MancanegaraPolitik

Strategi “Transversal Afrika” Rusia di Abad Ke-21

Strategi 'Transversal Afrika' Rusia copy
Rusia menjalankan strategi Transversal Afrika dengan mengkombinasikan diplomasi dan miiliter/Foto: Cavie

NUSANTARANEWS.CO – Strategi “Transversal Afrika” Rusia boleh dikatakan telah selesai dengan ditandatanganinya perjanjian kerjasama militer yang baru dengan Republik Kongo (Kongo-Brazzaville). Negara ini sangat penting bagi Rusia, karena dulunya merupakan sekutu dekat Uni Soviet selama Perang Dingin.

Letak Kongo, searah jarum jam, dikelilingi oleh Republik Afrika Tengah (RAT), Republik Demokratik Kongo (DRK) yang dilanda konflik abadi, lalu Angola, yang kaya minyak yang kadang-kadang dilanda kekerasan separatis, Laut Atlantik, dan Gabon yang terancam kudeta.

“Transversal Afrika” Rusia melalui Sudan-Republik Afrika Tengah-Kongo secara signifikan juga telah membelah benua itu menjadi dua bagian. Di sebelah Barat adalah daerah yang didominasi oleh kepentingan Prancis dan UE, sedangkan di sebelah Timur menjadi ajang rebutan persaingan Cina dan India.

Koridor Transversal Rusia
Koridor Transversal Rusia

Dengan posisi yang tepat berada di tengah, Rusia dapat memainkan peran yang lebih strategis dalam rangka membangun Gerakan Non-blok Baru (new non-aligned movement atau disingkat Neo-NAM) Afrika. Rusia mencoba menciptakan “Detente Baru” dengan menggabungkan sejumlah mitra Afrika yang semakin bertambah yang sedang mencari “jalan ketiga” antara Barat dan Cina di masing-masing “lingkup pengaruh”.

Baca Juga:  Diserang Civitas Akademisi Lewat Petisi, Golkar Sebut Presiden Jokowi Terbuka Kritik

Disinilah peran strategis Moskwa tepat di tengah “Perebutan Afrika” yang baru untuk “menyeimbangkan” kepentingan yang saling bertabrakan. Tidak hanya itu, Rusia juga dapat memberikan solusi “Keamanan Demokratik” bagi negara-negara yang berbatasan langsung dengan “Transversal Afrika” secara komprehensif, baik di “lingkup pengaruh” Perancis/UE maupun Cina/India – yang berisiko paling tinggi terhadap konflik internal, seperti: Kamerun, Chad, Republik Demokratik Kongo, dan Ethiopia.

Dalam konteks “Neo-NAM” Afrika yang disponsori oleh Rusia, kepentingan Prancis tampaknya akan lebih banyak dirugikan daripada Cina, karena dua dari tiga negara “Transversal Afrika” adalah bagian dari neo-kolonial Prancis dan menggunakan “Franc Afrika Tengah” yang dikeluarkan Paris sebagai mata uang nasional mereka. Bila Rusia mendorong RAT dan Kongo menggunakan rubel untuk kegiatan ekonominya, terutama bagi investasi Rusia, maka jelas Prancis akan terpukul.

Meski visi ini masih jauh dari kenyataan, tetapi faktanya tetap bahwa skenario ini cukup kredibel untuk membuat Prancis takut akan masa depan Françafrique jika “Keamanan Demokratik” Rusia memperoleh tempat di Afrika.

Baca Juga:  Gibran Rakabuming Didaulat sebagai Ki Sunda Utama oleh Abah Anton Charliyan di Padepokan Abah Umuh Sumedang

Model “Keamanan Demokratik” Rusia meletakkan dasar untuk “Pivot to Africa” ​​melalui “Transversal Afrika” yang membelah Afrika serta menghubungkan pantai Laut Merah dan Samudra Atlantik melalui Sudan-RAT-Kongo.

Strategi kombinasi “Diplomasi militer” Rusia di Afrika boleh dibilang adalah kontraskema untuk menghadapi sanksi AS yang rencananya akan dikenakan kepada semua mitra Rusia di seluruh dunia. Sehingga Moskwa mencoba membuat langkah terobosan kemitraannya dengan banyak negara di benua itu untuk menolak tekanan AS yang akan datang.

Rusia pun tampaknya mulai mengkombinasikan model “Keamanan Demokratik” dengan manfaat ekonomi sektor riil seperti investasi infrastruktur: terutama kereta api, perdagangan bebas, dukungan pendidikan, pinjaman berbunga rendah, dan dukungan diplomatik di PBB sebagai paket kemitraannya di Afrika. Dengan harapan dapat mendorong negara-negara Afrika agar mempertimbangkan kembali permintaan AS. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,078