NUSANTARANEWS.CO – Anggota Komisi III DPR RI, Adies Kadir, mengungkapkan bahwa sebenarnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak perlu ikut turun tangan menjelaskan terkait masalah kenaikkan tarif pelayanan STNK dan BPKB yang sedang ramai diperbincangkan saat ini.
“Cukup level Dirjen (Direktur Jenderal) atau maksimal setingkat Menteri,” ungkapnya kepada wartawan saat dihubungi, Jakarta, Jum’at (06/01/17).
Pasalnya, menurut Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP Partai Golkar itu, perumusan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2016 Tentang Jenis dan Tarif tersebut telah dibahas antara DPR, dalam hal ini Badan Anggaran (Banggar) dengan para pembantu presiden.
“Karena, pada saat pembahasan bersama antara pemerintah dan DPR RI di Banggar, pasti semua tahu. Misalnya ada usulan dari Instansi/Kementerian ke Depkeu, pasti semua baca, demikian pula dari Depkeu ke Presiden pada saat menandatangani PP-nya, semua pasti baca. Jadi seharusnya merekalah yang menjelaskan pada publik bukan Pak Presiden,” ujar Adies.
Yang menjadi aneh dan menjadi pertanyaan, menurut Adies, adalah kenapa semua instansi terkait seolah lempar tanggung jawab saat ada reaksi dari publik tentang kenaikkan tersebut.
“Kenapa sekarang begitu keluar kenaikan 300% dan rakyat menjerit semua terkesan lempar tanggung jawab?” katanya.
Adapun terkait adanya pernyataan salah satu instansi yang menyebut kenaikkan tersebut juga karena adanya dorongan dari Komisi III DPR, Adies mengatakan, Komisi III sama sekali tidak pernah membahas terkait hal itu.
“Yang pasti pembahasan kenaikan pajak STNK dan BPKB ini setahu saya tidak pernah dibahas di Komisi III, kalau di Banggar saya mendengar pernah dibahas untuk disesuaikan tarifnya dengan kondisi saat ini,” ungkap Sekjen Ormas MKGR ini.
Sebaiknya dalam menyikapi hal ini, Adies meminta, kepada pemerintah untuk segera memberikan penjelasan yang masuk akal terkait dengan kenaikkan yang sangat tinggi tersebut kepada masyarakat.
“Misalnya mengingat dampak pertumbuhan kendaraan di negara kita yang sangat pesat, sehingga terjadi kemacetan yang berdampak pada risiko ekonomi pada sisi trasportasinya,” ungkapnya.
Atau, lanjut Adies, Pemerintah bisa mencontoh negara tetangga, Singapura, dimana orang berpikir sepuluh kali lipat untuk memiliki mobil, apalagi mobil ke dua dan seterusnya.
Kemudian, Adies juga menyarankan, agar kenaikan pajak juga dibarengi dengan penambahan infrastruktur dan pembenahan pada angkutan massalnya.
“Selain pajaknya sangat tinggi, hal ini juga harusnya didukung oleh moda transportasi massa yang sangat baik, sehingga masyarakatnya berpikir untuk menggunakan kendaraan bermotor. Pemerintah boleh saja menaikkan pajak kendaraan setinggi-tingginya, asal dibarengi dengan kesiapan dari infrastruktur moda transportasi massanya yang sudah siap,” katanya.
Untuk itu, Adies menambahkan, hal tersebut harus menjadi pemikiran pemerintah ke depan, agar dapat memperbaiki layanannya lebih baik dari segi pelayanan pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, serta bagaimana caranya masyarakat Indonesia dapat memikirkan untuk berpindah kepada transportasi massa seperti bus atau MRT.
“Dengan penjelasan yang baik dan tepat kepada masyarakat, saya kira masyarakat akan dapat menerima kebijakan yang diambil oleh pemerintah, selama itu memang untuk kepentingan bangsa dan Negara,” ujarnya. (Deni)