Presiden Joko Widodo mengatakan sudah tiga tahun negosiasi dengan Freeport tetapi sampai detik ini belum membuahkan hasil sama sekali. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diganti dengan yang baru yakni Ignasius Jonan. Jonan tak lain adalah eks Menteri Perhubungan yang dipecat, dan di pundaknya Jokowi berharap proses negosisiasi berjalan melewati jalan tol yang lancar. Namun apa mau dikata, macet juga. Ini sudah lama sekali, dan Freeport jalan terus, pengerukan jalan terus, ekspor jalan terus.
Parahnya lagi, di depan publik pemerintah membawa jargon nasionalisme, nasionalisasi Freeport dan lain-lain. Faktanya, tidak ada satu pun dari yang dinegosiasikan sesuai harapan.
Penting untuk diketahui bahwa ada empat hal yang menjadi poin krusial dalam negosiasi dengan Freeport. Pertama, terkait dengan perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Kedua, terkait divestasi saham 51 persen. Ketiga, terkait pembangunan smelter sebagai alat pemurnian bahan mentah konsentrat. Keempat, terkait dengan peningkatan pajak Freeport.
Poin satu sampai tiga telah kami bahas dalam artikel sebelumnya. Ketiganya gagal menjadi alat untuk memperjuangkan kepentingan nasional.
Harapan terakhir adalah peningkatan penerimaan negara dari bea keluar (tarif) dan dari pajak yang harus dibayarkan Freeport kepada negara Indonesia. Tapi apa yang terjadi? Juru nego, yakni menteri ESDM dan Menteri Keuangan malah bertekuk lutut menghasilkan kesepakatan yang lebih mundur dari KK dan melanggar UU.
Sebelum ini, ada baiknya kita memahami beberapa kewajiban pajak Freeport dalam Kontrak Karya (KK) dan peraturan perundangan di Indonesia.
Pertama, Kontrak Karya (KK) Pasal 13 mengatur kewajiban perusahan untuk membayar kepada pemerintah 13 jenis pajak dan lain kewajiban keuangan perusahaan meliputi: pajak/iuran tetap/royalty/ biaya materai/bea masuk/pungutan-pungutan/pembebanan dan bea-bea yang dikenakan oleh Pemda dan pungutan-pungutan administrasi umum serta pembebanan untuk fasilitas atau jasa dan hak-hak khusus yang diberikan oleh pemerintah. Penghitungan kewajiban keuangan tersebut diatur secara rinci dalam Pasal 13 dari angka (1) sampai dengan angka (13).
Kedua, Pasal 131 UU Minerba menyebutkan, besarnya Pajak dan PNBP yang dipungut dari pemegang IUPK ditetapkan berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan demikian maka PT FI harus mengikuti aturan pajak yang berlaku dengan perubahannya (prevailing) sesuai Pasal 131 UU RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.
Harapan rakyat Indonesia, khsusnya masyarakat Papua untuk mendapatkan kenaikan pajak dari Freeport malah justru hasilnya terbalik 180 derajat. Pemerintah melalui menteri ESDM dan Menkeu justru memberikan keringanan kepada Freeport.
Berikut faktanya :
Pertama, sampai Oktober 2017 PT Freeport Indonesia (PTFI) diperbolehkan untuk pengenaan bea ekspor sebesar 5 persen dengan mengantongi kesepahaman bersama (memorandum of understanding/MoU) yang telah disepakati pemerintah dan PT FI. Padahal, sebelumnya berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 13/PMK.010.2017 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar, untuk mendapatkan bea keluar 5 persen, kegiatan pembangunan fisik fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) sudah harus 30 persen. Sementara, sejak membangun smelter di Gresik, Jawa Timur pada 2014 silam, pembangunan smelter berkapasitas 2 juta ton konsentrat itu baru mencapai 14 persen sampai saat ini. Karena itu, merujuk pada PMK yang ada, PT FI harus membayar bea keluar 7,5 persen untuk ekspor konsentrat.
Kedua, Pemerintah berencana menerbitkan ancangan peraturan pemerintah (RPP). Berdasarkan bocoran dalam BAB VII Pasal 14 menyebutkan, tarif pajak penghasilan badan (PPh) Freeport hanya 25 persen. Turun dibandingkan dengan PPh badan Freeport dalam rezim KK, yakni 35 persen.
Ini negosiasi macam apa? Kalau semua poin yang dinegosiasikan bersifat merugikan negara dan rakyat Indonesia, maka tidak dapat dikatakan sebagai negosisiasi, tetapi zero sum game, nol besar atau omong kosong saja. Kalau di zaman pemerintahan sebelumnya seorang menteri yang neoliberal mengaku neoliberal, bahkan berani mengatakan kantongi nasionalismemu, sekarang para penjual negara mengaku nasionalis. Kira-kira lebih baik mana ya?
Penulis: Salamuddin Daeng, pengamat ekonomi politik AEPI Jakarta