Berita UtamaEkonomiPolitik

Sikap Indonesia dalam dinamika internasional (2)

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo

NUSANTARANEWS.CO – Dalam sejarah masa lalu terbukti bahwa hubungan Indonesia dengan AS paling baik ketika Indonesia kuat, baik kuat ke dalam maupun ke luar, sehingga AS dan orang-orangnya tidak dapat memperlakukan Indonesia semaunya.[2] Sekarang konsep itu masih berlaku dan malahan menjadi lebih penting lagi karena kepentingan AS untuk mengontrol Asia Tenggara makin kuat. Sebab itu Indonesia harus memperkuat diri di dalam negeri sehingga mempunya kekuatan mantap untuk menjalankan hubungan dengan AS yang tidak merugikannya, bahkan menguntungkannya.

Hal yang sama harus dilakukan Indonesia untuk menghadapi negara tetangganya. Terbukti sekali dalam hubungannya dengan Malaysia bahwa persamaan ras dan agama sama sekali tidak menjadi jaminan bahwa ada hubungan yang dekat dan erat antara dua bangsa. Tetap berlaku bahwa kepentingan negara-bangsa yang menjadi ukuran hubungan yang dekat itu dan itu sangat dipengaruhi bagaimana ditunjukkan kekuatan yang mendorong pihak lain mengadakan hubungan yang dekat. Terlebih lagi terhadap Singapore jelas sekali bahwa hanya Indonesia yang kuat dan berfungsi efektif dalam melakukan tugas negara dan masyarakat yang mereka hargai dan hormati. Sebaliknya, Indonesia yang kacau dan penuh kelemahan akan di”makan” atau dimanfaatkan sepenuhnya untuk keuntungannya.

Sikap Indonesia terhadap perkembangan Asia Timur yang sangat kompleks memerlukan pendalaman jauh lebih saksama dan tidak dapat dihadapi dengan kekuatan belaka. Indonesia tidak berkepentingan dengan terjadinya hubungan yang penuh konflik antara China dan Jepang. Sebab konflik antara dua bangsa itu akan berdampak sangat merugikan bagi Indonesia. Apalagi kalau ditambah dengan faktor Korea yang masih serba tanda tanya masa depannya.

Memang kalau Indonesia menjadi negara yang kuat dan berfungsi efektif ada modal untuk berusaha mempengaruhi keadaan Asia Timur, karena masih ada harapan diperhatikan oleh semua negara di kawasan itu. Akan tetapi itu saja jauh dari cukup. Dengan modal itu Indonesia dapat berusaha melerai sikap Jepang dan China yang mungkin bermusuhan. Persoalan pokok yang dihadapi adalah bahwa antara dua bangsa itu pada dasarnya ada love-hate relationship atau hubungan cinta-benci yang terbawa dari perkembangan sejarah masing-masing. Sebab itu yang perlu diusahakan adalah makin kurangnya faktor emosi dalam hubungan itu.

Baca Juga:  Marthin Billa Kembali Lolos Sebagai Anggota DPD RI di Pemilu 2024

Satu faktor emosi yang kuat pengaruhnya adalah warisan sejarah Perang Dunia 2. Pendidikan tentang sejarah di Jepang oleh China dan Korea dinilai menutupi kenyataan perilaku Jepang selama perang. Demikian pula kunjungan para pejabat pemerintah Jepang, terutama perdana menteri, ke Kuil Yasukuni sangat menusuk perasaan China dan Korea. Sebaliknya, bagi pejabat Jepang hal itu dipandangnya sebagai penghormatan terhadap para pahlawan yang telah membela bangsanya, seperti pejabat Indonesia mengadakan upacara Hari Pahlawan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Akan tetapi bagi China, dan juga Korea, hal itu dipandang sebagai sikap Jepang yang menjunjung tinggi militerisme. Sebab di Yasukuni juga disimpan abu para pemimpin Jepang yang telah dihukum sebagai penjahat perang karena telah memimpin Jepang terjun dalam Perang Dunia 2 dan memerangi China serta menduduki Korea. Setiap kunjungan seorang perdana menteri Jepang ke Kuil Yasukuni menimbulkan luka pada China dan Korea. Kalau masalah ini dapat dipecahkan secara efektif dengan satu win-win solution, maka tuduhan terhadap Jepang menjadi militeristis kembali ketika berubah menjadi “negara normal” mungkin sekali akan dapat dielakkan atau diatasi melalui perundingan yang saling memahami.

Dapatkah Indonesia menyarankan kepada Jepang untuk memindahkan abu para pahlawan ke makam lain yang juga terpandang, dengan tetap meninggalkan abu para penjahat perang tetap di Yasukuni ? Dengan begitu rakyat dan pemimpin Jepang tetap dapat menunjukkan penghormatan mereka kepada para pahlawan mereka tanpa dituduh menghormati para pejahat perang. Sebaliknya kepada China dan Korea perlu disadarkan bahwa menghormati pahlawan bangsa adalah hak setiap bangsa dan mereka pun melakukan hal itu. Sebab sebenarnya semua pihak tidak berkepentingan adanya suasana penuh konflik di Asia Timur. Semua juga ingin membangun masa depan yang lebih damai dan sejahtera sebagai bagian dari kehidupan bangsa yang maju.

Mengenai masalah Korea Utara yang oleh Jepang dirasakan sebagai ancaman perlu ada pendekatan yang penuh pemahaman di semua pihak, termasuk AS. Sebab sebenarnya permulaan masalah ada pada AS, khususnya presiden George W. Bush, yang menyatakan ada Axis of Evil atau Poros Kejahatan yang dibntuk oleh Korea Utara, Iran dan Irak. Ketika AS menyerang Irak secara unilateral masuk akal kalau Korea Utara pun merasa terancam akan diserang AS seperti Irak. Apalagi segala usaha pendekatan antara Korea Selatan dan Utara yang dipelopori presiden Kim Dae Jung dan didukung presiden Clinton, oleh presiden Bush ditolak dan dibatalkan semua. AS menolak semua usaha yang menuju perbaikan hubungan dengan Korea Utara. Untuk menangkal serangan AS kemudian Korea Utara membuat senjata nuklir. Ia bersedia membatalkan atau mengakhiri pembuatan senjata nuklir kalau AS bersedia membuka hubungan diplomatik dan menyatakan tidak akan menyerang Korea Utara. Hingga kini AS belum mau melakukan itu dan ini mempersulit penyelesaian masalah Korea Utara.

Baca Juga:  Bupati Nunukan dan OPD Berburu Takjil di Bazar Ramadhan

Adalah aneh bahwa AS yang telah begitu lama hidup dekat dengan orang Korea (lebih dari setengah abad) dan dengan segala orangnya yang pintar, tidak memahami psikologi orang Korea. Atau memang sengaja tidak mau menyelesaikan masalah itu secara arif bijaksana, seperti juga Masalah Palestina, karena berkepentingan adanya ketegangan antara Jepang dengan Korea yang membawa Jepang kepada sikap untuk meningkatkan pertahanannya. Sedangkan ini mau tidak mau mengundang reaksi China yang keras. Maka memang jauh dari mudah untuk memperoleh suasana yang lebih damai dan tenteram di Asia Timur. Sehingga Indonesia di samping berusaha melerai semua pihak di Asia Timur, juga harus bersiap menghadapi keadaan yang lebih serieus di masa depan.

Menghadapi Eropa dan Russia sikap Indonesia adalah bagaimana memanfaatkan keunggulan mereka dalam ekonomi dan produksi alat pertahanan sehingga Indonesia tidak terlalu tergantung pada AS. Kesediaan Eropa dan Russia untuk transfer teknologi merupakan hal yang dapat bermanfaat bagi Indonesia dalam mengembangkan ekonominya dan industri pertahanannya.

Mengenai Timur Tengah Indonesia harus sangat waspada karena dapat menjadi sumber peperangan yang luas. Selama AS kurang sungguh-sungguh sikapnya untuk menyelesaikan Masalah Palestina, apalagi sekarang AS dan Israel sangat bernafsu menyerang Iran, maka umat manusia menghadapi keadaan yang gawat sekali. Tidak mustahil serangan demikian dapat menjadi permulaan dari satu perang yang besar. Kita tidak boleh mengabaikan prediksi bahwa Perang Dunia 3 akan terjadi pada permulaan abad ke 21 dan dimulai di Timur Tengah. Sebab orang yang membuat prediksi itu cukup tepat ketika ia juga menyatakan bahwa Perang Dunia 1 akan pecah pada permulaan abad ke 20 dan Perang Dunia 2 dalam pertengahan abad itu juga. Masalah Timur Tengah diliputi banyak faktor emosi, seperti pertentangan Arab-Zionis dan sekarang kaum Sunni dan Syiah. Di pihak lain banyak pihak luar Timur Tengah sangat berkepentingan dengan kondisi kawasan itu mengingat mereka sangat tergantung pada suplai minyak yang berasal dari kawasan itu.

Baca Juga:  DPRD Nunukan Gelar Paripurna Laporan LKPJ Bupati TA 2023

Kesimpulan akhir yang dapat ditarik adalah bahwa Indonesia memerlukan usaha untuk menjadikan dirinya jauh lebih kuat dan efektif . Itu memerlukan kepemimpinan bangsa yang benar-benar tegar dan kuat untuk menghadapi segala kemungkinan dengan arif dan efektif. Kepemimpinan yang tegar dan kuat itu semoga juga dapat mengajak dan mempengaruhi seluruh bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang jauh lebih efektif dan mampu merealisasikan apa yang menjadi pikiran dan gagasannya. Kunci yang nampaknys amat sederhana itu dalam kenyataan jauh dari mudah untuk dicapai. (sayidiman.suryohadiprojo)

[2] Sayidiman Suryohadiprojo, Indonesia-US Relations, No Easy Matter, majalah Duta edisi September 2006, , Jakarta

Artikel Sebelumnya:  Sikap Indonesia dalam dinamika internasional

Baca juga:

Indonesia Dalam Dinamika International: Kondisi Dunia Amat Dinamis (Bagian 1)
Indonesia Dalam Dinamika International: AS Sebagai Sumber Utama Dinamika Internasional (Bagian 2)
Indonesia Dalam Dinamika International: AS Sebagai Sumber Utama Dinamika Internasional (Bagian 3)
Indonesia Dalam Dinamika Internasional: China Sebagai Sumber Dinamika Internasional (Bagian 4)
Indonesia Dalam Dinamika International: Eropa dan Russia sebagai sumber dinamika internasional (Bagian 5)
Indonesia Dalam Dinamika International: Negara Tetangga Indonesia

Related Posts

1 of 6