Mancanegara

Sudan Terancam Menjadi Negara Gagal

Sudan Terancam Menjadi Negara Gagal
Sudan Terancam Menjadi Negara Gagal/Foto AP

NUSANTARANEWS.CO – Sudan berada di ambang bencana. Harapan untuk terjadinya transisi mulus ke pemerintahan sipil terancam setelah terjadi aksi penembakan oleh aparat keamanan yang menewaskan lebih dari 100 pengunjuk rasa di Khartoum. Saling kepercayaan antara sipil-militer pun pecah akibat kepentingan ekternal.

Pada bulan April, setelah berbulan-bulan demonstrasi menentang Presiden Omar al-Bashir, pihak militer akhirnya memaksa Bashir untuk mundur. Dewan Militer Transisi (TMC) kemudian mengambil alih kekuasaan di bawah pimpinan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan.

Namun aksi unjuk rasa terus berlanjut, sekarang tuntutan beralih untuk segera menjalankan transisi ke pemerintahan sipil. Hal ini telah mendorong terjadinya negosiasi TMC dengan perwakilan Asosiasi Profesional Sudan, yang menggerakkan aksi protes.

Namun negosiasi-negosiasi yang awalnya menjanjikan, kemudian berubah setelah Burhan kembali dari kunjungannya ke Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA)– negara-negara yang merupakan pendukung utama Presiden Bashir.

Arab Saudi dan UEA rupanya memiliki tujuan lain, kedua negara tersebut tampaknya ingin mencegah munculnya preseden demokratis di wilayah itu. Kedua negara Arab itu ingin mempertahankan “status quo” mereka atas Sudan terutama bagi akses ke lahan pertanian yang subur dan pengerahan milisi bersenjata untuk perang di Yaman, serta mendapat pijakan geopolitik strategis di Tanduk Afrika.

Baca Juga:  Pengerahan Sistem Pertahanan THAAD di Israel Picu Eskalasi di Kawasan Regional

Taktik mereka bukanlah hal baru: pada 2013, mereka mendukung tindakan kekerasan berdarah terhadap para demonstran pro-demokrasi di Kairo oleh Jenderal Abdel Fattah el-Sisi yang melakukan kudeta militer terhadap Presiden Mohamed Morsi yang terpilih secara demokratis.

Seperti halnya tindakan kekerasan di Kairo dan perang di Yaman, Arab Saudi dan UEA tampaknya hanya mengejar strategi jangka pendek yang tidak matang, bahkan picik di Sudan. TMC dan Burhan memang dapat terus memastikan pasukan Sudan terus mengalir ke medan Perang Yaman. Tetapi pembantaian oleh aparat keamanan di Khartoum, dan peristiwa kejahatan perang di Darfur – tetap menjadi preseden buruk bagi rakyat Sudan dan dunia internasional untuk menerima TMC.

Tuntutan-tuntutan itu sebagian bersifat ekonomi. Mengingat Sudan Selatan – yang menjadi wilayah cadangan 75% minyak Sudan – telah memisahkan diri menjadi negara merdeka pada 2011, mengakibatkan pemerintah Sudan mengalami kesulitan keuangan dalam lima tahun terakhir ini. Hilangnya dukungan negara Teluk pada 2018 telah memicu devaluasi mata uang yang menyebabkan inflasi hingga 70%.

Baca Juga:  President Macron to Moroccan Parliament: His Majesty the King Embodies 'Continuity of One of World's Oldest Dynasties, One of Facets of Modernity'

Namun keluhan para pengunjuk rasa juga bersifat politis. Sebagian besar rakyat mendambakan demokrasi dan supremasi hukum. Mereka telah bosan menyaksikan pemerintahan yang bersifat diskriminasi, korup dan telah menjarah kekayaan negara bersama kroni-kroninya.

Serangan aparat keamanan semakin memperburuk pertikaian tersebut. Pengunjuk rasa menolak tawaran TMC untuk membuka kembali perundingan. Para pengunjuk rasa mulai menyerukan pembangkangan sipil sampai TMC jatuh atau mengalihkan kepada pemerintahan sipil.

Melihat fenomena mutakhir ini, tampaknya sulit untuk melihat terjadinya perubahan di Sudan yang kian rapuh untuk menjadi negara yang demokratis. Apalagi dengan keterlibatan uang dalam jumlah besar yang terus mengalir masuk ke kantong para Jenderal untuk biaya Perang di Yaman dari Saudi dan Emirat. (Banyu)

Related Posts

1 of 3,054