Kolom

Si Upil dan Songkok Gus Dur

~Catatan kecil santri yang pingin tobat tapi masih takut!

Siapa yang tak mengenal sosok Gus Dur? Banyak orang percaya bahwa ia adalah Semar milik bangsa Indonesia. Gus Dur dicintai semua kalangan, mulai “raja-raja” hingga wong cilik. Kebesarannya lekat bagi warga Nahdliyyin, lintas golongan, generasi bahkan iman. Ia raja sekaligus jelata. Guru bangsa, praktisi politik, budayawan dan sosok nyentrik yang tak pernah kering dari guyonan.

Gus Dur tak hanya menginspirasi banyak orang semasa hidupnya. Sepeninggalnya, jejak laku dan pikirnya terus dan justru semakin memberi pelajaran berharga bagi bangsa ini. Banyak juga yang meyakini dirinya adalah wali. Sosoknya utuh, bahkan secara figuratif, memiliki kekhasan dan keunikan estetis. Itu terlihat setidaknya dari sosok Gus Dur yang tak pernah lekang diekspresikan oleh banyak seniman baik melalui puisi, patung maupun lukisan sebagai sebuah kutub inspirasi kemanusiaan.

Sosok Gus Dur yang sederhana, tepat dan efisien memancarkan tafsir yang tak seragam. Sosoknya yang kontroversial dan nyentrik berlawanan dengan cara berpakaiannya yang simple, bahkan selengean. Jarang memakai sepatu dan yang paling populer adalah songkok Karanjinya, tentu saja selain“kolor” sedengkul kala ia dimakzulkan dari kursi kepresidenan.

Suatu ketika beberapa kawan kerap mengidentikkan kopiah Karanji yang saya pakai dengan kecintaan terhadap Gus Dur, terbersit rasa ganjil dan aneh. Barangkali karena saya tak ingin men-dompleng kebesaran Gus Dur, apalagi bila kopiah Karanji tersebut, baik secara langsung atau tidak, dimaknai merepresentasikan pemahaman akan jalan pemikiran atau laku kebudayaan Gus Dur.

Kencur seperti saya tentu tak pernah mengenal Gus Dur. Jangankan secara personal, tulisannya yang berserakan saja belum tuntas saya baca. Alih-laih menjadi, katakanlah “Gusdurian”, sebagai epigon apalagi! Tak sampai hati rasanya bila saya merasa atau mengaku mencintai Gus Dur.

Mengapa pilihan saya jatuh pada kopiah Karanji sebenarnya cukup sederhana. Selain menutupi kerontokan rambut yang dulunya gondrong dan kini tampak mengenaskan, kopiah tersebut sangat enak dipakai karena memiliki sirkulasi udara yang dapat diandalkan. Fungsi praktis ini saya dapatkan ketika terinspirasi oleh outfit salah satu kiai pada suatu kesempatan tahlilan di kampung.

***

Apa yang menarik dari sosok Gus Dur bukanlah karena ia tokoh kaliber internasional yang diakui di barat maupun di timur, akan tetapi justru karena sosoknya yang walau sibuk dengan urusan negara, ia tetaplah kiai kampungan. Pemikirannya menembus batas pusat dan pinggiran, mudah dicerna tapi sarat bobot intelektualitas. Kualitasnya sebagai pemikir, budayawan, negarawan maupun pimpinan ormas sangat luwes dan bagi saya pribadi, sangatlah khas kampung.

Baca Juga:  Membanggakan, Pemkab Pamekasan Kembali Raih Anugrah Adipura Tahun 2023

Ada sebuah cerita singkat yang mengingatkan saya pada sisi Gus Dur yang satu ini. Pada suatu kesempatan, kiai saya di kampung memanggil dan meminta saya terlibat dalam kepengurusan Jatman NU (Pamekasan). Dalam forum di tengah para kiai kampung itu, saya tidak bisa menyembunyikan kekagetan dan mengutarakan keberatan, toh saya cuma lah santri mbelgedes. Namun begitu, kiai saya lantas dawuh:

“Kamu tahu mbahmu siapa?”

“Tidak, Yai”, jawab saya singkat. Kebetulan mbah yang dimaksud meninggal dunia saat saya masih orok.

“Mbahmu itu kuli bangunan, mbahmu itu yang bangun masjid ini,” tambah beliau sembari menunjuk ke arah masjid.

“Injih, Yai” sambut saya. “Mbahmu istiqamah sekali membangun masjid ini, sampai abah (ayah kiai saya) ndak enak hati (baca: kasihan) dan suatu saat memberi uang tak seberapa (sekitar Rp 50) agar ia membeli sarung. Walau pada mulanya menolak, berangkatlah mbahmu itu ke pasar. Di tengah perjalanan ia ragu karena keterbatasan uang sedang di angan-angan, ia pingin beli dua sarung atau sekalian uang itu akan digunakan untuk hal lain.”

“Lalu secara tiba-tiba, ia didekati seseorang yang tak dikenal dan menyodorinya segenggam uang lalu berkata “Ini buat tambahan beli sarungmu!” Alhamdulillah cukup membeli dua sarung! “

“Nah, itu, yakin saja, Allah mencukupi!” Tegas beliau. Beberapa kiai lain tampak manggut-manggut, saya pun akhirnya ikutan manggut menutupi mata yang terasa ingin berkaca-kaca.

Apa yang patut dicatat adalah betapa pandai nan cerdik kiai saya tersebut membuat saya tak bisa menolak permintaannya. Kontruksi cerita yang dibangunnya—yang masih saya ragukan fiktif tidaknya—membuat perasaan saya campur-aduk dan bersamaan dengan itu, keinginan untuk mengabdi menjadi bergelora.

Cara khas seperti ini juga dilakukan Gus Dur, misalnya, dalam suatu kesempatan ceramah di Madura. Ketika itu beliau bercerita bahwa garis kekerabatannya masih bertemu dengan Joko Tingkir (yang pusaranya berada di Pamekasan) dengan penjelasan silsilah yang tak mampu saya hafal. Bagi awam, tak mungkin menelusuri kebenaran tersebut secara secara historis, namun apa yang paling penting adalah bahwa dengan pernyataan tersebut, persatuan dan ikatan kultural terjalin erat.

Baca Juga:  Safari Ramadhan, Pj Bupati Pamekasan Shalat Tarawih Bersama Masyarakat di Kecamatan Tlanakan

Itulah kiai kampung, agen kebudayaan sejati. Ajarannya jauh dari njelimet dan tidak membuat kita mengernyitkan dahi. Lebih-lebih dan ujug-ujug, juga yang terpenting, membuat kita tidak mendadak ingin membuat negara baru!

***

Cerita lain muncul dalam suatu obrolan dengan seorang kiai kampung lain, sebut saja namanya Kiai Mansuhana. Ketika obrolan kami sampai tentang Gus Dur, beliau menceritakan empat rentetan mimpinya perihal Gus Dur. Tiga mimpi pertama datang ketika Gus Dur masih hidup, dan satu mimpi terakhir setelah Gus Dur wafat.

Rentetan mimpi bermula dari adegan ketika Kiai Mansuhana diperkenalkan dengan Gus Dur oleh mendiang mbahnya, Nyai Rabah. Di mimpi selanjutnya, Gus Dur tampak di sebuah forum besar dengan ribuan orang. Kiai Mansuhana yang dalam mimipinya merasa turun dari podium dipanggil oleh Gus Dur untuk kembali ke panggung. Di situ Gus Dur berkata: “Sini, Kamu, duduk dekat saya. Saya sudah bilang agar tidak jauh dari saya. Mana songkokmu? Sini saya ambil dan ini, ambillah songkok saya (songkok khas Gus Dur) untuk kamu,” seraya memakaikan songkok miliknya ke kepala Kiai Mansuhana.

Dalam mimpi yang lain, Kiai Mansuhana memijat kaki Gus Dur yang hanya memakai kaus dalam dan celana pendek. Melihat wajah Gus Dur yang tampak lesu, Kiai Mansuhana memberanikan diri bertanya: “Kenapa dengan Panjenengan, Gus? Kok sepertinya tampak lesu? Gus Dur kemudian menjawab, “saya capek dan ruwet mikirin negara!”

Selanjutnya di mimpi terakhir, Kiai Mansuhana merasa dirinya tengah sowan ke ndalem Gus Dur. Pada kesempatan tersebut Gus Dur dawuh: “Tolong buku-bukuku yang ada di perpustakaan pondok itu dirawat ya”. Beberapa hari berselang setelah mimpi tersebut, Kiai Mansuhana mendatangi perpustakaan yang dimaksud dan menemukan buku-buku Gus Dur berantakan. Sebagian bahkan dimakan rayap. Ia pun merapikannya.

Lepas dari apa hakikat mimpi-mimpi tersebut, apa yang bisa kita insyafi adalah bahwa Gus Dur adalah ‘milik’ semua orang. Ia menginspirasi kita bahkan ketika raganya telah wafat. Intelektualitasnya menjebol sekat dan batas lalu menjelma kearifan bagi orang-orang kota maupun pelosok desa, bagi yang jelas-jelas tergabung dalam Gusdurian atau pun yang bahkan belum pernah mendengar nama komunitas pecinta Gus Dur tersebut.

Baca Juga:  13 Personel Polres Pamekasan Diberi Penghargaan atas Pengungkapan Kasus Narkoba Seberat 498,88 Gram

Itu sebabnya, di luar kebesaran Gus Dur, sebagaimana banyak tokoh-tokoh lain yang melegenda, citranya jauh lebih besar dari pengkhidmatan atasnya. Hal ini terasa wajar, misalnya, ketika kita tahu bahwa banyak dari kita lebih betah tinggal dalam citra dari pada kenyataan itu sendiri. Sebuah citra itulah yang kemudian menciptakan wilayah seakan-akan; seakan-akan pintar, seakan-akan besar, seakan berkuasa dan sekan-akan lainnya.

*** Kopiah Gus Dur adalah bagian dari simbol dan kemuliaan sosoknya. Karenanya, kita hendaknya tidak dengan enteng menyematkatnnya sebagai katakanlah atribut pecinta Gus Dur, lebih-lebih pada ikan teri seperti saya yang doyan dunyo dan labil. Kopiah tersebut cumalah kopiah kecuali Gus Dur yang memakainya. Lebih-lebih, apalah arti setiap domplengan pada sosoknya, toh seperti yang sering diucapkan Gus Dur, sejarah yang akan membuktikan. Domplengan sebesar dan sekecil apapun akan terhempas layaknya upil yang kesentil.

*** Gus Dur telah meninggalkan banyak rumusan bagi kita sebagai bekal. Harlah NU ke 92 kian dekat, seantero nusantara akan gegap gempita menyambutnya. Tiap orang memiliki penghayatan sendiri (bahkan kepentingan sendiri) terhadap organisasi besar dengan sejarah maupun dinamika yang demikian panjang ini. Di tengah berlangsungnya “gagap gempita” tersebut, NU juga menghadapi tantangan nyata dengan tumbuh kembangnya radikalisasi atas nama agama dan kekendoran liberalistik di sisi lain.

Di luar agenda-agenda besar semacam melawan radikalisasi agama, menjaga keutuhan NKRI, atau mungkin mengampanyekan pluralisme dan multikulturalisme—di mana Gus Dur sebagai ikon—patut kiranya mempertimbangkan suara sporadik dari kampung dan pelosok sebagai suatu “alarm bersama”—meminjam bahasa Kang Binhad Nurrohmat.

Bagi santri kampung seperti saya, simple saja. NU adalah NU yang sakral. NU yang lepas dari heboh dan catur politik nasional, dari seret-seretan kepentingan sesaat dan dari menyerang kelompok lain dengan caci maki yang lebih dahsyat. NU Anteng jumenneng menghadapi dinamika yang saat ini barangkali sedang kalang kabut.

Pada itu semua, seperti jalan menuju tuhan, pertama-pertama ia adalah jalan kesalikan dan penghayatan personal, sebelum meluas menjadi titik balik bersama.

Wallahu A’lam.

Penulis: Hamdani, (Budayawan tinggal di Pamekasan. Mengelola Yayasan Paddhang Bulan yang bergerak di bidang kajian budaya dan tradisi.)

Related Posts

1 of 19