Hukum

Soal Vonis Ahok, Romli Atmasasmita: Cocok

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – PN Jakut (Pengadilan Negeri Jakarta Utara) memutuskan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok terbukti bersalah karena telah menistakan agama Islam, sehingga divonis penjara selama 2 tahun. Ahok dianggap terbukti secara sah dan terbukti melanggar Pasal 156a KUHP.

Pakar Hukum Pidana; Romli Atmasasmita pun turut memberikan tanggapan soal putusan majelis hakim tersebut. Menurutnya pasal yang diterapkan sudah cocok.

“Yang ingin saya tahu ini pasal yang diterapkan Majelis Hakim Pasal 156 atau 156a? Pasal 156a prof. Nah itu cocok sama saya,” ujarnya saat ditemui wartawan di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (9/5/2017) kemarin.

Diketahui, vonis yang dijatuhkah majelis hakim memang lebih berat dari tuntutan jaksa, yang hanya menuntut Ahok dipidana 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun. Menurut Romli, hakim memang bisa saja menghukum Ahok lebih berat dari tuntutan jaksa.

“Karena hakim kan punya kewenangan untuk memutus, tidak harus sama dengan tuntutan jaksa. Artinya lebih pun boleh kurang juga boleh, asal tidak melampaui batas maksimal 20 tahun dan minimum khusus. Kalau KUHP minimum satu harikan,” jelasnya.

Baca Juga:  Komplotan Oknum Koruptor di PWI Segera Dilaporkan ke APH, Wilson Lalengke Minta Hendry dan Sayid Dicekal

Sementara itu, terkait salah satu amar putusan hakim yang meminta agar Ahok ditahan? Ia menyebut bahwa hal tersebut sepenuhnya memang menjadi kewenangan majelis hakim. Diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP.

“Yah memang pasal 197 ayat (1) huruf k KUHP memang kewenangan majelis untuk ditahan atau tidak ditahan,” kata dia.

Sebagai informasi, Isi dari Pasal 197 ayat (1) KUHAP adalah (1) Surat putusan pemidanaan memuat: (a) kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”; (b) nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; (c) dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; (d) pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa, (e) tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; (f)pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

Baca Juga:  Ahli Waris Tanah RSPON Kirim Surat Terbuka ke AHY 

(g) hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; (h) pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; (i) ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; (j) keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; (k) perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; (l) hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;

“Jadi tidak ada masalah itukan praktik. Kalau di penyidikan tidak ditahan, di kejaksaan tidak tahan, maka hakim juga tidak menahan. Tapi kalau sudah menjadi terdakwa, terus diputus itu kewenangan majelis hakim penuh,” pungkasnya.

Reporter: Restu Fadilah
Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 5