Cerpen

Si Penembak Jitu, Cerpen Anas S Malo

penembak jitu, si penembak, cerpen, anas s malo, kumpulan cerpen, cerpen indonesia, nusantaranews
Marine sniper – Si Penembak Jitu. (Foto: Ilustrasi/Twitter)

Si Penembak Jitu, Cerpen Anas S Malo

Dua hari yang lalu, beberapa satgas dari kepolisian menemukan dua peluru designated marksman dalam kasus pembunuhan Profesor X. Peluru itu, biasa digunakan Si Penembak Jitu untuk membunuh korban-korbannya. Aku semakin yakin, jika ia yang membunuh Profesor X. Si Penembak Jitu adalah pembunuh bayaran yang khusus untuk membunuh elite-elite negara.

Simpang siur pembunuhan Profesor X masih menjadi misteri khalayak umum. Aku belum bisa mendakwa siapa pelaku pembunuhan itu, karena belum ada bukti yang kuat. Tapi, aku yakin ini ulah Si Penembakan Jitu.

“Tidak salah lagi, ini pasti ulah penembak jitu,” tegasku.

“Aku juga sependapat denganmu, tapi kita tidak bisa menuduh tanpa barang bukti yang kuat. Bisa saja, pembunuhan itu berusaha memfitnah si penembak jitu dengan menggunakan sniper jenis yang sama,” ucap Anton.

Ada dua peluru yang tertanam di kepala bagian belakang Profesor X. Polisi terus mengusut kasus pembunuhan ini. Beberapa area di pagari dengan pembatas polisi. Sementara petugas otopsi masih memeriksa beberapa bagian tubuh jenazah. Anjing pelacak terus dikerahkan untuk membongkar kasus pembunuhan ini.

Profesor X dibunuh di lokasi taman kota. Diduga, ia ditembak di atas gedung tinggi pusat perusahaan tambang di belakang taman. Jenazah akan dibawa ke rumah sakit untuk diotopsi. Suara sirene terdengar melengking. Mobil-mobil polisi diparkir di depan taman, dekat air mancur. Penyidikan terus diupayakan untuk segera mengamankan pembunuh Profesor X.

Dugaanku selalu tertuju pada Si Penembak Jitu. Ia begitu misterius dan seperti hantu yang sulit untuk ditangkap. Sudah beberapa kali pejabat-pejabat pemerintahan berhasil ia tewaskan. Bertahun-tahun aku mengejarnya. Ia pandai menyamar. Ia juga pandai berpindah-pindah tempat. Keahlian menembaknya tak perlu diragukan lagi, bahkan, ia mampu menembak dengan hanya satu peluru untuk menembus tepat di kepala burung gereja yang sedang terbang. Ini sungguh keahlian yang tidak bisa dimiliki oleh kebanyakan orang, bahkan mungkin hanya ia saja yang memiliki kemampuan seperti itu di dunia ini.

Kini, para pejabat negara mulai mencemaskan keselamatan diri dan kelompoknya. Mereka menuduh pihak oposisilah dalang dari semua ini.

Langit ibu kota semakin membiru. Gedung-gedung terlihat kokoh. Lalu lintas tak terlalu ramai. Lalu lalang para pejalan kaki terlihat seperti semut yang berjalan. Anton meminum kopinya yang masih hangat.

“Apa rencana kita selanjutnya?” ia membuka percakapan.

“Kita memecahkan misteri pembunuhan Profesor X,” ucapku. Seorang lelaki tua menguping pembicaraan kami. Ia menghampiri kami. Ditaksir umurnya sudah 60 tahunan.

“Sebenarnya ada saksi mata pembunuhan itu, tapi ia sudah tewas dibunuh orang tak dikenal. Ia adalah putraku sendiri. Untuk mengungkap pembunuhan itu, maka anakku harus dihidupkan kembali,” ucap lelaki tua itu. Anton tertawa terbahak-bahak, seperti mustahil. Lelaki tua itu berdehem. Raut wajahnya mengisyaratkan tidak suka.

“Maksudmu? Bagaimana mungkin orang sudah mati bersaksi? Kau jangan main-main dengan petugas kepolisian,” ucapku.

“Aku sama sekali mempermainkan kalian. Aku bisa menghidupkan putraku kembali, jika diperlukan. Aku yakin, anakku sudah bahagia di alam sana, tapi kalau memang kalian membutuhkan kesaksiannya, maka dengan terpaksa aku akan menghidupkan kembali putraku itu,” jawab lelaki tua itu.

“Bagaimana caranya?” tanya Anton.

“Mari ikut aku.”

Kami diajak lelaki tua itu ke sebuah tempat yang jauh dari pusat kota. Sebuah vila kecil dengan dikelilingi bukit-bukit yang mempunyai ketinggalan di atas 200 meter. Sebuah vila terpencil dengan menggunakan pembangkit listrik tenaga air untuk penerangan dan hal-hal lain.

Ada sebuah sungai yang bernama Sungai Hendegran yang selalu menjadi dongeng ketika menjelang tidurku saat ayah mendongeng. Air terjun cukup deras dan cukup membuatku menggigil. Pohon-pohon pinus berderet rapi. Aku yakin, setiap orang akan terpesona dengan keindahan alam yang luar biasa seperti tempat ini.

Kami diajak ke sebuah laboratorium pribadinya. Beberapa alat laboratorium tertata dengan rapi. Ia membuka bungkusan berwarna hitam. Ia mengeluarkan tabung reaksi dari bungkusan itu. Ada cairan berwarna hijau cerah.
“Apa itu?”

“Ini adalah cairan yang bisa pembangkit arwah. Aku hanya bisa membangkitkan arwah putraku saja, itu pun hanya bisa berlangsung tak lama, hanya sekitar belasan menit, selebihnya ia akan kembali seperti mayat pada umumnya— menjadi mayat yang mati.”

“Baiklah, lakukan tugasmu,” ucapku.

***

Setelah Profesor X merampungkan proyek besarnya, ia semakin disegani oleh petinggi-petinggi negara. Ia telah menciptakan senjata yang setara dengan nuklir artileri. Apabila senjata itu ditembakkan ke gedung, maka gedung itu akan hancur berkeping-keping, bahkan diperkirakan ledakkannya mampu menghancurkan gunung sekalipun. Tetapi sebelum Profesor X memberi tahu, cara menggunakannya, ia keburu tewas.

Yang lebihnya parah lagi, perpustakaan pribadinya terbakar. Lebih dari dua ribu buku hangus tak terselamatkan. Diduga, ini bukan kecelakaan, melainkan sengaja dibakar. Beberapa tesis dan disertasi, jurnal ilmiah dan jurnal internasional hangus dilalap api.

Aku teringat peristiwa pembakaran perpustakaan setelah aku membaca buku karya Fernando Baez berjudul Penghancuran Buku dari Masa ke Masa. Pada abad ke 5 ketika perpustakaan Ulpia dan perpustakaan Alexandria yang melahirkan peradaban ilmu kekaisaran Roma tersebut diluluhlantakkan.

Alat-alat laboratorium yang tak aku kenal mulai gunakan. Lelaki tua itu kemudian membuka sebuah lemari. Ada sebuah peti berwarna hitam dalam posisi berdiri. Aku membantunya meletakkan peti itu. Lalu mengangkatnya bersama untuk diletakkan ke dipan laboratorium. Ia membuka peti itu. Di dalam peti itu terdapat sebuah mayat putranya. Ia mengawetkan mayat putranya yang baru beberapa hari tewas— dibunuh orang yang tak dikenal.

Anton di belakangku. Sementara lelaki itu mulai menyambungkan beberapa kabel kecil untuk disalurkan ke dada dan kepala putranya. Kami menunggu proses itu. Beberapa saat, belum ada tanda-tanda kehidupan. Kami menunggu hampir tiga jam, jenazah itu mulai ada tanda-tanda kehidupan. Jari-jarinya mulai bergerak. Kami tertegun, khususnya Anton, ia seperti tidak percaya dengan apa yang terjadi dilihatnya.

Akhirnya mayat itu hidup kembali. Ini sebuah keajaiban yang belum pernah aku temui sepanjang hidupku. Perlahan, mayat itu bersaksi kasus pembunuhan Profesor X. Aku terkejut ketika mayat hidup itu jarinya menunjuk ke arah Anton.

“Dialah pembunuhan Profesor X. Aku melihat dengan kepalaku sendiri, dia yang menembak mati Profesor X. Saat itu Profesor X berada di taman di depan gedung. Dia menembaknya dari lantai empat, saat itu aku berada di sana. Dialah Si Penembak Jitu. Dia penghianat. ” ucap mayat itu.

“Bohong. Apa buktinya!” Anton geram.

Belum sempat mengucapkan sesuatu, mayat itu terus diberondong peluru. Anton juga menghabisi lelaki tua itu. Aku semakin percaya dengan apa yang dikatakan mayat putra lelaki tua itu, bahwa selama ini yang menjadi aktor dari kasus pembunuhan berantai itu adalah Anton. Keyakinanku semakin sempurna, karena ia juga membunuh lelaki tua yang menjadi satu-satunya orang yang mengetahui hal ini. Aku segera menodongkan pistol di kepalanya.

“Ternyata kau yang selama ini menjadi biang kerok dari huru-hara ini. Dasar pengkhianat!” Ia mencoba melawan dengan memutar badannya secepatnya kilat. Sekarang aku dan Anton berhadapan-hadapan, sama-sama memegang pistol yang siap untuk dilepaskan.

Aku mundur dengan pelan— berhati-hati. Aku segera berlindung di balik tembok. Baku tembak tak terhindarkan. Kini, aku berhadapan dengan Si Penembak Jitu. Dia sangat bernafsu ingin membunuhku. Beberapa peluru hampir mengenaiku. Beberapa pecahan-pecahan kaca dan beberapa tabung reaksi, erlenmeyer hancur berantakan. Aku berusaha keluar dari ruangan laboratorium dan mencoba untuk menjauh dari si penembak jitu. Sungguh dia lebih unggul dariku. Aku tidak bisa mengalahkannya hari ini. Butuh siasat yang jitu untuk mengalahkannya. Aku baru menyadari, bahwa pengkhianat begitu sulit untuk dihilangkan.

 

 

 

Anas S Malo, lahir di Bojonegoro, studi di Universitas Nahdhlatul Ulama Yogyakarta. Karya-karyanya sudah tersiar di media lokal maupun nasional

Related Posts

1 of 3,079