Khazanah

Sudahkah Kita Mempersembahkan ‘Ismail-Ismail’ Kita?

NUSANTARANEWS.CO – Sepemahaman penulis, Idul Qurban bukan perayaan dimana orang dengan segudang hartanya dapat dengan mudah berbelanja hewan untuk dipotong dan dibagi-sebarkan. Sehingga ‘rasa berat untuk melepaskan’ yang menjadi pilar terselenggaranya proses pengorbanan menghilang dari peredaran kesadaran para ‘aabid (penyembah).

Kedalaman rasa beratnya kalau diilustrasikan persis sebagaimana kondisi psikis Nabi Ibrahim AS (dalam kapasitasnya sebagai orang tua) saat harus merelakan anak tercintanya, Ismail AS. Tentu saja, konteksnya di sini adalah verifikasi ubudiyah.

Sejauh mana penyerahan diri seorang hamba pada Tuhannya bisa bertahan hingga ke titik paling tidak diinginkan. Kita tahu betul bahwa Ismail AS merupakan anak yang paling ditunggu kelahirannya oleh Ibrahim AS. Dan di usia 86 tahunlah penantiannya baru berakhir.

Penyembelihan hewan atas dorongan riya’ (unjuk diri), hasud (tidak mau kalah lawan bisnis) atau bahkan karena alasan positif seperti bersedekah dan simpatik dengan kaum papa semuanya dikecualikan dalam proses verifikasi ketaatan sebagaimana termaksud.

Bukan pengorbanan jika tidak ada rasa ‘rugi’ dan ‘berat hati’. Konon, jauh sebelum tragedi Ismail AS, nabi Ibrahim sudah terbiasa berkurban hewan dengan jumlah yang teramat banyak. Hingga ratusan unta dan kambing.

Tapi, rupanya Allah menaikkan status ‘kesulitan’ sifat persembahan yang harus dipenuhi Nabi Ibrahim. Dari berkurban harta ke berkurban Ismail AS, darah dagingnya sendiri. Meski akhirnya Allah segera mengganti peran Ismail AS dengan hewan lain dari surga.

Hal yang perlu dikonteksualisasikan saat ini adalah sifat kesulitan itu tadi. Juga keikhlasan dan ketaatan tiada batas pada yang empunya segala ciptaan. Sifat kesulitan itu selalu hadir di setiap zaman pada diri umat, yang biasanya dipengaruhi oleh kuatnya ketamakan. Sehingga memutus relasi hamba-tuan.

Yang dimiliki dan yang Maha Memiliki. ‘Ismail’ masa Ibrahim AS kini wujudnya bisa bermacam-macam. Ia adalah sesuatu yang kita sayangi, kita butuhkan, dan segala benda adiktif semacam gadenganet. Yang kesemuanya memiliki karakteristik yang sama: berpotensi mempengaruhi kualitas jalinan hamba-tuan di keseharian.

Penulis: Uu-Akhyarudin
Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 5