Artikel

Sesat Pikir Perlawanan Buruh

Oleh: Nur Faizin Darain*

NUSANTARANEWS.CO – Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia adalah buruh yang senantiasa giat mencari nafkah untuk diri sendiri dan keluarga. Marx menyebut kaum buruh mendominasi kelas proletariat. Di berbagai negara kelas proletariat acap melakukan perlawanan terhadap kesewenangan pemilik modal.

Beberapa orang atau kelompok masih menganggap buruh termarjinalkan di beberapa sektor usaha formal dan non-formal. Mereka menuntut pemenuhan hak sebagai pekerja sesuai dengan kewajiban yang diemban. Isu utama yang digerakkan adalah kenaikan upah buruh minimum, jaminan kesehatan, tenaga alih daya (outsourching), kesehatan, eksploitasi, lemahnya penegakan hukum, harga bahan bakar minyak, hingga pemutusan hubungan kerja.

Kaum proletariat bergerak dan berserikat menuntut pemerintah untuk menjadi katalisator mewadahi kepentingan buruh terhadap pemilik modal. Kaum proletariat beranggapan pemerintah abai terhadap nasib buruh. Masih ada anggapan bahwa regulasi dibuat untuk kepentingan kaum borjuis.

Buruh di Indonesia

Gerakan buruh telah dilakukan sejak tahun 1800-an di Amerika dan Eropa. Hingga kini pergerakan menuntut nasib pekerja terus didengungkan. Di Indonesia pergerakan buruh telah menyebar di berbagai daerah dan semakin meningkat pasca reformasi. Mereka berkelompok dan berorganisasi dalam Serikat Buruh (SB) atau Serikat Pekerja (SP) dengan tujuan tidak ada lagi diskriminasi terhadap kaum pekerja dan kesejahteraan pekerja terpenuhi.

Pasca reformasi federasi SB/SP di Indonesia bermunculan. Kemunculan organisasi SB/SP lahir pasca Konvensi ILO No.87 Tahun 1948 dan Keputusan Presiden No.83 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekera/Serikat Buruh semakin mentahbiskan jalan SB/SP. Kini kaum pekerja dibuka kesempatan yang sangat besar dalam berserikat (multi union) dan atau menyuarakan keadilan dan kesejahteraan. Buruh kini juga dapat merasakan hari raya mereka berupa hari libur setiap tanggal 1 Mei. Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2013.

Persoalan buruh menjadi soalan krusial di berbagai negara. Bahkan tidak jarang mereka yang turun ke jalan menununtut hak-haknya berakhir bentrok dengan aparat keamanan. Misalnya pada tahun 2016, kaum buruh di Prancis yang menentang RUU Reformasi Buruh juga berakhir bentrok. RUU tersebut mencoba memberlakukan fleksibilitas jam kerja yang lebih besar, kendali terhadap pengadilan buruh, dan pemberian upah kerja lembur. Lantas bagaimana kondisi perlawanan kaum pekerja di Indonesia?

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tahun 2015 tentang Buruh/pekerja. Beberapa kelompok serikat buruh menolak dengan alasan PP tersebut tidak sesuai dengan semangat buruh untuk memperoleh kesejahteraan. Sejauh ini pemerintah, lewat kementerian Kemnaker, telah melakukan segala upaya agar hak buruh, pekerja, dan kaum modal terpenuhi secara seimbang dan adil.

Perlindungan Kelompok Proletariat

Keyakinan kaum buruh hingga saat ini meniadakan kehadiran negara di sektor buruh/pekerja. Setiap kali pemerintah mengeluarkan regulasi perihal tenaga kerja akan lahir pro dan kontra. Kelompok kontra akan beranggapan, seperti tesis Frans Magnis-Suseno (2010), negara hadir untuk mewujudkan kepentingan umum padahal ia melayani kepentingan kelas atas. Di negara dengan sistem demokrasi, ungkap Pak Frans, negara bukanlah negara kelas. Semakin demokratis suatu negara, maka negara semakin tidak menjadi negara kelas.

Perlindungan pemerintah terhadap kelompok proletariat dapat menjadi semangat bersama seluruh elemen bangsa menuju negara demokratis, negara yang memihak kepada kaum pekerja. Perlawanan tidak selalu dilakukan terhadap negara atau pemerintah (resistance againts goverment). Perlawanan kaum pekerja dapat menjadi aliran darah pada setiap elemen organisasi SB/SP dan pekerja melawan kapitalisme baru. Kapitalisme baru yang mewabah di negeri ini ialah konsumerisme. Bagaimana kita dapat berdiri dan berjaya (stand) bila naluri setiap pekerja adalah konsumerisme.

Inilah yang awal-awal harus dilawan. Di samping juga tidak lupa tetap bersuara melawan ketidakadilan. Konsumerisme hadir di depan mata kita, misalnya tanpa sengaja kita senang berbelanja dan menghamburkan upah membeli barang-barang kurang bermanfaaat. Perlawanan terhadap perilaku konsumtif seyogianya dapat menjadi semangat kaum pekerja untuk meningkatkan kesejahteraan.

Semangat perlawanan yang lain ialah perlawanan halus dengan meningkatkan kapasitas skill kaum pekerja dan menumbuhkan pengarusutamaan dialog. Bagi kaum pekerja pengarusutamaan dialog Bipartit dan atau Tripartit telah diatur di dalam PP No.78 tahun 2015. Kelompok pekerja/buruh dapat mengupayakan pemenuhan hak dengan dialog kelompok ketiga, yakni pengusaha atau pemilik modal. Permasalahan seperti upah minimum, efisiensi jam kerja, diskriminasi, masalah PHK, dan lainnya dapat dilakukan dengan dialog. Tidak perlu ada adu fisik. Bahkan serikat buruh perusahaan dapat “meminta” jatah saham dalam dialog tersebut.

Selain dialog ialah peningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Pada era kompetitif setiap individu saling bersaing dengan skill masing-masing. Era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) ini dapat menjadi momentum memompa kaum pekerja. Bila kemampuan para buruh meningkat, maka lingkaran kemiskinan kaum proletariat akan segera terentaskan.

*Nur Faizin Darain, Alumnus Pascasarjana Sosiologi UGM Yogyakarta
Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 8