Artikel

Tantangan Kebijakan Harga BBM di Tangan Dirut Baru Pertamina “Bermasalah”

pltu riau-1, suap pltu riau-1, nicke widyawati, dirut pertamina, pengaturan fee, tender bumn, eni saragih, johannes kotjo, proyek riau, proyek pltu riau-1, kpk, idrus marham, nusantaranews
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati. (Foto: dok. Pertamina/Twitter)

Oleh: Defiyan Cori (Ekonom Konstitusi)

Direktur Utama Pertamina definitif akhirnya ditetapkan oleh Presiden dan disahkan oleh RUPS pada tanggal 28 Agustus 2018 setalah genap 4 (empat) bulan lebih BUMN PT. (Persero) Pertamina dijabat oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama Nicke Widyawati. Kontroversi dan spekulasi seringkali beredar di publik selama proses penetapan Direktur Utama definitif yang akhirnya diamanahkan kepada Plt. Dirut Pertamina itu sendiri.

Sebagaimana informasi yang disampaikan oleh Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara kepada media massa pada akhir bulan Juli 2018, bahwa penetapan Direktur Utama Pertamina yang definitif tidak lebih dari 1×24 lagi, yang artinya pada tanggal 1 atau 2 Agustus sudah ada yang menjabat. Tapi, faktanya sudah lebih dari 18×24 jam penetapan Dirut Pertamina tidak pernah dilakukan. Padahal, Menteri BUMN menyatakan telah mengajukan 3 (tiga) nama kepada Presiden sebagai calon Direktur Utama Pertamina. Walaupun publik tidak mengetahui secara jelas dan pasti siapa nama calon dan rekam jejak (track record) calon Direktur Utama Pertamina, BUMN yang termasuk kategori A dan terbesar di Indonesia serta kebanggaan masyarakat Indonesia ini.

Baca Juga:

Cara pengajuan nama yang tidak transparan kepada publik ini akan membuka celah bagi terjadinya kembali pergantian Direksi yang tiba-tiba dan “permainan” atau transaksional tanpa alasan yang rasional serta mengabaikan alasan berdirinya BUMN bagi kepentingan orang banyak, serta bagi kemajuan ekonomi masa bangsa dan negara.

Tentu publik tak akan menerima, apalagi karyawan PT. Pertamina secara internal dalam organisasi perusahaan BUMN terbesar ini yang berdampak buruk pada kinerja Pertamina, jika menempatkan Dirut yang tak tepat dan politis di Tahun Politik

Depresiasi Rupiah

Posisi Direktur Utama Pertamina telah ditinggalkan oleh Elia Massa Manik pada tanggal 23 Juli 2018 dan kemudian sesuai keputusan RUPS pucuk pimpinan Pertamina dijabat oleh Pelaksana Tugas (Plt) Dirut yaitu Nicke Widyawati yang juga merangkap sebagai Direktur Sumber Daya Manusia (SDM) yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN Nomor SK-97/MBU/04/2018 tertanggal 20 April 2018, tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Anggota-anggota Direksi Perusahaan Perseroan PT. Pertamina. Sampai saat ini tak ada alasan yang jelas mengapa pencopotan Elia Massa Manik sebagai Direktur Utama terjadi begitu mendadak. Yang tampak agak jelas oleh publik tentang pemberhentian Elia Massa Manik dan ini merupakan alasan yang paling mungkin adalah “keluhannya” soal kerugian yang dialami oleh Pertamina apabila harga BBM tak disesuaikan sebagai akibat kenaikan harga keekonomian minyak mentah dunia dan adanya fluktuasi depresiasi Rupiah atas US dollar.

Perusahaan Pertamina bukanlah organisasi pelayanan publik secara total walaupun BUMN merupakan perintah konstitusi pasal 33 UUD 1945 yang mengelola cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. BUMN (sebagian) juga merupakan usaha yang berorientasi untuk mencari keuntungan (laba) agar mampu memberikan pemasukan (dividen) kepada negara dan pengembangan bagi korporasi. Kondisi dan permasalahan keuangan inilah yang mencuat ditengah naiknya harga keekonomian minyak mentah dunia yang tak disesuaikan dengan beban harga pokok produksi Pertamina dan margin harga jual ke konsumen. Dalam konteks Pertamina sebagai BUMN dan sebagai perusahaan korporasi yang mencari keuntungan tentu tidaklah mudah melakukan pengelolaan kebijakan keuangan di tengah fluktuasi nilai tukar Rupiah atas US dollar. Banyak kebijakan strategis yang harus diambil dan diputuskan untuk memampukan Pertamina bergerak cepat dalam peta persaingan bisnis atau usaha energi secara global yang tak mungkin dilakukan secara serampangan. Apalagi masalah yang saat ini dihadapi oleh Pertamina dengan adanya depresiasi Rupiah atas US dollar yang begitu cepat dalam 3 minggu terakhir dan kemampuan Dirut baru Pertamina menyelesaikan kompleksitas permasalahan kebijakan energi serta kondisi keuangan Pertamina dan persaingannya di tengah pasar dunia berhadapan dengan korporasi swasta.

Depresiasi Rupiah atas US dollar yang telah mencapai Rp 15.000 per US dollar jelas akan meningkatkan kebutuhan dollar bagi Pertamina dalam melakukan pembayaran impor BBM untuk mengatasi kekurangan konsumsi dalam negeri sebesar 800 ribu barrel perhari. Artinya Pertamina harus menyediakan tambahan Rupiah sebesar Rp 1.500 per US dollar (harga patokan dollar sebelum depresiasi Rp 13.500) untuk pembelian 800 ribu barrel tersebut yang notabene membutuhkan Rupiah lebih banyak dari sebelum depresiasi. Sementara itu, sesuai Perpres 191 Tahun 2014, Presiden telah berketetapan melalui kebijakannya untuk menerapkan BBM Satu Harga dan berharga murah (tidak menaikkan harga BBM), yang kemudian ditekankan melalui kebijakan berkeadilan melalui satu harga di seluruh Indonesia. Tantangan Nicke Widyawati sebagai Dirut baru Pertamina adalah tentu saja harus mematuhi kebijakan politik pemerintahan soal BBM Satu Harga yang kemudian telah diperluas cakupannya untuk BBM Harga Khusus ini (sebelumnya premium tidak berharga khusus di wilayah Jamali) pada Tahun 2017 dengan meliputi wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali) yang otomatis akan menambah biaya operasional Pertamina.

Tantangan Dirut baru Pertamina yang lain adalah masalah pengambilalihan pengelolaan Blok Rokan melalui proses pengajuan minat ke Kementerian ESDM dan telah berhasil menyisihkan proposal yang juga diajukan Chevron sebagai pemegang Kontrak Karya sampai Tahun 2021. Atas keberhasilan inipun Pertamina harus membayar pula Signature Bonus (SB) sebesar $US 784 juta atau kurang lebih Rp 11 Trilyun kepada Pemerintah selama 30 hari sejak disetujuinya pengelolaan Blok Rokan. Hal ini berarti, Pertamina harus menyediakan sebesar Rp 400 Miliar per hari untuk mengumpulkan dana membayar secara tunai SB tersebut. Dengan demikian, jumlah dana yang harus disediakan oleh Dirut Pertamina menjadi bertambah besar, selain membayar selisih kurs yang lebih besar atas depresiasi rupiah untuk memenuhi konsumsi BBM dalam negeri dari impor. Termasuk mengoptimalkan produksi kilang Blok Mahakam yang juga telah diberikan hak pengelolaannya kepada Pertamina dan kesemuanya membutuhkan dana investasi yang besar.

Dirut Pertamina yang baru harus mampu menjaga harga BBM yang berlaku saat ini supaya tak mempengaruhi janji politik Presiden soal BBM Satu Harga dan tidak menaikkan harga BBM walau kondisi moneter sedang tidak stabil. Melalui perhitungan yang matang semestinya Dirut baru Pertamina Nicke Widyawati akan mampu melakukannya walaupun sedang dihadapkan pada kasus korupsi atau suap PLTU Riau 1 yang menimpa jajaran PLN atas tersangka anggota DPR RI Eni Saragih dan mantan Mensos Idrus Marham yang sedang diselidiki oleh KPK. Dalam kasus ini, nama Sofyan Basir Dirut PLN (mantan atasan Nicke dulu) dan Nicke Widyawati telah ditetapkan dalam proses penyelidikan KPK ini sebagai saksinya.

Kontaminasi RUPS

Indikasi akan ditetapkannya Nicke Widyawati menjadi Dirut Pertamina definitif telah tampak saat beredarnya konfirmasi soal kondisi keuangan Pertamina dari Plt. Dirut Pertamina pada bulan Juli 2018 yang lalu melalui media massa. Total dana Pertamina yang tersedia saat itu berdasarkan perhitungan yang disampaikan oleh Nicke Widyawati adalah sebesar Rp 216 Trilyun, yang artinya Pertamina punya kemampuan keuangan untuk mandiri dalam mengelola blok-blok migas (Blok Mahakam dan Blok Rokan) yang habis masa Kontak Karyanya dan diserahkan ke Pertamina. Indikasi lain bahwa Plt. Dirut ini akan ditetapkan sebagai Dirut definitif Pertamina adalah saat Menteri BUMN Rini Soemarno dan Deputy Bidang Pertambangan, Industri Strategis dan Media Fajar Harry Sampurno mengajak Plt. Dirut Pertamina beserta beberapa tokoh ke Washington DC tanpa membawa serta 2 (dua) calon Dirut lainnya yang diajukan ke Presiden. Tentu saja pembicaraan detail apa yang dibahas di USA tidak diketahui pasti oleh publik, tapi dugaan kuat adalah untuk mengenalkan Dirut baru Pertamina tersebut serta “melaporkan” program-program yang akan dilakukannya kelak.di Pertamina. Jika hal ini yang terjadi, maka independensi RUPS dalam pengambilan keputusan tertinggi di BUMN sudah terkontaminasi oleh kepentingan asing. Apalagi setelah kembali dari Washington DC Nicke Widyawati langsung dipanggil ke istana oleh Presiden.

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) di BUMN sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan jika mengacu pada dugaan diatas tentu saja sudah terkontaminasi dan tidak clear and clean dari kepentingan pihak tertentu serta sangat politis. Oleh karena itu, fungsi RUPS harus dikembalikan pada perumusan kebijakan strategis korporasi dan pemilihan seorang Dirut yang definitif secara benar dan berdaulat. Maka dari itu, Presiden sangat diharapkan publik agar memberikan perhatian serius atas tidak transparannya pemilihannya seorang Dirut tanpa rekam jejak dan kompetensi di bidang minyak dan gas bumi dan adanya pengaruh kepentingan asing dalam mengelola migas di tanah air. Tanpa memperhatikan otonomi negara dalam mengambil keputusan strategis dan penetapan Dirut BUMN cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka Presiden dapat disinyalir sebagai subordinasi dari kepentingan negara lain, dalam hal ini USA yang juga mempunyai perusahaan minyak dan gas bumi sedang beroperasi di Indonesia yaitu Chevron serta akan berakhir masa KK nya Tahun 2021. Lebih dari itu, ternyata Dirut baru Pertamina ini tersangkut juga dalam kasus korupsi PLTU Riau 1 walaupun sebagai saksi bersama dengan Dirut PLN yang merupakan mantan atasannya.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terutama Komisi VI juga diharapkan fokus dan mempercepat proses penyelesaian revisi UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang masih banyak terdapat pasal-pasal yang menimbulkan adanya ruang atau celah munculnya kepentingan tertentu dan juga terdapat konflik atas konstitusi pasal 33 UUD 1945. Terutama pada Pasal 14 dalam UU BUMN yang mengatur soal Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) ini selain sangat otoriter di tangan Menteri BUMN, maka aspirasi karyawan BUMN juga belum terwakili.

Selain itu ada juga sebutan Kuasa Subtitusi yang alasan eksistensinya tak berdasar serta tugas pokok dan fungsinya tak dijelaskan. Yang paling rasional dan konstitusional adalah ruang RUPS harus lebih diperluas dengan memasukkan unsur-unsur pemangku kepentingan (stakeholders) lain di dalam materi revisi UU BUMN tersebut sehingga Presiden juga aman secara optimal dari ketidaktransparan dalam memilih dan menunjuk Direksi BUMN strategis, khususnya Pertamina. Lebih logis dan konstitusional lagi dalam perspektif Usaha Bersama yang dinyatakan ayat 1 pasal 33 UUD 1945 dalam konteks BUMN, maka RUPS diganti istilahnya menjadi Rapat Umum Pemangku Kepentingan (RUPK) karena dana BUMN bukan dari saham orang per orang atau badan usaha tertentu sebagaimana korporasi swasta.

Kita mengharapkan sekali supaya Presiden yang telah salah pilih dalam konteks bebas terkait kasus korupsi sebagai standar moral dalam menetapkan para Direksi BUMN, khususnya Dirut Pertamina Nicke Widyawati yang faktanya saat ini berurusan dengan KPK segera bertindak. Atas kasus suap PLTU Riau 1 yang melibatkan petinggi dan mantan Direktur ini, maka kecil kemungkinannya Dirut baru Pertamina ini tidak terlibat di dalamnya, sebab posisinya yang sangat strategis sebagai Direktur Pengadaan Strategis 1 di PLN dulu. Menempatkan orang yang bermasalah dengan proses hukum di KPK, bukan saja akan memperburuk kesolidan organisasi perusahaan Pertamina, tapi munculnya resistensi dari dalam Pertamina yang akan mempengaruhi kinerja perusahaan dalam menghadapi tekanan depresiasi Rupiah untuk menahan laju kenaikan harga BBM di satu sisi dan kebutuhan pendanaan yang besar bagi pembangunan sektor hulu (kilang minyak dan lain-lainnya) Pertamina untuk memenuhi kekurangan produksi migas dalam negeri atas selisih konsumsi BBM yang selama ini bersumber dari impor supaya ketergantungannya dapat dikurangi atau dihentikan, disisi lainnya.

Penguatan kelembagaan BUMN (termasuk Koperasi) sebagai sokoguru perekonomian nasional yang sesuai dan mengakomodasi ayat-ayat substantif dari konstitusi pasal 33 harus menjadi materi penting dan perhatian serius publik dalam proses revisi UU BUMN yang sedang berjalan di parlemen, termasuk juga soal bebasnya Direksi BUMN dari masalah yang menyangkut kasus korupsi. Pasal-pasal kunci dan krusial lainnya yang harus direvisi, yaitu menyangkut soal Rapat Umum Pemegang Saham harus diperkuat menjadi Rapat Umum Pemangku Kepentingan (RUPK) yang lebih relevan, penghapusan posisi kuasa subtitusi yang dapat mendelegitimasi RUPK, persetujuan penjualan asset (harta) BUMN, Kinerja Manajemen (Direksi dan Komisaris), Periodeisasi atau Masa Jabatan Direksi dan Komisaris (proses dan mekanisme pengusulan, pemilihan, penetapan dan pemberhentian Direksi dan Komisaris), Penggabungan, Akuisi dan Pembubaran BUMN yang harus melalui mekanisme konstitusional serta pelibatan DPR. Mudah-mudahan penetapan Dirut baru Pertamina tak terjadi karena adanya pengaruh kuasa substitusi dalam RUPS selama ini serta bukan pula orang asing atau orang yang mewakili kepentingan asing tersebut. []

Related Posts

1 of 3,150