu sesuai kontrak perjanjian.

Pewarta/Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 26