NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Demo mahasiswa pada 23 dan 24 September 2019 lalu membuka mata publik tentang banyaknya kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Namun, sebenarnya, kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia sudah kerap terjadi. Ya, kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi setiap tahun. Pada tahun 2014, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat ada 42 kasus kekerasan.
Jumlah ini meningkat menjadi 44 kasus pada tahun berikutnya. Kemudian pada tahun 2016, kasus kekerasan terhadap wartawan meningkat tajam menjadi 78 kasus. Adapun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat pada tahun 2015, terdapat 47 kasus kekerasan yang menyasar jurnalis. Kemudian jumlah ini meningkat menjadi 833 kasus pada tahun berikutnya. Selain itu, data AJI juga menghimpun kasus kekerasan terhadap jurnalis selama periode Mei 2016 hingga April 2017 menjadi 72 kasus. Dari jumlah ini, sebanyak 38 kasus merupakan kekerasan isik dan 14 kasus berupa pengusian atau pelarangan liputan.
Kemudian selama periode Mei 2017-2018 terdapat 75 kasus kekerasan dan intimidasi yang dialami jurnalis. Dari jumlah tersebut, sebagian besar merupakan kasus kekerasan fisik. Adapun selama periode tersebut, AJI mencatat, ada 24 kasus kekerasan fisik seperti penyeretan, pemukulan, hingga pengeroyokan. Selain itu ada pula kekerasan berupa pengusiran atau pelarangan liputan sebanyak 14 kasus. Kemudian perusakan alat dan/atau data hasil peliputan sebanyak 12 kasus. Selain itu sebanyak 11 kasus lain yang terjadi pada jurnalis adalah ancaman kekerasan maupun teror.
Lebih lanjut, AJI juga mencatat jenis kasus lain seperti pemidanaan atau kriminalisasi sebanyak 6 kasus, lalu intimidasi lisan oleh pjabat publik sebanyak 2 kasus, dan sensor atau pelarangan pemberitaan sebanyak 2 kasus. Sementara pada tahun 2019, beberapa kasus kekerasan terhadap wartawan kembali terulang. Pada Februari, wartawan Detikcom, Satria Kusuma mengalami penganiayaan saat meliput acara Malam Munajat 212 di Jakarta. Adapun penganiayaan pada Satria terjadi pada Kamis pukul 20.30 WIB, tepatnya saat terjadi kericuhan di dekat pintu keluar VIP arah bundaran patung Arjuna Wiwaha. Saat itu, berdasarkan informasi yang beredar, ada seorang copet yang tertangkap. Satria pun langsung mengabadikan momen itu dengan kamera ponselnya. Selanjutnya, Satria dibawa ke ruangan VIP dan mengalami intimidasi.
Kemudian pada Maret, dua jurnalis foto bernama Prima Mulia (fotografer Tempo) dan Iqbal Kusumadireza (jurnalis lepas) melaporkan dugaan tindak kekerasan oleh aparat saat meliput aksi pada Hari Buruh di Bandung. Reza dan Prima mengaku, melihat massa berbaju hitam tersebut dipukuli oleh polisi. Melihat kejadian tersebut, keduanya langsung membidikan kamera ke arah kejadian tersebut. Setelah pindah lokasi untuk mengabadikan gambar yang lain, Reza tiba-tiba dipiting oleh seorang anggota polisi.
Aksi -aksi demo sekarang, kata Aji Setiawan, ST sudah jauh dari Reformasi 1998, di mana saat itu aksi damai dan simpatik, rakyat, tokoh politik dan budayawan bersatu bersama rakyat. “Sekarang, memang ada yang mendesak, yakni meredam kemarahan dan menundukan alam fikir. Mari kita berdamai dengan sejarah. Dan jangan mengulanginya lagi.Terkait kekerasan terhadap wartawan, jangan diulangi lagi. Hukumannya berat 2 tahun 10 bulan dan denda 500 juta bila mengganggu tugas wartawan, “pungkas Aji Setiawan yang juga adalah mantan ketua PWI reformasi Korda Jogjakarta 1999-2003.
Aji mengecam penembakan polisi Hong Kong terhadap jurnalis asal Indonesia, Veby Indah. Aji mendesak polisi Hong Kong mengusut tuntas peristiwa kekerasan yang terjadi pada jurnalis Hong Kong News tersebut. Veby terkena tembakan tepat di bagian mata kanan saat meliput aksi unjuk rasa di kawasan Wanchai pada 29 September 2019.
“Kepolisian setempat harus bertanggung jawab atas cedera yang dialami Veby. Ini bukan hanya ancaman bagi Veby tetapi juga mengancam wartawan lokal dan internasional yang meliput aksi–aksi massa di Hong Kong,” ujar Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani dalam siaran pers, Kamis.
Berdasarkan laporan yang diterima AJI, Kepolisian Hong Kong berusaha menemui Veby di rumah sakit saat dia masih cedera. Namun pihak rumah sakit menolak kedatangan polisi karena alasan kesehatan. AJI menilai kunjungan tersebut berpotensi mengintimidasi korban.
Aji meminta Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) mendampingi dan memberi perlindungan hukum kepada Veby, serta menyampaikan keberatan kepada Kepolisian Hong Kong atas intimidasi yang terjadi pada Veby. “Sebagai Warga Negara Indonesia, Veby berhak mendapatkan pendampingan baik jaminan kesehatan, hukum, dan keselamatan jiwa”, kata Asnil.
Aji juga mendesak Kepolisian Hong Kong menghentikan intimidasi kepada Veby. Veby masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Pamela Youde Nethersole.
Tim dokter membutuhkan waktu setidaknya tujuh hari sejak penembakan terjadi untuk mendiagnosis tingkat cedera yang dialami Veby.
Proyektil yang mengenai Veby diduga berasal dari tembakan polisi.
Saat kejadian, Veby berdiri bersama kelompok jurnalis lainnya menggunakan identitas pers yang terlihat jelas di helm pelindung kepala, rompi berwarna mencolok, serta kartu identitasnya.
Pihak pengacara yang ditunjuk Veby melalui Hong Kong Journalist Association, Vidler & Co Solicitor, menduga bahwa tembakan ke Veby sangat berbahaya dan berpotensi mematikan.
“Ms Veby sangat beruntung masih hidup dan jika tidak dilindungi oleh kacamata pelindung, dia pasti sudah mengalami kebutaan karena tembakan tersebut. Pada saat ini, masih tetap ada kemungkinan adanya kerusakan penglihatan yang parah” kata Michael Vidler.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh pihak kuasa hukum, proyektil yang ditembakkan berasal dari senapan gentel polisi yang berpeluru kaliber 12 gauge.
Proyektil tersebut dipercayai adalah (peluru pundi kacang) bertipe 12 gauge drag stabilised round, dengan proyektil seberat 40 gram yang dengan kecepatan laju 270fps/82mps atau peluru karet bertipe 12 gauge rubber fin rocket dengan kecepatan 650fps (198m/s).
Selongsong-selongsong dari peluru jenis tersebut ditemukan di sekitar lokasi kejadian ()
Editor: Achmad S.