Berita UtamaHukumKolomPolitik

Setya Novanto, Ingatan Retak, dan Drama Skandal e-KTP

NUSANTARANEWS.CO – Korupsi sebagai perilaku tercela bagi setiap orang nampaknya mengalami degradasi makna. Korupsi yang dalam sejarahnya mesti ditimpali dengan hukuman yang pantas, kini menjadi bahan drama di panggung media massa. Alurnya dimulai dengan cerita dramatis, gaduh, riuh, dan menegangkan.

Publik pembaca pun terpicu untuk mengikuti alur ceritanya. Namun, tidak semua drama korupsi ini mencapai titik klimaks alias senyap tanpa kepastian hukum. Uniknya, penonton tak kecewa. Sebab mereka tahu, sebagian kasus korupsi akan berakhir dengan damai-damai saja.

Barangkali, drama uang haram ini tengah dialami oleh salah satu “orang berpengaruh” (di partai dan penganutnya sendiri) yakni Setya Novanto (Setnov) yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Spektakuler! Sosok yang identik dengan “Papa Minta Saham” ini rupanya bisa menjadi pemimpin yang dinilai bersih dan bijaksana.

Drama “Papa Minta Saham” hanya salah satu cerita picisan penuh bualan dan gombal. Di mana kini, Setnov dipopulerkan lagi dengan mencuatnya kasus uang haram e-KTP yang senyatanya sudah pernah digulirkan tiga tahun silam.

Simak: Setnov Bantah Terima Uang Rp150 Miliar dari Si Pengatur Tender Proyek E-KTP

Namun jauh sebelumnya, Setnov telah sukses dengan kisah-kisah besutannya yang lihai dan ‘aduhai’ lincahnya. Kisah-kisah itu telah menjadi ingatan retak atau antologi prosa kehidupan dengan topik uang haram plus skandalnya dalam perjalanan Setnov.

Setnov memulai debut akting uang haramnya pada tahun 1999, yaitu kasus pengalihan hak tagih Bank Bali. Waktu itu, muncul babakan peristiwa perihal pengalihan hak piutang (cassie) PT Bank Bali kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang diduga merugikan negara Rp 904,64 miliar. Kasus ini meletup setelah Bank Bali mentransfer Rp 500 miliar lebih kepada PT Era Giat Prima, milik Setnov, Djoko S. Tjandra, dan Cahyadi Kumala.

Baca Juga:  Identitas Siswa, Pemberlakuan Seragam Baru Siswa Sekolah Banjir Dukungan

Empat tahun kemudian, kasus tersebut mendapatkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dari kejaksaan, tepatnya pada 18 Juni 2003. Pada tahun yang sama, Setnov tersandung kasus penyelundupan beras dari Vietnam sebanyak 60 ribu ton.

Perihal kasus ini, Setnov bersama rekannya di Golkar, Idrus Marham, diduga sengaja memindahkan 60 ribu ton beras yang diimpor Inkud, dan menyebabkan kerugian negara Rp 122,5 miliar. Keduanya dilaporkan pada Februari-Desember 2003 telah memindahkan dari gudang pabean ke gudang nonpabean. Padahal bea masuk dan pajak beras itu belum dibayar. Arah cerita ini, mencapai puncaknya pada tanggal 27 Juli 2006. Di mana Setnov diperiksa oleh Kejasaan Agung, ya hanya diperiksa oleh Kejagung.

Baca: Jaksa KPK Akan Hadirkan 133 Saksi di Sidang e-KTP Termasuk Setnov

Tahun 2006, Setnov juga melibatkan diri dalam cerita kasus penyelundupan limbah beracun (B-3) di Pulau Galang, Batam. Kabarnya, Setnov disebut-sebut berperan sebagai negosiator dengan eksportir limbah di Singapura. Kemana kisah ini berakhir? Publik mencari-cari dan sekejap lupa karena sibuk dengan kasus seksi lainnya.

Enam tahun berlalu, Setnov kembali hadir dengan kasus korupsi proyek PON Riau 2012. Setnov diduga mempunyai peran penting dalam mengatur aliran dana ke anggota Komisi Olahraga DPR untuk memuluskan pencairan anggaran PON di anggaran pendapatan dan belanja negara. Ia pun pernah diperiksa KPK pada 29 Juni 2012 sebagai saksi, karena pernah ditemui Gubernur Riau Rusli Zainal untuk membahas PON Riau. Ya, Setnov hanya menjadi saksi. Dan Setnov kembali berbisnis dan berpolitik setelah dimintai keterangan.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Selanjutnya, pada 19 Agustus 2013, Setnov kebali diperiksa untuk tersangka Rusli Zainal. Rusli waktu itu sudah ditetapkan sebagai tersangka, dalam kasus perubahan peraturan daerah untuk penganggaran PON. Dalam pengakuannya, Setnov membantah semua tuduhan dan mengaku tak tahu soal kasus PON.

Kebetulan atau sudah takdirnya, hanya Setnov yang tahu. Karena yang pasti, pada tahun 2013 pula, Setnov keserimpung lagi langkahnya oleh kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP. Ketika itu, nama Setnov disebut terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan paket penerapan e-KTP di Kementerian Dalam Negeri.

Seperti diketahui, hulu informasinya adalah mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang berani menyebut Setnov dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, sebagai pengendali proyek e-KTP. Bahkan, Nazaruddin menuding Setnov yang membagi-bagi fee proyek e-KTP ke sejumlah anggota DPR, khususnya di komisi II.

Simak: Heboh! Ini Daftar Nama dan Jumlah Nominal Dakwaan Penerima Korupsi e-KTP

Setnov pun dituduh meminta fee 10 persen ke Paulus, pemilik Tannos PT Sandipala Arthaputra yang merupakan anggota konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia, yang memenangi tender proyek e-KTP. Pertemuan berlangsung tiga kali di Jakarta. Mendapat tuduhan itu, Setnov langsung membantahnya. “Saya enggak ikut-ikutan,” ujar Setya kepada Tempo, April 2013 silam.

Kini, setelah tiga tahun berjalan, kasus megakorupsi e-KTP yang merugikan uang negara 2,3 triliun mencuat lagi ke permukaan. Kasus yang menyeret nama-nama besar, selain Setnov seperti Yasonna Laoly dari Fraksi PDIP yang kini Menteri Hukum dan HAM, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dari Fraksi PDIP, mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat Anas Urbaningrum, eks Ketua Komisi II DPR Fraksi Golkar Chairuman Harahap, dan eks Ketua DPR Ade Komaruddin.

Baca Juga:  Ahli Waris Tanah RSPON Kirim Surat Terbuka ke AHY 

Nama-nama politisi kondang tersebut nyaris semuanya membantah segala tuduhan dan tudingan yang sudah menjadi konsumsi publik dan tengah dalam proses pengerjaan di KPK. Puluhan nama-nama lainnya pun turut membantah. Kendati partai-partai nampak ketar-ketir oleh melambungnya kasus proyek e-KTP ini. Lantas bagaimana dengan Setnov? Sebagaimana yang lalu-lalu, Setnov pasti memiliki jawaban yang cerdas.

Nah, Mantan Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR periode 2009-2014 itu mengungkapkan bahwa tidak benar Partai Golkar menerima uang hasil korupsi proyek pengadaan E-KTP sebesar Rp150 miliar dari seorang pengusaha yang disebut-sebut sebagai pengatur pemenang tender, yakni Andi Agustinus alias Andi Narogong.

Setnov mengungkapkan bahwa dirinya tidak pernah dijanjikan akan diberi uang oleh Andi Narogong tersebut. “Nggak benar (terima uang). Akan. Kalau akan itu pernah atau enggak?,” ungkapnya di saat akan memasuki mobil di Lobi Gedung Nusantara III DPR/MPR RI, Jakarta, Rabu (08/03/2017.

Akan tetapi, saat telah berada di mobilnya, Setnov kemudian menghubungi wartawan melalui sambungan telepon untuk mengklarifikasi ucapan sebelumnya tentang aliran dana Rp150 miliar tersebut. “Mengenai dakwaan akan menerima Rp150 miliar, kami tidak pernah menerima. Gak usah akan, bicarapun tidak pernah,” kata Setnov menegaskan.

Penasaran bagaimana endingnya? Jika polanya seperti sinetron Indonesia, tentu bisa ditebak akan berakhir seperti apa. Tapi, alangkah baiknya jika ditunggu saja sesuai dengan proses hukum yang sedang berlangsung. (rep/rsk/dn)

Penulis: Achmad Sulaiman

Related Posts

1 of 101