Artikel

Simaklah Sejarah, Siapa Cinta NKRI? (Bagian II)

Oleh: Dr. Ir. Masri Sitanggang

NUSANTARANEWS.CO – Ketika Portugis terdesak dan kemudian meminta damai, Sultan bersedia bersahabat lagi asal portugis tidak menjadikan Ternate sebagai pusat penyiaran Kristen. Ini menunjukkan betapa faktor agama menjadi begitu penting dalam hubungan kedua bangsa ini. Perjanjian damai ditandatangani, Sultan memegang Al-Quran dan Gubernur Portugis memegang Injil. Doa dipimpin oleh qadi Islam.

Tapi sayang, Sultan dibunuh ketika bersantap dalam jamuan makan yang sengaja dibuat oleh Portugis untuk menghormati perjanjaian suci itu, Pebruari 1570. Suatu penghianatan yang sangat keji, yang membakar semangat perang total melawan Portugis, Sultan Babullah, pengganti Sultan Khairun, mengepung benteng penjajah Portugis di Ambon. Terbukti pula Raja Bacan, yang telah memeluk Kristen, membantu Portugis yang terkepung dengan menyuplai bahan makanan. Bukan main murkanya Sultan Babullah sehingga mengancam akan memusnahkan kerajaan Bacan. Takut akan ancaman, Bacan berhenti menyuplai bahan makanan. Benteng Ambon jatuh ke tangan Pasukan Islam, Portugis lari ke Malaka. Sultan Babullah menyatakan tidak akan membunuh Kristen anak negeri dan tidak akan dipaksa masuk Islam asal mereka tunduk kepada kekuasaan Sultan.

Masuklah ke era kolonial Kristen Protestan Belanda. Sudah umum pula diketahui bahwa mereka yang tampil memimpin perjuangan mengusir Belanda adalah para pemuka agama Islam. Clefford Greetz dalam A. Mansur Suryanegara, berjudul Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (1995) menyebut perlawanan menentang Belanda ini sebagai “pemberontakan Santri”.

Simbol-simbol perjuangan dan selogannya menonjolkan semangat Islam, semangat jihad dan kesediaan mati syahid. Imam Bonjol di Padang dengan perang Paderinya, Teuku Umar dan Cik Ditiro di Aceh dengan “Perang Sabil” melawan orang “kape”-nya, Diponegoro di Jawa dengan “Perang Sabil” dan jubah putihnya, begitu juga Sultan Hasanuddin di Sulawesi dan Si Singamangaraja ke XII di Toba. Suryanegara (1995) menyebut, penyebaran Kristen menjadi pangkal perlawanan Si Singamangaraja XII (SSM XII) terhadap Belanda. Ini sejalan dengan pernyataan J. P. G. Westhoff; “Untuk tetap memiliki jajahan-jajahan kita, sebagian besar adalah tergantung dari pengkristenan rakyat.”

Aritonang (2005) menyebut SSM XII menentang Zending Kristen dikarenakan Zending dijadikan alat pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai wilayahnya. Menurut Suryanegara (1995) daerah–daerah yang telah dipengaruhi Kristen secara administrasi diserahkan oleh misionaris kepada Belanda. Untuk itu pemerintah Belanda merasa berhutang budi kepada missionaris Nomensen sehingga 1991 ia diberi bintang Officer van Oranje-Nassau.

Fakta-fakta yang disampaikan Suryanegara (1995) berupa kliping koran yang diterbitkan Belanda dan kenyataan bahwa dalam perlawanannya menentang Belanda Raja Toba itu dibantu oleh Panglima Nali dari Minangkabau dan Panglima Teuku Mohammad dari Aceh, meyakinkan Bahwa SSM XII adalah muslim.

Bagaimana sikap orang-orang yang telah “ditunjuki” Belanda kepada Kristen? T.B. Simatupang (1989) menuturkan: “Orang-orang Kristen yang menjadi nasionalis – yang berarti menentang Belanda, dianggap oleh gereja sebagai tidak lagi orang-orang Kristen yang baik.” Sementara tokoh Kristen lainnya, Dr. Mulia (Simatupang: 1989) mengakui adanya kesan bahwa misi Kristen di Tapanuli, Minabasa dan Maluku hanya melayani tata hidup kolonial dan kapitalis. Artinya, gereja secara lembaga tidak berada pada barisan perjuangan kemerdekaan, melainkan di pihak penjajah Belanda.

Uraian Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah 2 (2012) ini perlu juga dicatat. Kongres Nasional Syarikat Islam di Bandung, 17-24 Juni 1916, memutuskan memelopori tuntutan pemerintahan sendiri, berjuang untuk Indonesia merdeka dan tegaknya pemerintahan yang demokratis dengan adanya parlemen. Lain dari itu, para pemimpin Islam berupaya membangun organisasi kesenjataan modern melalui Indie Weerbar Actie, untuk membangkitkan kembali semangat keprajuritan pemuda.

Namun tuntutan Indie Weerbar itu itu ditolak Belanda. Ini terjadi karena pimpinan partai-partai non religius dan sekuler seperti Parindra, Gerindo, Parpindo serta partai non Islam seperti Partai Kristen dan Partai Katolik dengan politik asosiasinya berpihak dan memertahankan pemerintahan penjajah Belanda. Mengutip A.K. Pringgodigdo, Suryanegara (2012) mengatakan sikap partai-partai Kristen itu sebagai akibat partai tersebut dipimpin oleh orang Belanda.

Begitulah perjuangan ummat Islam memerdekaan bangsa ini dari penjajah Katolik Portugis, begitu pula di masa penjajah Protestan Belanda serta Inggris dan demikian juga di masa mempertahankan kemerdekaan dari sekutu. Pada masa serangan sekutu, Resolusi Jihad Ulama dan teriakan Takbir Bung Tomo serta kepemimpinan Jendral Sudirman adalah legenda rakyat muslim Indonesia mempertahankan NKRI yang tak boleh dilupakan.

Jujurlah pada sejarah, agar kita bisa saling hormat dan menghargai. Jujur pulalah dalam bernegara agar Indonesia benar-benar menjadi milik bersama. Jangan ada dusta di antara kita, agar bangsa ini bisa tumbuh besar dan kuat dengan rakyat yang rukun dan damai. Meski di antara kita ada yang “ditunjuki” oleh penjajah (Portugis atau Belanda), tinggalkanlah cara-cara bangsa asing itu.

Jadilah sepenuhnya bangsa Indonesia. Janganlah umat Islam dituduh anti NKRI, anti kebhinekaan, radikal dan lain semacamnya karena itu menyakitkan. Tuduhan itu hanya layak dilontarkan oleh penjajah dan itu berarti membangkitkan kenangan lama: perlawanan umat Islam menentang penjajah dan antek-anteknya!

Baca Juga: Simaklah Sejarah, Siapa Cinta NKRI? (Bagian I)

Related Posts