NUSANTARANEWS.CO, Bangkok – Sidang Parlemen Thailand bahas unjuk rasa yang berlarut-larut. Parlemen Thailand telah memulai sesi khusus untuk membahas ketegangan atas unjuk rasa politik, Senin (26/10). Saat Ketua DPR Chuan Leekpai memulai sidang, hanya 450 dari total 731 anggota kedua majelis yang menandatangani rapat.
Dalam sidang hari pertama tersebut, pemimpin oposisi meminta perdana menteri Thailand untuk berhenti menggunakan monarki untuk membenarkan cengkeramannya pada kekuasaan dan mengundurkan diri.
“Perdana menteri adalah penghalang dan beban utama negara. Mohon mundur dan semuanya akan berakhir dengan baik,” kata Sompong Amornvivat, pemimpin partai oposisi Pheu Thai.
Partai oposisi menuduh Prayuth mencoba menggunakan monarki untuk mempertahankan kekuasaan dengan merujuk kasus pencegatan iringan mobil raja saat terjadinya demo besar-besaran di Bangkok beberapa waktu waktu – yang kemudian digunakan pemerintah sebagai alasan untuk mengeluarkan “dekrit darurat”.
Para pengkritik Prayuth mengatakan bahwa itu adalah kesalahan pemerintah yang tidak merencanakan rute perjalanan Raja dengan aik, jangan salahkan para pengunjuk rasa, kata mereka.
“Ada upaya menggunakan iring-iringan kerajaan sebagai pemutar balikkan kebenaran dan membuat orang-orang saling membenci dan berkonfrontasi,” kata Anggota Parlemen Maju Suttawan Suban Na Ayuthaya. “Jangan bawa kerajaan ke dalam konflik ini,” tegasnya.
Sidang khusus dua hari itu berlangsung hingga Selasa (27/10). Para anggota parlemen membahas reaksi pemerintah terhadap berbagai unjuk rasa tersebut, termasuk dekrit darurat dan pemberantasan dengan kekerasan yang dilakukan oleh polisi di Bangkok. Namun pembahasan mengenai monarki tidak masuk dalam agenda.
Berbagai unjuk rasa antipemerintah yang dipimpin oleh generasi muda telah diadakan hampir setiap hari pada pekan-pekan belakangan yang menuntut pengunduran perdana menteri, membuat konstitusi baru, dan reformasi monarki. Sehingga pemerintah sempat memberlakukan dekrit darurat.
Pada hari Senin, ribuan pengunjuk rasa kembali berbaris melakukan aksi depan kedutaan Jerman di Bangkok untuk meminta penyelidikan terkait kegiatan raja Thailand selama tinggal di Jerman.
Meski mengkritik monarki dapat berarti hukuman penjara 15 tahun di Thailand, tapi gelombang protes yang terus berlanjut telah menghapus tabu tersebut.
Para pengunjuk rasa menuduh monarki membantu dominasi puluhan tahun kekuasaan militer. Mereka juga mengeluh tentang pengeluaran raja ke Eropa saat virus corona merebak dan menghantam ekonomi negara.
Krisis politik di Thailand ini juga telah menjadi tantangan tersendiri bagi Jerman. Menlu Jerman Heiko Maas mengatakan akan memantau ini semua. “Ini akan memiliki konsekuensi langsung jika ada hal-hal yang kami nilai illegal,” ujarnya. (Agus Setiawan)