Opini

Simaklah Sejarah, Siapa Cinta NKRI? (Bagian I)

Dr. Ir. Masri Sitanggang

NUSANTARANEWS.CO – Saya betul-betul terganggu dengan tudingan anti NKRI, anti kebhinekaan dan anti Pancasila yang dialamatkan kepada kelompok Islam hanya karena mereka mengamalkan syariat agamanya. Saya tersinggung, marah dan “terpaksa” menuliskan kembali catatan-catan penting sejarah tentang perjuangan memerdekakan bangsa ini. Agar jelas kelompok mana berperan sebagai apa? Pahlawan cinta NKRI atau bagian dari penjajah?

Terpaksa, karena akhlaq Islam mengajarkan umatnya untuk tidak menepuk dada, menyebut-nyebut kebaikan yang pernah dibuatnya. Karena itu pula aku, dalam artikel ini, akan mengutip sumber-sumber dari kalangan non muslim.

Perjuangan kemerdekaan muncul karena adanya penjajahan dan itu dimulai sejak Portugis menyerang Kesultanan Malaka di sekitar tahun 1511. Sebelum itu, tidak ada perjuangan kemerdekaan, artinya, tidak ada penjajahan. Meski berbeda suku bangsa dan bahasa di tengah mayoritas muslim, rakyat hidup aman tentram di bawah Pemerintahan Kesultanan.

Nusantara ketika itu, memang berada di bawah kekuasaan kesultanan-kesultanan. Dimana antar kesultanan terjalin hubungan erat bahkan hingga ke luar Nusantara. Dan perlu diingat, yang namanya Sultan sudah pastilah muslim dan syariat Islam diberlakukan.

Kedatangan Portugis tidak terlepas dari semangat Perang Salib. Dr.W.Bonar Sijabat (dalam KH Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, 1979) menerangkan, sekalipun orang-orang Eropa kocar-kacir akibat pukulan-pukulan dari musuhnya (Islam) dalam bagian terakhir dari Perang Salib, namun takluknya Kerajaan Islam di Granada (Spanyol) tahun 1492 dan berhasilnya Colombus mendarat di benua Amerika membuat Spanyol dan Portugis masuk kepada suatu lonjakan sejarah yang maha hebat.

Baca Juga:  Penghasut Perang Jerman Menuntut Senjata Nuklir

Tetapi itu bukanlah alasan satu-satunya. Menurut Pdt. Dr. Jan S. Aritonang (Sejarah Penjumaan Kristen dan Islam di Indonesia, 2005), Paus Alexander VI membagi dua kekuasaan di dunia. Belahan Barat untuk Spanyol dan belahan Timur untuk Portugis.

Paus memberi restu dan mandat kepada kedua negara – sebagai penghargaan atas jasa mereka dalam Perang Salib melawan tentara Islam. Untuk menaklukkan kawasan-kawasan yang mereka lalui dan menanamkan Kristen kepada penduduknya. Mandat ini tertuang di dalam Bulla (maklumat) Paus Alexander VI tanggal 4 Mei 1493 dan perjanjian Tordesillas 9 Juni 1494.

Karena itulah, Hamka (Sejarah Umat Islam IV, 1976) menilai penyerbuan ke negeri-negeri Timur lebih besar karena dorongan kemenangan dan penyiaran agama ketimbang keinginan berniaga. Demikian juga pendapat tokoh gereja Indonesia, TB. Simatupang (Iman Kristen dan Pancasila, 1989), katanya:

“Orang Portugis datang ke Indonesia dengan suatu pengertian teologi dan politik di balik tujuan mereka untuk mematahkan ekonomi orang Islam (yang menguasai perdagangan dari Indonesia ke Eropa), dan menduduki wilayah negeri-negeri lain dalam nama raja Portugal serta memenangkan penduduk negeri-negeri itu untuk Gereja Roma Katolik”.

Jan S. Aritonang (2005) menyebut bangsa Barat datang sambil mengibarkan panji-panji Kristen, termasuk tanda salib di bendera kapal-kapal dagang mereka. Di dalam diri penguasa Portugis dan Spanyol tertanam dendam yang mendalam terhadap Islam. Dendam Perang Salib. Dan semua itu tergambar dalam pidato Panglima Perang Portugis Alfonso Albuquerque di depan pasukannya ketika akan menyarang kerajaan Islam Malaka (Hamka, 1976):

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

“Adalah satu pengabdian maha besar dari kita kepada Tuhan apabila kita telah dapat mengusir orang Arab dari daerah ini kelak. Sehingga nyala pelita ajaran Muhammad itu padam dan tidak akan bangkit lagi untuk selama-lamanya.”

Pada bagian lain pidatonya, dikatakan:

“…Karena saya yakin apabila Semenanjung Malaka ini telah kita rebut dari tangan mereka, Kaum Muslimin itu, dengan sendirinya Kairo dan Mekkah jadi tanah tandus yang tidak ada penduduknya lagi. Dan orang Venesia sendiri tidak akan dapat berniaga rempah-rempah kalau tidak membeli kepada kita.”

Bagian akhir pidato ini membuktikan hal lain, yakni eratnya hubungan negeri-negeri Islam saat itu, betapa negeri Melayu ini tidak terpisahkan dengan (sejarah) negeri Islam di mana pun. Saifuddin Zuhri (1979) bahkan mengatakan bahwa peranan Kerajaan Pasai di Aceh sangat besar dalam mempertahankan Masjid Aqsha pada masa Perang Salib.

Karena itu pula kemudian, dapat dipahami mengapa Mesir (Kairo) dan negara-negara Islam menjadi negara pertama yang mengakui Kemerdekaan RI. Sementara negara Barat Kristen sangat terlambat.

Di mana-mana di Nusantra ini Portugis menghadapi kekuatan Islam yang dipimpin para Sultan dan Ulama. Meski Kesultanan Malaka dan Kerajaan Islam Pasai di Aceh dapat ditaklukkan, tetapi ambisi Portugis untuk menguasai Sunda Kelapa dapat dipatahkan oleh Sultan Fatahillah yang kemudian memberi nama Jayakarta (Jakarta) untuk daerah itu.

Baca Juga:  Oknum Ketua JPKP Cilacap Ancam Wartawan, Ini Reaksi Ketum PPWI

Di Ternate, setelah terjadi beberapa kali konflik senjata, terdapat kesepakatan antara Portugis dan Sultan Khairun. Perdagangan boleh dimonopoli Portugis, tapi bidang agama Sultan Khairun yang berwenang. Namun seperti dikatakan T.B. Simatupang (1989) bahwa misi Portugis ke Indonesia adalah menduduki wilayah dalam nama raja Portugal serta memenangkan penduduk negerinya untuk Gereja Roma Katolik.

Maka keadaan tetap tidak aman. Umat Islam di mana-mana mendapat tekanan. Akhirnya Sultan Khairun membolehkan penyiaran Kristen dengan catatan harus dilakukan di daerah yang penduduknya belum Islam, yakni Ambon. Di Ternate, karena pendudukya sudah Islam, Portugis hanya boleh berdagang. Ini ditempuh Sultan karena merasa bertanggung jawab terhadap aqidah rakyatnya.

Tetapi oleh Portugis dibalik. Ambon dijadikan pusat perdagangan dan Ternate dijadikan pusat penyiaran Kristen, yang menyebabkan Sultan memaklumkan ”Perang Sabil”. Kepada pasukannya, Sultan memerintahkan untuk mengusir semua orang Kristen dari Ternate, baik orang Portugis maupun pribumi. Mengapa? Menurut Hamka (1976), orang-orang yang telah memeluk Kristen tidak mau mengakui kekuasaan Sultan lagi.

“Dan yang lebih berbahaya daripada itu,” tulis Hamka, “ialah bahwa seketika terjadi perselisihan-perselisihan di antara Sultan dengan Gabnor, orang-orang Krsiten anak negeri selalu berpihak kepada Potugis. Bahkan ada yang menjadi mata-mata Portugis.” Jan S. Aritonang (2005) mengonfirmasi adanya missionaris Portugis bersama Kristen anak negeri yang tewas dalam beberapa kali bentrokan melawan pihak kesultanan, yang memberi bukti bahwa anak negeri yang telah Kristen memang berada di pihak Penjajah. (Bersambung)

Related Posts