Kolom

Tanggapan Atas Tulisan Didik J. Rachbini Soal Tim 7 dan Amandemen Konstitusi

Tanggapan Atas Tulisan Didik J Rachbini Soal Tim 7 dan Amandemen Konstitusi. (ILUSTRASI/NUSANTARANEWS.CO)
Tanggapan Atas Tulisan Didik J Rachbini Soal Tim 7 dan Amandemen Konstitusi. (ILUSTRASI/NUSANTARANEWS.CO)

Oleh: Defiyan Cori (Ekonom Konstitusi)

NUSANTARANEWS.CO – Tulisan mengenai proses yang terjadi atas Amandemen UUD 1945 pada Tahun 2002, terutama terkait pasal 33 UUD 1945 yang dilakukan oleh Tim Ahli Adhoc yang beranggotakan 7 (tujuh) orang Ekonom dalam Badan Pekerja MPR telah beredar dan disampaikan kepada publik oleh Profesor Didik J. Rachbini. Dari uraian sejarah kronologis amandemen itu, maka kita patut bersyukur masih memiliki Ekonom yang akademisi seperti almarhum Prof. Mubyarto dan almarhum Prof. Dawam Rahardjo yang mundur dari rapat tim adhoc atau tim 7 MPR dalam pembahasan pasal 33 UUD 1945 yang prinsip itu.

Konsistensi beliau berdua patut dikagumi sebagai Ekonom yang menjaga dan merawat betul warisan para pendiri bangsa (founding fathers). Ada paling tidak 3 kata kunci dalam pasal 33 ayat 1 dan 2 yang perlu diklarifikasi supaya tidak keluar dari konteks Sistem Ekonomi Konstitusi kita, yaitu soal usaha bersama dan azas kekeluargaan, azas manfaat dan efisiensi serta penguasaan negara atas sumberdaya alam.

Baca:

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Azas Kekeluargaan

Yang dimaksud dengan asas kekeluargaan itu tentu saja sudah inheren di dalamnya adalah kemanusiaan, tanggungjawab sosial dan lain-lain. Didik J. Rachbini dan anggota tim lainnya yang masih bertahan dalam Tim Adhoc itulah kemudian cuma mengganti istilah saja, sedang substansinya sama. Tentu saja tak ada makna kekeluargaan yang tak mempunyai rasa kemanusiaan, tanggungawab sosial yang berkaitan dengan sebuah entitas. Berkeluarga saja sebagai entitas terkecil kita punya norma-norma yang mengaturnya.

Di lain pihak, Ekonom almarhum Sjahrir justru tak bisa membedakan mana yang disebut dengan keluarga dan apa itu azas kekeluargaan. Alih-alih justru praktek KKN yg dituduhkan kepada Orde Baru saat ini menjadi penyakit pada orang-orang yang dulu ikut kampanye anti Korupsi,Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dan kasus ini bisa kita saksikan di dalam partai politik yang sebagian juga ditempati oleh sanak keluarga keturunan para elite. Supaya semua pihak jangan sampai melupakan, bahwa anti KKN yang dahulu diperjuangkan tak dilakukan sendiri dalam praktek berbangsa dan bernegara.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Azas Manfaat dan Efisiensi

Terkait soal efisiensi dan efektifitas serta keberlanjutan yang disampaikan oleh beberapa anggota tim 7 yang kemudian berjumlah 5 (lima) orang itu adalah soal manajemen dalam melakukan pendayagunaan sumberdaya. Hal ini tentu adalah sesuatu yang sangat teknis operasional sekali, sebab setiap sektor punya karakter masing-masing dan perlu pendekatan tersendiri dalam mengoptimalkan tujuan dan manfaatnya.

Tapi, substansi asas kekeluargaan dalam konteks ayat 1 pasal 33, UUD 1945 ini adalah bahwa rumusan penyusunan sistem perekonomian Indonesia adalah sebagai Usaha Bersama, usaha bersama tentu bukan usaha orang per-orang tapi dirumuskan secara kekeluargaan, apakah itu prinsip kekeluargaan, yaitu dimusyawarahkan seluruh komponen bangsa bukan atas dasar jumlah kapital yang saat ini mendominasi jalannya perekonomian bangsa dan dunia.

Prinsip Penguasaan Negara

Sementara itu tafsir ayat 2, pasal 33 UUD 1945 yang disampaikan oleh Didik J. Rachbini merupakan kesesatan berpikir atau out of constitutional logical frame work, yaitu menyatakan bahwa ayat itu akan mengarah kepada sifat etatisme dan mencoba mendikotomikan hak ulayat dan adat dalam perspektif kepemilikan. Didik J. Rachbini lupa, bahwa ayat 2 tak menyampaikan secara redaksional untuk hak ulayat dan adat akan dipinggirkan. Namun demikian, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai cabang produksi yang penting harus dikuasai oleh negara. Penguasaan negara dalam hal ini adalah ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, jadi ini alasan kenapa harus negara (BUMN) yang menguasai, sebab jika dikuasai oleh kelompok masyarakat maka hanya kemakmuran orang per orang atau sebagian orang saja yang dipenuhi.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Tentu saja penguasaan negara yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tetap merujuk ke ayat 1 pasal 33 UUD 1945, yaitu yang mengatur pengelolaannya secara usaha bersama berdasar azas kekeluargaan. Jadi, sebenarnya tak ada ruang dan peluang bagi terjadinya etatisme seperti yang dikhawatirkan oleh tim 5 (lima) Ad Hoc MPR tersebut. []

Related Posts

1 of 3,145