NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Tragedi konflik yang meletus pada tahun 1999-2002 di wilayah Halmahera Utara telah menjadi catatan kelam sejarah perjalanan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan. Konflik pahit yang menyeret isu agama itu telah menciptakan pengkotakkan antar kedua desa. Ikatan kekeluargaan antar warga desa Popilo dan Popilo Utara tergeser dan mengkotak menjadi persaudaraan seagama. Akibatnya, jumlah korban fisik maupun non fisik sangat besar saat konflik meletus.
Saat ini, terhitung sudah 18 tahun usia tragedi konflik berdarah itu terjadi. Dan kini, Halmahera Utara sudah ditetapkan sebagai wilayah kabupaten baru setelah pemekaran pada tahun 2003 silam bersama dengan pemerkaran Provinsi Maluku Utara.
Deklarasi Hibualamo yang ditandatangangi pada 2001 oleh tokoh masyarakat dan tokoh agama telah meredakan konflik dan warga telah bersedia hidup berdampingan dengan komitmen bersama menjaga kerukunan. Desa Popilo (mayoritas Islam) dan Popilo Utara Baru (mayoritas Kristen) adalah dua desa yang dulunya aktif terlibat konflik. Kini, kedua desa bertetangga itu telah bersedia kembali hidup berdampingan meski di perbatasan dua desa ini masih membutuhkan penjagaan aparat keamanan, khususnya tentara.
Demikian prolog hasil kajian mahasiswa dari tiga perguruan tinggi di Yogyakarta yakni UIN Sunan Kalijaga (4 orang), Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (6 orang), dan Universitas Halmahera (10 orang) yang didampingi 4 dosen pembimbing. Studi ketiga perguruan tinggi ini bertajuk Studi Perdamaian yang diberlangsung mulai 7-12 September 2017.
“Ini merupakan upaya awal kami untuk merumuskan dan mengusulkan sebuah kerangka pengembangan wilayah Halmahera Utara dan pemulihan hubungan masyarakat pasca konflik,” pembimbing studi perdamaian ini dalam sebuah pernyataannya, Selasa (26/9).
Adapun hasil kajian dari studi perdamaian ini menyebutkan bahwa alam hal hubungan relasi sosial antara warga desa Popilo (Islam) dan Popilo Baru (Kristen) pascaterjadinya konflik dapat dikatakan masih belum sepenuhnya dapat pulih. Meski sekian usaha rekonsiliasi sudah lama diusahakan. Semisal, deklarasi damai yang dilaksankan pada 19 April 2001. Deklarasi ini dinyatakan sebagai deklarasi masyarakat adat “Hibualamo”, yakni masyarkat adat yang menjunjung nilai–nilai kekeluargaan dengan slogan “ngone oria dodoto” yang berarti “kita semua bersaudara“.
Namun usaha itu, terasa melemah seiring serangan “modernisasi” kepada generasi sekarang. Artinya, ajaran nenek moyang sudah tidak banyak yang mengetahuinya. Perihal ini, dapat tergambarkan dalam keseharian kedua warga desa tersebut. Secara umum, kedua warga lebih nyaman menjalani aktivitas kesehariannya hanya dengan warga se-desa (se-agama). Saat proses interaksi lintas desa (lintas agama) terjadi, masih terlihat kurang mencair. Perjumpaan antar keduanya lebih banyak dalam keadaan formal.
“Pada proses pengamatan yang lebih dalam, kedua masyarakat masih menyimpan rasa kecurigaan terhadap kelompok agama lain. Rasa saling curiga keduanya inilah yang menjadikan proses relasi sosialnya mengalami hambatan,” kata peneliti.
Cara-cara lama seperti perkunjungan antar keluarga dalam perayaan keagamaan memang sudah kembali berjalan. Namun, belum bisa menjadi cara yang efektif menghilangkan perasaan saling curiga, keduanya lebih merasa nyaman saat kunjungan dilakukan dengan kelompok besar.
“Dari sekian hal yang telah terkemukakan, telah menghadirkan fakta, bahwa pengalaman konflik telah mengakibatkan trauma bagi masyarakat, yang berdampak pada lahirnya kecurigaan dari masing-masing pihak. Kecurigaan ini pun meyebabkan sikap mendua. Mendua dalam hal ini, keinginan berdamai sudah ada, namun kedua belah pihak masih memiliki kecurigaan secara mendalam kepada warga yang berbeda keyakinan. Selain itu, proses dinamika politik yang terjad, menjadikan masyarakat tetap mengkotak dalam sekat agama. Model politik praktis seperti inilah yang justru menjadi penghambat tumbuhnya nilai luhur (kearifan lokal) yang sedang dibangun,” katanya.
Kemudian relasi warga desa Popilo dengan Popilo Baru (Mede) pada ruang kerja sudah berjalan sangat baik. Dalam konteks ini, persoalan penambangan pasir juga layak untuk disorot karena sarana pekerjaan utama bagi warga dua desa ini.
“Berdasarkan data yang kami peroleh, skema pembagian di pecah menjadi dua kelompok yaitu pembagian untuk kelompok desa Popilo (Muslim) untuk satu hari dan untuk satu hari berikutnya diperuntunkan bagi warga desa Popilo Baru (Kristen). Skema pembagian ini telah berjalan dengan baik, dalam rangka untuk mencegah tumbuhnya konflik kembali di antara dua warga. Model pengkelompokan seperti di atas, sangat tepat dipergunakan dalam upaya preventif saja, sedangkan dalam kondisi yang sepenuhnya kembali, upaya menggunakan metode rekonsiliasi konflik lebih tepat untuk dijadikan rujukan,” kata peneliti.
Secara teritorial, Kabupaten Halmahera Utara terkategorikan sebagai wilayah beranda terdepan Indonesia karena berdekatan dengan Samudra Pasifik. Karenanya, Kabupaten Halmahera Utara memiliki peran penting dalam rangka menjaga kedaulatan wilayah nasional. (ed)
(Editor: Eriec Dieda)