HukumPolitik

Setara Institute Nilai Slogan #2019GantiPresiden Tidak Mencerdaskan

Ribuan Massa Relawan #2019GantiPresiden
Ribuan Massa Relawan #2019GantiPresiden. (Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Gerakan #2019GantiPresiden merupakan aspirasi politik warga negara yang disuarakan di ruang-ruang terbuka yang ditujukan untuk mempengaruhi pilihan warga negara pada kontestasi politik pemilihan presiden 2019.

Secara normatif, aspirasi tersebut merupakan hal biasa saja, bahkan penyampaiannya di muka umum merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi, karena UUD Negara RI 1945 menjamin kebebasan berpendapat dan berkumpul.

Ketua Setara Institute Hendardi menilai pelarangan yang berlebihan atas aksi tersebut pada batas-batas tertentu bertentangan dengan semangat konstitusi dan demokrasi.

Baca juga: Pengamat: Aparat Keamanan Sudah Benar Menolak Kegiatan Gerakan #2019GantiPresiden

“Secara operasional hak untuk bebas berpendapat dan berkumpul dijamin dalam UU 39/1999 tentang HAM dan UU 9/1998 tentang Tata Cara Mengemukakan Pendapat di Muka Umum,” kata Hendardi, Jakarta, Senin (17/8/2018).

Namun demikian, kata dia, mengingat kebebasan berpendapat dan berkumpul merupakan hak yang bisa ditunda pemenuhannya (derogable rights), maka tindakan aparat keamanan yang melarang beberapa acara tersebut dapat dibenarkan, jika betul-betul terdapat alasan obyektif yang membenarkannya.

Baca Juga:  Komplotan Oknum Koruptor di PWI Segera Dilaporkan ke APH, Wilson Lalengke Minta Hendry dan Sayid Dicekal

Baca juga: Soal Gerakan #2019GantiPresiden, Peluang Terbuka untuk Polisi Bersikap Adil dan Netral

Alasan-alasan obyektif dimaksud dapat berupa potensi instabilitas keamanan, potensi pelanggaran hukum, baik dalam terkait konten kampanye yang oleh beberapa pakar bisa dikualifikasi makar, pelanggaran hukum pemilu, khususnya larangan penyebaran kebencian dan permusuhan, maupun dalam konteks waktu kampanye.

Menurutnya, penggunaan alasan-alasan tersebut merupakan hak subyektif institusi keamanan yang bertolak dari analisis situasi dan potensi destruktif lainnya dan dibenarkan oleh UU 9/1998 dan peraturan turunannya.

Baca juga: Kampanye #2019GantiPresiden Lebih Populer Dibandingkan Pamor Jokowi

Sebagai hak subyektif, jika masyarakat tidak menerima langkah pembatalan, maka bisa mempersoalkannya melalui mekanisme hukum. Polisi, dengan bekal sejumlah regulasi seperti UU 9/1998, Peraturan Pemerintah No. 60/2017 tentang Tata Cara Perizinan dan Pengawasan Kegiatan Keramaian Umum, Kegiatan Masyarakat Lainnya, dan Pemberitahuan Kegiatan Politik, dan sejumlah aturan lain, memiliki kewenangan melakukan pembatalan suatu kegiatan.

“Untuk menjaga akuntabilitas kerja, aparat keamanan harus menyampaikan alasan-alasan pembatalan itu pada warga negara atau kelompok yang hendak menyelenggarakan kegiatan,” jelasnya.

Baca Juga:  KPU Nunukan Gelar Pleno Rekapitulasi Perhitungan Perolehan Suara Pemilu 2024

Baca juga: Rakyat Belum Merdeka!

Hendardi menambahkan, untuk menghindari kegaduhan berkelanjutan, warga negara atau kelompok masyarakat juga diharapkan memilih diksi kampanye yang tidak memperkuat kebencian pada pasangan calon lain, karena seharusnya pemilihan presiden adalah kontestasi gagasan.

“Warga harus disuguhi informasi alasan-alasan faktual untuk memilih atau tidak memilih seorang calon. Bukan diprovokasi dengan slogan yang tidak mencerdaskan,” tuntasnya. (eda/edd)

Editor: M Yahya Suprabana & Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3,054