NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Posisi Laut China Selatan memang sangat strategis. Di samping dikelilingi oleh banyak negara, juga merupakan pintu perlintasan pelayaran ke Timur Jauh. Negara-negara Asia Tenggara pun dihubungkan oleh Laut China Selatan. Secara historis, China memandang semua negeri yang terletak di Laut China Selatan itu dengan sebutan Nanhai atau Laut Selatan. Oleh karena itu, dalam peta kawasan ini disebut Laut China Selatan.
Sejak jaman dahulu, para pedagang dari negeri China melintasi Laut China Selatan, sampai ke Semenanjung Malaya, melintasi Selat Malaka dan Selat Sunda, dan terus menyeberangi Samudera Hindia hingga ke Arabia. Rute ini kemudian dikenal dengan sebutan Jalur Sutera Maritim.
Jalur Sutera Maritim memang berawal dari Laut China Selatan yang kini menjadi isu terpanas di kawasan Asia Tenggara, khususnya di gugusan kepulauan Spratly yang terletak di sebelah utara pulau Kalimantan. Kawasan ini diperebutkan oleh lima negara, yakni China, Vietnam, Brunei, Malaysia dan Filipina karena diyakini kaya akan cadangan minyak dan gas bumi. Di samping itu, Laut China Selatan sampai Selat Malaka merupakan jalur lalu lintas ekonomi barang dan jasa yang padat dengan nilai lebih dari US$ 1 triliun per tahun. Dan juga setiap hari dilewati lebih dari 200 kapal tanker minyak dan gas.
Kepentingan China sendiri sebenarnya adalah untuk mendorong integrasi ekonomi antar negara di Jalur Sutera, sehingga mempercepat koneksitas sistem ekonomi antar negara baik lewat darat maupun laut. Bila China berhasil mengintegrasikan sistem ekonominya, maka batas teritorial antar negara sudah tidak penting lagi karena dengan sistem ekonominya yang konstan, secara alamiah China akan dengan mudah mendominasi kawasan. Perang Asimetris adalah pilihan yang logis. Apalagi bila investasi dan relokasi industrinya berjalan lancar dan mampu meningkatkan pembangunan di Jalur Sutera, maka Imperium China akan segera berdiri lagi membelah dunia di abad 21.
Oleh karena itu, Jalur Sutera Maritim abad 21 memiliki arti sangat strategis bagi kepentingan nasional China. Tidak mengherankan bila, untuk menguasai Jalur Sutera Maritim China berusaha keras mengintegrasikan sistem ekonominya dengan seluruh negara-negara Asia Tenggara melalui ACFTA. Dengan integrasi sistem ekonomi ini, China berhasil membangun koneksitas ekonomi yang kuat dengan seluruh negara-negara di kawasan Jalur Sutera Maritim. Bahasa Indonesianya; menjajah ekonomi negara-negara Melayu Asia Tenggara untuk dikuras bahan bakunya dan dijadikan kuli di negerinya atas nama investasi, pembangunan dan pasar bebas. Ingat jurus sakti penakluk dunia WTO!
Dengan kekuatan ekonominya saat ini, China sangat berkepentingan untuk memperkuat posisinya di kawasan Jalur Sutera, baik jalur darat maupun jalur laut. Terutama guna meningkatkan hubungan koneksitas ekonomi kawasan yang lebih intens, di samping memperkuat basis ideologis tentunya mumpung Beruang Merah Rusia sedang hibernasi.
Secara alamiah, pendekatan historis etnis dan ideologis China telah berhasil membangun iklim yang kondusif di negara-negara sepanjang Jalur Sutera Maritim, khususnya di Asia Tenggara, mulai dari Vietnam, Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan seterusnya. Di Thailand, China bahkan berhasil menampilkan Thaksin Shinawatra dan Yingluck Shinawatra menjadi Perdana Meneri di Negeri Gajah Putih tersebut, sehingga membuat kelompok nasionalis marah, raja pun bertindak. Jadi, tidak mengherankan kalau kudeta sering terjadi di Thailand, perang asimetris yang dilancarkan China menjadi salah satu game-nya.
Nah, iklim ipoleksosbud Indonesia ternyata tidak cocok bagi metamorfosis kepompong ulat sutera. Masyarakat Indonesia yang majemuk menjadi ganjalan serius bagi perkembangan imperium China di Jalur Sutera Maritim. Mengapa? Dengan bahasa SARA, ternyata alam bawah sadar masyarakat Indonesia memiliki perasaan anti China yang bersifat reflek. Ya, reflek. Jadi, perang asimetris yang dijalankan China untuk menguasai bangsa Indonesia seutuhnya merupakan pekerjaan rumah yang belum ketemu skemanya. (As)
Editor: Romandhon