EkonomiOpini

Study NSEAS: Kegagalan Jokowi Tangani BBM dan Insiden Sejam Kenaikan Harga Premium

Atri BBM di SPBU. (FOTO: Istimewa)
Atri BBM di SPBU. (FOTO: Istimewa)

Oleh: Muchtar Effendi Harahap*

NUSANTARANEWS.CO – 4 tahun Joko Widodo berkuasa sebagai Presiden di Indonesia (2018) masalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) muncul kembali. Padahal Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya menyatakan pagu subsidi energi dalam RAPBN 2018, yaitu sebesar Rp103,4 triliun, diproyeksikan oleh pemerintah tanpa adanya penyesuaian harga bahan bakar minyak, tarif listrik maupun elpiji. Maknanya, takkan ada kenaikan harga BBM bersubsidi utk tahun 2018 ini.

Pada siang hari 10 Oktober 2018 PT Pertamina telah menaikkan harga BBM Pertamax, PertamaxTurbo, Pertamax Dex, dan biosolar yang bukan kewajiban publik dan Non PSO (Public Service Obligation). Kemudian sore hari sama Rezim Jokowi melalui Menteri ESDM mengumumkan kenaikan harga bensin Premium,namun satu jam kemudian Rezim membatalkan kenaikan harga bensin Premium itu. Terjadi pencabutan kebijakan publik hanya berselang satu jam.

Baca juga:

Dilaporkan CNNIndonesia.com, 10 Oktober 2018, Adiatma Sardjito, VP Corporate Communication Pertamina mengaku, Pertamina tak tahu menahu rencana kenaikan harga Premium. Bahkan, menyebut tak siap dan butuh waktu persiapan dan sedang bahas dengan pemegang saham.

Hal ini menandakan tidak ada sinergitas sesama lembaga negara utk mengambil kebijakan publik. Kemudian, Jokowi menyatakan, segera gelar rapat kordinasi membahas tentang kebutuhan kenaikan harga minyak Primium ini paca pembatalan 10 Oktober 2018. Namun, Menko Prekonomian Darwin Nasution belum memastikan kapan waktunya (Baca: Harian Terbit, 12 Oktober 2018).

Beragam pengamat politik ekonomi, politisi dan akademisi menangapi masalah kenaikan sejam harga minyak bensin Premium ini. Beberapa menyatakan:

  1. Rezim Jokowi plin plan dan tidak ada koordinasi mengambil keputusan publik.
  2. Rezim Jokowi lebih melihat masalah perolehan suara pilih Pilpres 2019.
  3. Jokowi membatalkan kebijakan kenaikan harga Primium melalui Menteri ESDM karena Jokowi takut elektabilitasnya anjlok.
  4. Kegamangan Rezim Jokowi dalam menaikkan harga Premium bisa dibilang berlebihan. Pasalnya, konsumsi Premium sendiri terus menerus turun dalam beberapa tahun terakhir.
  5. Kenaikan harga minyak Primium akan memunculkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja Jokowi di bidang ekonomi.
  6. PT Pertamina pihak paling dirugikan dengan batalnya kenaikan harga bahan bakar jenis Premium. Selama ini, keuangan Pertamina terbebani BBM subsidi.

Salah satu urusan pemerintahan harus diselenggarakan oleh Presiden RI Jokowi yakni bidang ” enerji dan sumber daya mineral (SDM)”, termasuk Bahan Bakar Minyak (BBM).

Kondisi kinerja Jokowi khusus di bidang BBM ini sesungguhnya masih menghadapi kegagalan dan masalah kenaikan harga BBM terutama minyak bensin premium yg masih disubsidi. Jokowi masih belum memenuhi janji kampanye Pilpres 2014 . Juga Jokowi belum berhasil mencapai target dlm perencanaan pembangunan terkait BBM.

Baca Juga:  Drone AS Tidak Berguna di Ukraina

Sejumlah standar kriteria bisa diajukan untuk menilai kondisi kinerja Jokowi di bidang BBM. Pertama, Jokowi berjanji secara lisan dlm kampanye Pilpres 2014, tidak akan menghapus subsidi BBM. “Keinginan utk subsidi BBM saya kira tidak ada masalah. Subsidi bagi rakyat kecil adalah sebuah keharusan, ” ujar Jokowi. Faktanya, baru beberapa bulan jadi Presiden, Jokowi langsung mengurangi subsidi BBM.

Saat Jokowi baru menjabat pada 2014, anggaran subsidi BBM mencapai Rp 46,79 triliun. Pada 2015, anggaran subsidi berkurang menjadi Rp 14,90 triliun. Pada 2016, anggaran tersebut kembali berkurang ke Rp 14,06 triliun. Pd 2017 subsidi kembali berkurang menjadi Rp 7,15 triliun. Untuk 2018 Rezim Jokowi menaikkan subsidi BBM jenis solar dari Rp 500 menjadi Rp 2.000 per liter.

Bahkan, Jokowi acapkali melakukan kebijakan naik turun harga minyak bensin premium yang harus disubsidi. Pada Oktober 2014 harga minyak bensin primum Rp. 6.500; Nov. 2014 naik menjadi Rp.8.500; 1 Januari 2015 turun menjadi Rp. 7.600 ( Non Bali Madura) dan Rp.6.930 (Bali-Madura); 2 Maret 2015 turun menjadi Rp. 6.800; 28 Maret 2015 naik lagi menjadi Rp.7.300; 5 Januari 2016 turun menjadi Rp.7.050 (Jawa Madura Bali); Rp.6.950 (Non Jawa Madura Bali); 1 April 2016 turun lagi menjadi Rp. 6.550 (Jawa Madura Bali) dan Rp. 6,460 (Non Jawa Madura Bali); 10 Oktober 2018 sesuai arahan Jokowi rencana ke harga premium di Jawa Madura Bali naik lagi menjadi Rp.7.000 dan di luar Jawa Madura Bali menjadi Rp.6.900. Diputuskan jam 18.00 (10 Oktober ini) harga minyak primium naik. Tetapi, satu jam setelah keputusan kenaikan harga itu Rezim Jokowi buat lagi keputusan melalui Menteri ESDM yang sama untuk membatalkan keputusan kenaikan harga itu. Harga minyak primium tidak jadi naik.

Riwayat naik turun harga bensin primium di atas, menunjukkan ada kecenderungan Rezim Jokowi bermaksud menaikkan harga minyak primium. Setiap perubahan harga baik naik maupun turun selama era Jokowi ini, tetap masih di atas kondisi awal harga Oktober 2014.

Kedua, Jokowi berjanji, akan mengalihkan penggunaan BBM ke Gas dlm waktu 3 tahun. Janji ini tidak direalisasikan, alias inkar janji. Sudah 4 tahun Jokowi jadi Presiden RI, belum juga terbukti adanya pengalihan penggunaan BBM ke Gas. Tidak ada perubahan berarti terjadi selama Jokowi jadi Presiden. Seperti kebiasaan Jokowi selaku Presiden, ia menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 tahun 2015 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Bahan Bakar Gas (BBG) untuk Transportasi Jalan. Regulasi ini untuk mempercepat program konversi BBM ke Gas. Faktanya regulasi ini tidak berpengaruh terhadap realisasi program.

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

Program pemerintah konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG) sudah diluncurkan Rezim Jokowi hingga saat ini realisasinya masih jalan di tempat. Menteri ESDM Ignatius Jonan mengakui, selama ini pemerintah kesulitan dalam menyediakan infrastruktur, terutama lahan untuk lokasi SPBG. Kalau ada SPBG sudah dibangun pun, persoalannya terjadi pada pasokan gas terkendala karena tidak adanya jalur distribusi pipa gas. Menurut Jonan, kondisi ini mencerminkan program konversi BBM ke gas tidak dirancang dengan matang sehingga realisasinya tidak berjalan maksimal. Kegiatan kampanye konversi BBM ke BBG juga dinilai setengah hati karena konversi hanya menyasar kendaraan transportasi publik seperti angkutan umum, bajaj, dan Transjakarta. Padahal konversi seharusnya juga dilakukan untuk kendaraan pribadi. “Sekarang jumlah bajaj itu enggak sampai 10 ribu, bus Transjakarta paling 3.000 sampai 4.000, ini terlalu kecil. Padahal ini dianggap sukses kalau private user itu pakai BBG,” katanya.

Jonan mengaku berkomitmen akan merealisasikan konversi BBM ke gas di seluruh Indonesia dalam dua tahun ke depan. Dia juga akan mengimbau seluruh produsen otomotif untuk memproduksi kendaraan yang menggunakan bahan bakar gas (KumparanNEWS, 20 Maret 2017).

Pertanyaan: apakah pd 2018 komitmen itu terealisasi? Tidak juga!

Ketiga, di dalam dokumen NAWACITA Jokowi secara tertulis berjanji, akan mewujudkan kedaulatan enerji melalui kebijakan pengurangan impor enerji minyak dengan meningkatkan eksplorasi dan eksploitasi Minyak di dlm dan luar negeri. Kenyataannya, impor minyak tidak berkurang, bahkan kian meningkat. Jokowi gagal mencapai target pengurangan impor minyak ini.

Pada 2017 impor BBM masih 50 % dan 50% lain memang merupakan produksi dalam negeri. Namun, angka 50 % produksi dalam negeri ini menunjukkan Indonesia masih sangat bergantung dengan impor BBM. Hal ini berarti, Jokowi masih belum mampu mencapai target impor BBM diharapkan. Pd 2018 diperkirakan tidak ada perubahan impor BBM berarti menuju penurunan signifikan.

Keempat, di dalam NAWACITA Jokowi berjanji secara tertulis, akan meningkatkan efisiensi usaha BUMN penyedia enerji di Indonesia, misalnya Pertamina. Ada banyak pengamat ekonomi dan enerji menilai, kondisi usaha Pertamina semakin tidak efisien, terutama melayani kebutuhan rakyat akan minyak primium dan BBM subsidi lain.

Efisiensi akan membantu capaian target sehingga kinerja bagus. Namun, kondisi kinerja Pertamina kini justru terpuruk sejatuh-jatuhnya. Menurut sebuah sumber, pd semester I-2018, laba bersih Pertamina hampir mencapai Rp.5 triliun, atau hanya 15,63% dari target ditetapkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2018 sebesar Rp. 32 triliun. Di lain pihak, laba bersih Pertamina Semester I-2017 tercatat US$1,4 miliar atau ekuivalen dgn Rp.21 triliun. Maka, laba bersih Pertamina semester I-2018 turun 76,20% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Hal ini baru dinilai dgn satu indikator, yakni target laba perusahaan. Masih ada indikator lain bisa digunakan utk menilai kinerja ini sebagai misal kepemimpinan.

Baca Juga:  Layak Dikaji Ulang, Kenaikan HPP GKP Masih Menjepit Petani di Jawa Timur

Kelima, di dalam RPJMN 2015-2019 Jokowi berencana, akan memproduksi minyak bumi 700-900 barel perhari. Produksi minyak baseline 2014 adalah 789 ribu barel perhari. Faktanya, sejak 2015 produksi minyak Indonesia hanya mencapai 786 ribu barel perhari, jauh dari angka 900 ribu barel perhari. Pd 2016 produksi minyak hanya 831 ribu barel perhari, dapat diklaim mendekati 900 ribu barel perhari. Pd 2017 produksi 825 ribu barel, menurun ketimbang 2016. Pd 2018 produksi minyak masih di bawah 900 barel perhari. Jokowi masih belum mampu mencapai target produksi minyak hingga 900 ribu barel perhari.

Keenam, di dalam RPJMN 2015-2019 Jokowi berencana, akan membangun satu unit “kilang minyak dengan total kapasitas 300 ribu barel per hari. Dalam kenyataannya, target kilang minyak ini belum tercapai meskipun sudah 4 tahun jadi Presiden.

Pada 2 Agustus 2018 Jokowi masih meminta Pelaksana Tugas Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati utk merampungkan proyek kilang minyak di berbagai daerah secara tepat waktu. Maknanya hingga 4 tahun Jokowi berkuasa, rencana membangun kilang minyak masih belum terealisasi.

Di lain pihak indikasi kegagalan membangun kilang minyak selesai era Jokowi dari pengakuan Dirut Pertamina Nicke Widyawati. Menurutnya, memang ada rencana Pertamina akan membangun kilang di Balikpapan dan Tuban. Diperkirakan, akan rampung semuanya pada tahun 2018 ini sesuai dengan target yang ditentukan. Namun, ternyata saat ini, Pertamina masih mencari mitra strategis proyek Kilang Balikpapan untuk membantu pendanaan karena memakan biaya investasi mencapai USD 5,3 miliar. Sementara, proyek Kilang Tuban memakan biaya USD15 miliar dengan kapasitas 300 ribu barel per hari seperti target Rezim Jokowi.

Ketujuh, Jokowi berencana, akan menambah kapasitas penyimpanan BBM 2,7 juta KL (RPJMN 2015-2019). Belum ada data resmi sudah sejauh apa realisasi rencana ini.

Pada April 2015 Jokowi masih berharap ada banyak perusahaan minyak dan gas bumi (migas) berani menanamkan modal tidak sedikit untuk membangun infrastruktur migas di tanah air, termasuk peningkatan kapasitas penyimpanan BBM 2,7 juta Kilo Liter (KL). Hingga 4 tahun Jokowi jadi Presiden, belum ada data resmi dipublisir sudah sejauh apa realisasi rencana ini.

Apa yang bisa Kita maknakan dari uraian di atas, yakni Jokowi tidak bisa dan mampu memenuhi janji2 kampanye Pilpres 2014 dan target rencana di bidang BBM. Hal ini membantu utk menunjukkan kegagalan Jokowi di bidang BBM. Tidak layak lanjut sebagai Presiden pasca Pilpres 2019. Sungguh!

*Muchtar Effendi Harahap, Ketua Tim Studi NSEAS. Mantan Redaktur SKM EKSPONEN dan Kordinator Redaksi Harian MASA KINI Yogyakarta, Medio 1980an.

Related Posts

1 of 3,150