HukumPolitik

Sidratahta Mukhtar: Nasionalisme Indonesia, Nasionalisme Paling Otentik

Ketua Prodi Ilmu Politik FISlP UKI, Sidratahta Mukhtar/Foto nusantaranews (Istimewa)
Ketua Prodi Ilmu Politik FISlP UKI, Sidratahta Mukhtar/Foto nusantaranews (Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO – Di zaman serba terbuka ini, beragam persoalan global muncul, mulai dari masalah hak asasi manusia, kemiskinan, keamanan manusia hingga isu nasionalisme. Isu yang paling terakhir dan hangat dibicarakan yakni nasinalisme, erat kaitannya dengan wacana kewarganegaraan ganda yang hendak diterapkan di Indonesia. Nasionalisme sebagai tonggak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia penting diremajakan lagi, mengingat dwi kewarganegaraan dinilai dapat merusak kedaulatan NKRI. Demikian semata pemikiran yang dilontarkan Ketua Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta, Sidratahta Mukhtar.

“Indonesia merupakan bangsa yang sangat menarik bila mengkaki aspek nasionalismenya, menngingat proses konsolidasi nasional dari “nasion” menjadi bangsa dan negara memerlukan proses yang panjang, terutama pada akhir abad 20, yang ditandai dengan kebangkitan nasionalisme dan kemerdekaan nasional,” kata Sidra dalam makalah berjudul: Konsolidasi Nasionalisme Indonesia dan Dwikewarganegaraan yang diterima nusantaranews.co, Jakarta, Kamis (25/8) kemarin.

Ada dua proses konsolidasi, katanya, pertama nasionalisme dan kedua adalah demokrasi. Konsolidasi nasionalisme ini melahirkan nasionalisme Indonesia yang dianggap paling otentik dibanding negara-negara lain di ASIA. “Nasionalisme Indonesia pernah menjadi contoh negara-negara tentangga, salah satunya Vietnam. Artinya, Konsolidasi Nasionalisme Indonesia sudah tuntas,” ujar Direktur Center for Security and Foreign Affairs Studies (CESFAS) UKI itu.

Baca Juga:  PWI Minta Ilham Bintang dan Timbo Siahaan Ditegur Keras, Ini Jawaban Dewan Kehormatan

Selanjutnya, terkait dengan konsolidasi demokrasi bangsa Indonesia, lanjut Sidra, mendapatkan memontum besar di akhir periode kekuasa Orde Baru. Dimana Indonesia berhadapan dengan krisis multidiminsional yang amat parah. Puncaknya adalah mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya, amandemen UUD 1945 dilakukan, serta lahirnya liberalisasi politik dan ekonomi.

“Konsolidasi demokarasi itu juga merupakan eksperimentasi politik kenegaraan yang menegangkan. Pada tingkat lingkungan global, dunia internasional sedang mengalami krisis akibat hilangnya kekuatan blok Timur (Uni Sovyet) dan tinggal Blok Bara (AS dan sekutunya) yang mendominasi dunia. Dalam konteks itu, khususnya pada tingkat domestik, Indonesia mengalami kesulitan dalam memilih model konsilidas dekomrasi yang sesuai dengan budaya Indonesia. Akhirnya kita cukup berhasil melewati masa transisi pilitik yang penuh dengan konflik politik dan kepartaian,” jelas dia.

Mantan Direktur eksekutif Center for Human Security Studies Universitas Paramadina ini sepakat dengan pandangan Burhan Djabir Magenda yang menyatakan bahwa proses perubahan politik yang menumental itu merupakan bagian proses akhir dari konsolidasi nasionlisme Indonesia. “Menurut Indonesianis Terry Karl, Mestinya Indonesia memiliki hampir semua baha yang dibutuhkan untuk menjadi negara maju, seperti India dan Cina. Indonesia juga memiliki kelas mengengah terdidik yang cukup besar, akar kultural yang mapan, masa lalu yang penuh kisah kejayaan, dan rasa nasionalisme yang tinggi,” terangnya.

Baca Juga:  KPU Nunukan Gelar Pleno Rekapitulasi Untuk Perolehan Suara Calon Anggota DPR RI

Dengan demikian, kata Sidra lebih lanjut, seharusnya Indonesia bisa lebih cepat melangkah ke kehidupan yang lebih baik. Hal ini diperkuat dengan pandangan Burhan Djabir Magenda bahwa, Indonesia memasuki tahap akhir konsolidasi nasionalisme dala dua aspek pokok. Pertama, menguatnya ideologi nasionalisme dalam kerangka “nation building“. Kedua, berfungsinya dengan baik lembaga-lembaga politik dalam kerangka “state building“.

“Kendati Indonesia baru mempraktekkan sesitem demokrasi pasca reformasi, konsilidasi nasionalisme Indonesia mengalami kematangan dalam tiga setengah abad di bawh era kolonialisme. Adapun capaian konkretnya adalah dijadikannya ideologi pancasila sebagai sumber rujukan dan spirit nasionalisme kawasan dan memerdekakan banyak negara di kawasan Asia Afrika melalui konferensi Asia-Afrika,” ungkap dosen tetap Ilmu Politik UKI itu.

Berkaitan dengan nasionalisme dan demokrasi, Sidra mengacu pada seruan Bung Hatta bahwa, bangsa Indonesia telah diingatkan akan pentingnya kebangsaan (nationhood) ketika berhadapan dengan negara-negara lain. Kebangsaan adalah sesuatu yang berhubungan dengan perasaan terikat dengan suatu tanah air (homo country), suatu wilayah. Di dalamnya termasuk kesamaan nasib, pengalaman sejarah, tetapi bukan etnik, atama atau unsur primordialisme lainnya. Menurut Hatta, imbuhnya, inti kebangsaan (nasionalisme) adalah cinta tanah air. Selama masih ada penjajahan, selama itu pula diperlukan kebangsaan.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Resmikan Pemanfaatan Sumur Bor

“Karenanya bangsa Indonesia mesti cerdas membaca masa salu dan merefleksikan konsep nasionalisme yang dimaksud oleh Hatta. Kita pun mesti hati-hati memaknai konsep kewarganegaraan yang ada hubungannya dengan kekuatan bangsa. Dalam konteks hubungan internasional misalnya, Mohammad Hatta menyatakan bahwa kebangsaan berguna untuk menjadi anggota terhormat dalam hubungan antar bangsa; bangsa yang diperbudak atau dijajah, berdasakan norma hubungan antar negara, tidak dianggap sebagai anggota aktif dalam hubungan internasional,” jelasnya lagi.

Intinya, kebangsaan atau nasionalisme masih lebih utama dari pada internasionalisme. Secara konkret, Hatta merumuskan kebijakan luar negeri yang mengutamakan pentingnya mengatur nasibnya sendiri, “menyelematkan dahulu kebangsaan Indonesia dengan tenaga sendiri baru membangun paersaudaraan antar bangsa”. Jadi, bagi Sidra, beberapa pemikiran tersebut, menunjukkan bahwa konslidasi nasionalisme menjadi sangat utama dibandingkan yang lainnya. (Sulaiman/Red-02)

Related Posts

1 of 12