Puisi

Takkan Kembali, Menunggu dan Puisi-puisi Adi Ananta

takkan kembal, puisi, adi ananta, menunggu, puisi menunggu, puisi-puisi, puisi adi ananta, kumpulan puisi, nusantaranews
Membaca Puisi. (Foto: Ilustrasi/apahayo.com)

Takkan Kembali

Perahuku engggan berlabuh
Meski di depan bencana hendak dilabuh
Ia tetap berjalan bersama riak ombak
Menjauh
Tak bertuju antah kehulu

Biar kau merayu tenang kehidupan daratan
Dengan senyum seindah pantai
Aku nahkoda sejati
Bukan pecundang

Luas padang samudera akan kususuri
Walau jaminan adalah hidup dan mati
Sebab jangkar yang mengakar cinta
Lanjur kucabut dari pedalaman hati

Meski bibir rekahmu kusadari menarik hati
Jikalau asin tubuhmu bukan pesisir lagi
Bagiku pantang kembali
Itu sudah bukan urusan hati
Namun atas nama kasta dan harga diri

Lubsel, 2019.

 

Dengan Budi
Kepada Buday AD

Aku telah kehilangan banyak sekali
Diksi-diksi untuk kucipta puisi
Padahal sebentar lagi
Akan kukirim pada redaksi.

Ini ulahnya, patah hati.
Aku menjelma sepi
Hidup seburam mimpi
Dan hampir mati.

Untung saja ada Budi
Yang kerap kali mengajakku
Mencari kembali refensi
Atau hanya menyeduh kopi
Sambil berbagi cerita tentang dia, calon istri.

Meski membuat geli berkali-kali
Kusadari dari wajahnya mengalir kata-kata
Hidupnya kucatat sabda
Teruslah bersama dalam ada
Dan setia dalam beda.

Lubsel, 2019.

 

Sesepi Hati

Di sudut kamar
Kupeluk erat matahari
Selagi mimpi masih merajai
Kuhaturkan selamat pagi
Di antara tumpukan baju kotor
Yang tak dicuci berhati-hari.

Barangkali,
Hanya ucapan menyambut pagi
Dan terjadi
Selepas itu
Sepi merajah kembali.

Lubsel, 2019.

 

Gang Perawan

Memasuki gang
Berpasang-pasang mata
Awas membunti langkah kaki
Menatap tajam
Menembus hati

Disepanjang gang
Harum parfum beraroma tegang
Hinggap terhirup hidung
Menjalar, menyesaki kepala
Menghantam raga
Menanggal mental
Mengelupas nafas
Melambung jiwa.
Dirinya!
Bertanya:
Ada apakah gerangan kemari?

Lubsel, 2019.

 

Panggilan Pulau Sebrang

Dari pulau sebrang kau memanggil
Dengan suara getir
Segetir pikir
Memikir takdir.

Dari pulau sebrang kau memanggil,
Membeku waktu sementara itu
Melihatmu menunjukkan berbagai rupa
Kadang marah lalu tertawa
Kadang menangis lalu sinis
Kadang cemberut lalu kecut
Padaku.

Disini aku tersenyum
Dengan dekapan mawar sekuntum
Tenanglah sayang,
Jangan risau pada halau
Engkau tidak akan kutinggal !.

Lubsel, 2019.

…….

Aku terasing dari bising
Aku kalut hidup semrawut
Aku rindu tenang sebiru laut.

Risih kian menindih
Obrolan tetangga terdengar perih
Tak tertahan membidik iri
Entah seberapa tak pantas ini diri.

Namun hanya padamu aku berharap
Dari kabar yang terus berucap
Jangan sekali-kali kau melebur
Dari subur mulut pinutur
Sebab dari tutur ke tutur
Kemurnian telah luntur.

Lubsel, 2019.

 

Candu

Tutur indah kalam-kalam yang dilantunkan
Membuat gigil tatap mata di musim kemarau
Jadi lidah kelu, jadi mulut bisu, jadi raga kaku
Dan kata-kata adalah batu
Kurasa nyata begitu.

Maka izinkanlah
Aku menjadi pecandu
Sebab memandangmu bagiku syahdu .

Lubsel, 2019.

 

Abjad Sulung
Kepada Guru Alif

Huruf tegak serupa pohon pinang
Menghalau pandang pada indah angan petang
Huruf lengkung serupa sampan
Menarik ingatan pada debur riak gelombang
Semua buram tak terbayang.

Tanpa sadar semakin dalam
Bara temaram menyala benderang
Membuang gelap pengetahuan buritan.

Wahai diri.
Kini aku tahu
Itu adalah sulung abjad wahyu
Dari dawuh telunjuk asahmu
Yang sabar memupuk qalbu.

Wahai guru.
Aku timbal jasa
Dengan emas paling jiwa
Dan mutiara sekilau mata bidadari surga
Kukira sia-sia belaka
Sebab risalah agungmu terlalu berharga.

Lubsel, 2019.

 

Menunggu I

Sepeninggal kepergianmu kala itu
Aku menjelma kalam Tuhan
Yang dirapal anak-anak surau
Dengan gigil menusuk jantung
Bebintang parau.

Begitu sangat mengenaskan
Seonggok jiwa yang tertinggal di halaman
Dengan segendong cemas
Dan serpihan harapan
Entah sampai kapan
Ia harus bertahan
Menunggu!
Yang tak jelas
Pasti atau mengecewakan.

Lubsel, 2019.

 

Menunggu II

Ranggaslah bibit diksi
Suburlah rahim puisi
Genap bernarasi.

Menarilah pena kreasi
Di puncak menara imajinasi
Selamilah dasar laut irama bunyi
Lalu apung dari balik tembok tipograpi
Hingga kau tahu
Betapa padat kata-kata sepi
Pada syair penyair sunyi
Yang menunggu memadu kasih
Menyendiri dalam bilik jeruji suci
Menganyam cinta
Menyulam rindu
Pada hati
Jadi puisi.

Lubsel, 2019.

 

 

 

 

 

Penulis: Adi Ananta Santri PP. Annuqayah Lubangsa Selatan, Lahir di desa Dungkek Sumenep. Aktif di Sanggar Basmalah, Komunitas Desas Desus, IKSANDALIKA. Dan Puisinya tersiar di Malang Post, Suara Merdeka, Dll.

Related Posts

1 of 3,053