Berita UtamaEkonomiPolitik

Sesat Pikir Pemerintah Hadapi Kenyataan Kapitalisme

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mantan Anggota Komisi Hukum DPR Djoko Edhi Abdurrahman menilai dana CSR (Corporates Social Responsibility) untuk Yayasan Teman Ahok dalam Pilkada DKI beberapa waktu lalu merupakan bentuk penyimpangan nyata. Menurutnya dana CSR itu bukan untuk orang kaya. Dana itu untuk orang miskin. “Mestinya Menko Kesra dan Menko Ekuin menertibkan CSR yang kini malah dinikmati orang kaya. Akibatnya, yang kaya kian kaya, yang miskin kian melarat,” ujar dia.

Jika situasi ini terus dibiarkan, maka pembangunan pun hanya untuk orang kaya. Lalu kapitalisme dicaci maki. “Padahal pemerintahnya yang tak becus menjalankan kapitalisme. Kekecewaan terhadap praktek kapitalisme oleh rezim dewasa ini menerbitkan gerakan sosialisme yang beroleh sambutan hangat dari penguasa Beijing, dimana rezim Jokowi menjadi proxynya,” lanjutnya.

Akhir tahun 1980, Presiden Soeharto pernah melakukan uji coba dengan mengumpulkan perusahaan-perusahaan terbesar bernama Kelompok Jimbaran dan Prasetya untuk menerbitkan Pajak Negatif.

Dalam perkembangannya Pajak Negatif ini kemudian lebih dikenal dengan istilah CSR. Yakni sebagai bentuk pertanggung jawaban dampak sosial dari korporasi atas pelaksanaan sistem kapitalisme.

Baca Juga:  Bupati Paparkan Program Prioritas Saat Safari Ramadhan di Sebatik

Tokoh Mazhab Ekonomi Rasional, Milton Friedman menjelaskan bahwa untuk menyelamatkan kelompok yang tersingkir akibat sistem kapitalisme adalah kapitalisme itu sendiri. Caranya dengan menerapkan sistem Pajak Negatif (CSR). Sasarannya adalah mereka (kelompok masyarakat) yang tersingkir dari pembangunan dalam teori Ilmu Ekonomi.

Djoko Edhi menyebutnya dengan istilah‘development trap’. Yakni masyarakat yang terjebak oleh pembangunan. Yaitu masyarakat yang dimiskinkan oleh kegiatan pembangunan oleh sistem kapitalisme.

“Mereka dibantu dengan Pajak Negatif, yaitu laba perusahaan yang penerbitannya tidak mempengaruhi harga (pasar) sehingga mampu menolong orang miskin,” ungkap Djoko Edhi.

Dirinya juga menjelaskan, pembahasan CSR mulai meningkat diseluruh dunia sejak tahun 1990. Cara ini menjadi metodologi ekonomi pembangunan guna menanggulangi fenomena development trap.

Menutip Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Masdar Farid Mas’udi,Djoko Edhi menjelaskan bahwa negara sosialisme menitik beratkan kepada hak sosial ekonomi rakyat. Sedangkan negara kapitalisme menitik beratkan kewajiban negara (obligation) kepada HAM.

Baca Juga:  Politisi Asal Sumenep, MH. Said Abdullah, Ungguli Kekayaan Presiden Jokowi: Analisis LHKPN 2022 dan Prestasi Politik Terkini

Karena ruling party (partai berkuasa) kini adalah PDIP yang jelas sosialis, logis jika kapitalisme diganti dengan sistem sosialisme. Titik berat itu membedakan keduanya. Sosialisme lebih cocok bagi Indonesia karena dianggap mirip dengan sistem gotong royong baik berakar pada Islam maupun adat di Indonesia.

Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 108