Puisi

Suluk Tamansari dan Sejarah Rindu

Puisi HM. Nasruddin Anshoriy Ch

SEJARAH RINDU

Hari ini kubaca sejarah rindu pada debur jantungku. Seluruh kata menjelma mantra, semua janji menjadi puisi.

Membaca sejarah tak cukup hanya dari buku dan masa lalu, sebab setajam-tajam lidah atau sembilu masih tajam pena dan runcing kalbu.

Pada partitur rindu kutemukan beribu jilid buku, jejak para peziarah dalam berjuta peristiwa, juga kafilah cinta yang menyeret gerobak sejarah menuju senja.

Hari ini kutulis sejarah rindu, kucatat kala senja pada kelopak bunga kamboja.

Tapi rindu tetaplah rindu, dan sejarah lahirnya selalu palsu, tak ada yang tahu, walau ribuan kalender telah diserpih dengan tajam sembilu.

Dan sejarah seringkali bicara gagah pada butir-butir pasir sepanjang pantai, padahal ombak belum sempat menyapa menunggu saatnya tiba.

Dalam sejarah rindu, aku hanyalah sebutir debu.

Mencatat asal-muasal rindu, semua berkiblat di bening kalbu.

Untuk apa buku-buku dibaca jika rindu tak juga menggelora? Kepada siapa semua ilmu dipelajari jika puisi tak sampai ke hati?

SULUK TAMANSARI

Mengeja zamrud pada suluk sunyiku, ada Tamansari membentang di lubuk kalbu.

Sebutir tasbih jatuh, menghunjam bumi, menumbuhkan saripati kemesraan, pohon-pohon keabadian yang akarnya cahaya, daun-daun rimbun mengikrarkan syahadat, dan buahnya adalah anggur yang memabukkan semesta.

Di Tamansari, kumandikan jiwa nestapaku, kusucikan sukma gemalauku, kukafani ribuan nyeri di ulu hati dan sehidup-semati akan kutempuh ziarah cinta bersamamu, sebab jutaan jelaga dari badai duka-lara ini hanya akan sirna seusai adzan subuh tiba.

Di Tamansari kuikrarkan suluk kesetiaan ini, sebab mencari dan merindu pada Hakikat Sejati tak cukup hanya dengan sekali mati, tapi harus berkali-kali mati dan selalu hidup kembali.

*HM. Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dll. Baca : Biogragi Singkat.

Related Posts

1 of 125