KARAKTER politik demokrasi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari agama. Sekuat apapun upaya pemisahan politik dengan agama, akhirnya sia-sia belaka. Sentimen keagamaan, baik ide maupun agamawan, dalam kajian komunikasi politik begitu menarik. Ide dan kalangan agamawan menjadi daya dukung dan penarik suara dari bawah.
Isu-isu keagamaan dalam politik demokrasi kerap dimanipulasi politisi culas. Kalangan agamawan yang dianggap ‘suci’ dari kehinaan politik dijadikan tunggangan menuju kemenangan. Tak ayal seruan kalangan agamawan dan juga ulama’ belum masuk pada akar politik dan konsep perubahan. Lebih pada seruan untuk menjaga perdamaian dan tak terseret dalam politik kepraktisan.
Ulama dan Agamawan Terlibat Pilpres
Setidaknya, baik kubu Jokowi maupun Prabowo, sama-sama mengklaim didukung ulama dan agamawan. Hal ini tak mengherankan, sebab mayoritas umat Islam. Posisi ulama dianggap sentral. Umat Islam dalam konteks keindonesiaan akan mengikuti titah ulamanya. Pokoknya dari ulama, manut. Di sisi lain, kaum agamawan didekati untuk meraup dukungan dan menjanjikan perlindungan. Isu-isu yang dibawa seputar toleransi, menjaga keberagaman, dan kesetaraan.
Kontestasi pilpres 2019 dalam setiap kampanye akan dihiasi ulama dan agamawan. Berlepas dari keradikalan masing-masing pendukung yang terkadang blunder dalam pemujaan berlebihan. Sikap pendukung paslon pilpres 2019 terbagi dua, berfikir rasional realistis dan irasional bombastis.
Pelibatan ulama dan agamawan dalam pilpres tidak terlepas dari beberapa hal. Pertama, ketidakpahaman rakyat terkait politik. Hal ini dimanfaatkan oleh politisi untuk meraup suara. Sebab, satu suara sangat berharga, meski harus dibayar dengan rupiah.
Kedua, pasangan calon tidak ingin dianggap anti-agama. Sebab sentimen selama masa kepemimpinan periode 2014-2019 diliputi anti-Islam dan gebuk kelompok yang bersebrangan.
Ketiga, ulama dan agamawan memang masih minoritas dalam pembahasan politik. Ulama Indonesia sedikit sekali yang melakukan pengkajian terkait fiqh siyasah dan politik kontemporer. Sering terjadi blunder semisal menyamakan istilah presiden dengan khalifah dalam pemerintahan Islam. Menyebut Indonesia sebagai negara yang sudah Islami, karena menerapkan nilai-nilai Islam dan umat dibiarkan beribadah. Ulama lebih sering mengkaji masalah fiqh ubudiyah dan pelan-pelan meninggalkan fiqh siyasah yang dianggap tidak berguna.
Keempat, belum adanya kematangan dalam konsep mendasar politik islam yang digali dari manhaj kenabian. Ujungnya demokrasi dianggap Islami. Islam dianggap demokratis. Padahal keduanya dari sumber yang berbeda dan memiliki mekanisme berbeda.
Kelima, ulama dan agamawan dianggap oleh stakeholders negeri ini sebagai pemadam api ketika konflik politik. Hal ini menunjukan bahwa sesungguhnya stakeholders masih berpisah dari rakyatnya. Rakyat pun sama merasa berpisah dan jauh dari stakeholders.
Serius?
Ulama dan kaum agamawan harus memahami anatomi pilpres 2019. Setiap ajang pemilu dimaksudkan untuk mengganti pemimpin (orangnya). Tidak sampai pada perubahan sistemik. Pemahaman terkait kondisi keindonesiaan tidak hanya dilihat dari ketidakmampuan dari manusianya. Harus dilihat pula sistem yang digunakan mengatur negeri ini. Seruan perubahan pada sistem yang terbaik, bukanlah aib atau makar. Sebab, tujuan politik itu mengatur urusan kehidupan menjadi lebih baik dan berkeadilan.
Dalam kondisi persoalan kepemimpinan negara, Islam memiliki detail dan konsep yang sempurna dibanding lainnya. Pada kondisi ini ulama yang mukhlis dan memiliki pemikiran politik yang Islami hendaknya menyerukan pada Capres-Cawapres dengan seruan yang mendasar dan membangkitkan akal.
Pertama, seruan untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT. Pencipta sekaligus Pengatur alam semesta. Seruan taqwa bagi capres-cawapres adalah harga mati. Tujuannya bukan mengatur negeri ini bukan karena nafsu dan syahwat kekuasaan. Lebih pada pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.
Kedua, konsekuensi seorang pemimpin yang muslim yaitu keterikatan dengan aqidah dan syariah. Maka sangat layak, jika ulama pun menyerukan penerapan syariah Islam dalam mengatur kenegaraan. Negeri ini sudah terkoyak dan maladministrasi dalam pengelolaan. Jika tidak dengan Islam, dengan sistem apa lagi yang mampu memberikan rahmat bagi seluruh alam, baik muslim maupun non muslim.
Ke depan, ulama dan kaum agamawan harus terus didorong untuk mewarnai perpolitikan Indonesia. Jangan sampai mereka menjadi pihak yang dimanfaatkan. Habis manis sepah dibuang. Habis diminta dukungan, setelah itu ditinggalkan. Ucapan dan pesannya saja tak didengarkan ketika duduk di kursi jabatan. Memang enak dikibulin terus? Saatnya sadar!
Oleh: Hanif Kristianto, Analis Politik dan Media