Hukum

Siap Kawal Uji Materi di MK, BEM Soloraya Kompak Tolak Perppu KPK

Siap Kawal Uji Materi di MK, BEM Soloraya Kompak Tolak Perppu KPK
Siap Kawal Uji Materi di MK, BEM Soloraya Kompak Tolak Perppu KPK. (Foto: Muchlas Jaelani/NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Solo – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Soloraya menyesalkan aksi demonstrasi mahasiswa dan sejumlah pihak yang menolak revisi UU KPK yang sudah diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasalnya aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan kelompok anti korupsi cenderung disusupi penumpang gelap, yang mengakibatkan aksi menjadi rusuh dan anarkis.
Mereka mengaku bahwa jika memang tidak setuju terhadap sejumlah pasal dalam UU KPK, maka pendekatan yang dilakukan seharusnya harus berbasis kepada akademik dengan melakukan kajian secara komprehensif yang bersifat terbuka.

“UU KPK hasil revisi sebenarnya bisa menjadi diskursus akademik yang terbuka untuk dibedah. Tetapi, di tengah iklim birokrasi yang begitu terbuka, mahasiswa justru memilih menggelar demonstrasi. Dengan massa yang besar, unjuk rasa ini kerap bergesekan dengan penunggang gelap’. Ini terlihat dari sejumlah aksi mahasiswa yang sering diprovokasi hingga berakhir rusuh dan anarkis,” kata Koordinator Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Soloraya, Mohammad Arief Oksya dalam keterangan resminya kepada redaksi, Kamis, (14/11/2019).

Baca Juga:  Diduga Korupsi Danah Hibah BUMN, Wilson Lalengke: Bubarkan PWI Peternak Koruptor

Ia menegaskan pihaknya sama sekali sekali tidak menolak aksi demo. Sebab hal itu sudah dijamis oleh Konstitusi sebagai sarana untuk menyampaikan pendapat.

“Hingga sekarang, melalui demonstrasi, sejumlah mahasiswa menuntut Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) demi membatalkan UU KPK hasil revisi,” katanya.

“Pada sisi yang lain, seolah-olah demonstrasi adalah ‘oktagon’ perang antara mahasiswa versus aparat! Akhirnya, yang terjadi justru negara dan polisi adalah common enemy (musuh bersama, red) yang harus terus diperangi,” tegas dia.

Arief mengatakan bahwa sampai saat ini pihaknya melihat masih belum diperlukan untuk menerbitkan Perppu KPK. Arief beralasan, pertama, tidak ada ‘ihwal kegentingan memaksa’ sebagaimana tertuang dalam Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945.

Sebagaimana diketahui, parameter kegentingan memaksa dijelaskan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009, yakni (1) adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; (2) undang-undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; dan (3) kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena memerlukan waktu yang lama.

Baca Juga:  Polres Pamekasan Sukses Kembalikan 15 Sepeda Motor Curian kepada Pemiliknya: Respons Cepat dalam Penanganan Kasus Curanmor

“Frasa ihwal kegentingan yang memaksa’ inilah yang terus diperdebatkan hingga kini. pasalnya, frasa tersebut memiliki tolok ukur yang berbeda dan bersifat kasuistis: tidak semua kasus lantas dapat disebut kegentingan yang memaksa,” jelas Arief.

Kedua, Arief khawatir desakan menerbitkan Perppu KPK, terutama oleh aksi mahasiswa di jalan, dikhawatirkan justru hanya menjadi narasi yang berujung saling membenturkan lembaga negara. Sehingga, akibatnya, terjadi kegaduhan politik yang berpotensi memecah kaharmonisan publik secara umum.

“Tentu, kami bukan bermaksud mengucilkan aksi demonstrasi, tetapi sejauh pengalaman beberapa waktu terakhir, demonstrasi justru hanya menghadirkan kegaduhan publik tanpa mengubah policy dan kebijakan,” kata Arief.

Siap Kawal Uji Materi di MK
Menurut Arief, seandainya Presiden Joko Widodo harus menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU KPK baru, prosedur konstitusinya tetap harus melalui persetujuan DPR untuk mengundangkan Perppu.

“Dinamika politik di parlemen, bila mengacu pada atmosfer kepentingan kolektif periode ini, kemungkinan besar akan juga menolak Perppu. Lalu, ketika Perppu diterbitkan tapi ditolak DPR, akankan gelombang protes akan kembali mengalir dengan tuntutan yang berulang-ulang dari mahasiswa?,” katanya.

Baca Juga:  Kegiatan Forum Humas BUMN Membuat Perpecahan PWI atas UKW Liar

“Karena itu, solusi paling arif dan konstitusional adalah mengawal jalur judicial review di Mahkamah Konstitusi. Karena ini menjadi jalur satu-satunya yang digaransi melalui status hukum final. Mekanisme ini akan membuktikan bahwa Indonesia adalah negara dengan rule model demokrasi yang dewasa dengan hukum sebagai marwah utama bangsa,” sambung dia.

DIa menegaskan, BEM Soloraya merekomendasikan tiga poin menyikapi soal desakan menerbitkan Perppu KPK kepada Presiden Jokowi. Pertama, Berpegang teguh pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan tetap menjaga ketertiban umum serta kesatuan dan persatuan Indonesia,
Kedua, merkomitmen menolak segala tindakan inkonstitusional dan gerakan aksi anarkis yang merusak fasilitas dan dan harmoni publik.

“Ketiga, mengajak dan mengimbau mahasiswa Soloraya untuk mengikuti mekanisme hukum yang digaransi undang-undang dalam mengawal Judicial Review UU KPK di Mahkamah Konstitusi,” tandas Arief.

Pewarta: Muchlas Jaelani

Related Posts

1 of 3,060