Cerpen

Senja Sebuah Luka, Cerpen Bentar Wirayudha

senja sebuah luka, cerpen, cerpenis indonesia, cerpen indonesia, nusantaranews, bentar wirayudha, cerpen bentar wirayudha
Perempuan Penikmat Kesedihan. (Foto: Dok. Photoshop Creative)

Senja Sebuah Luka, Cerpen Bentar Wirayudha

Dia itu gadis jelita, memiliki lensa bola mata besar yang sayu merayu dipayungi lentik bulu matanya serta memiliki sepasang bibir merah merekah walau tanpa goresan gincunya. Siapapun yang ditatapnya tercengang kagum memuja. Ia bukan putri surga ia hanya seorang gadis desa yang punya kebiasaan menatap senja.

Ia tinggal di sebuah kota untuk menyelesaikan gelar sarjanaya. Orang-orang dikampusnya kagum dan begitu memuja, tak jarang para lelaki menyatakan cinta, namun tentu ia menolaknya, lantaran ia tahu para lelaki itu hanya menginginkan rupa. Dibalut dengan senyumnya dia selalu tampak berbahagia, baginya hanya senja lah yang tahu bahwa senyumnya itu adalah luka.

Seperti biasa ia beranjak pergi dari kediamannya, sebuah kos tua yang berada di pinggiran kota. Waktu tak pernah lupa untuk mengingatkannya bahwa senja hampir datang. Dilihatnya arloji yang terikat dilengan kirinya, jarum jam nyaris terpojok menunjukan hampir pukul enam sore. Segera ia bernjak menuju suatu tempat biasa ia menatap senja. Jarak itu tidak terlalu jauh sekitar dua kilometer dari kediaman kosnya. Biasanya dia pergi dengan melangkahkan kaki indahnya, namun waktu nyaris terpojok diapun terpaksa duduk di bangku tua berbahan besi yang cukup karatan tempat menunggu angkutan kota yang hendak mengangkutnya.

Aku selalu mengamatinya, bukan hanya rupa yang terpatri dalam sanubari, namun segenap rasa kian meyelimuti hati. Baginya hanya senja lah yang tahu bahwa senyumnya adalah luka, namun tidak denganku. Tatap matanya itu memberi isyarat kepadaku bahwa ia dirundung pilu, tak jarang kulihat matanya bening diselimuti basah seakan berusaha membuat bendungan air mata. Senyumnya itu tak mampu untuk menipuku, tiap saat kupandang wajahnya terasa teramat pilu.

Apa yang sebenarnya dia rasakan? gumamku yang selalu datang. Dibangku itu tak hentinya ia diterpa angin, rambut hitamnya melambai dengan indah memanggil. Kini angkutan kota itu tiba, mengangkutnya menuju tempat ia menatap senja. Kukayuh sepeda tepat berada di belakang angkutan kota.

Angkutan kota itupun melambatkan lajunya dan mulai menyisikan haluan untuk menurunkannya. Kulihat terotoar itu seketika menjadi indah saat ia turun dan mulai pijakan kakinya. Ia menengadahkan kepalanya memandang bukit tepat di sebrang jalan.

Disebranginya jalan itu kemudian dilaluinya jalan setapak dengan tanah merah yang kering dan gersang. Ku ikatkan sepedaku pada tiang di tepi jalan kemudian mulai ku ikuti ia dari belakang. kuhaluskan langkahku agar suara terbungkam, jika dia tahu aku mengikutinya mungkin dia akan bergegas pergi menjauh dariku.

Apa yang kau inginkan dari senja? selalu saja kau menjumpainya dengan setia, tanyaku dalam hati. Jalan itu cukup menanjak membuatku sedikit terengah-engah, namun kelihatanya ia begitu biasa melewati medan yang cukup menanjak ini.

Kini tiba tepat ia di atas bukit, disenderkannya punggung itu pada sebuah pohon besar nan rindang. di keluarkannya sebuah buku dan pena dari kantong tas selempang yang tepat di pinggangnya.

Apa yang ia lakukan? tak mungkin mengerjakan tugas kuliah dengan cara yang merepotkan seperti ini! tak habis fikir tanyaku dalam hati. aku mengamatinya dengan sedikit memberi jarak supaya aku tidak ketahuan. Belum cukup berani aku mendekat, masih saja aku memuja dalam kejauhan.

“Mengapa kau mengikutiku?,” sambil tetap mengguratkan pena pada buku catatan.

Bagai petir menyambar bumi, aku terkejut tak habis fikir ternyata ia tahu bahwa aku mengikuti.

“Bagaimana kau tahu aku disini? apakah kau sudah menyadari?.”

Hening tanpa jawaban, ia pun tetap sibuk mengguratkan pena pada buku catatan, aku tidak tahu apa yang ia tulis dan mengapa melakukannya ditempat ini, aku hanya melihat dari sedikit kejauhan, lensa mata ini hanya mampu menangkap sisi tubuhnya yang terhalang pohon yang rindang.

Sambil kuberanikan diri dan akupun bertanya kembali.

“Bolehkah aku mendekat? sekedar menyapa atau memperkenalkan diri.”

“Tak perlu, cukup lah kau disitu atau mungkin kau enyah dari belakangku.”

“Aku selalu mengamati mu, dan nampaknya kau sedang pilu.”

“Apa yang salah dengan pilu? bagiku pilu ini terkandung rindu.”

“Rindu?! apa atau siapa yang kau rindukan?.”

“Senja lah yang selalu kurindukan!.”

“Ada apa dengan senja, bukankah ia selalu datang dikala sore akan hilang?.”

“Senja ku dengan senjamu sangatlah berbeda, kau tak akan mengerti apa yang kurasa, setiap orang punya cerita yang bisa datang dimana saja, termasuk pada sang senja.”

Sebenarnya apa yang ia katakan? mengapa ia tebiasa dirundung pilu? dan apa yang istimewa dari sang senja?! tanyaku begitu terheran dalam hati. Dan gelap sudah hampir datang, angin terasa begitu kencang menerjang, digugurkannya daun-daun dari pohon yang rindang, beberapa daun jatuh tepat diatas kepalanya.

Aku pun sedikit mendekat agar terlihat lebih jelas apa yang aku pandang, kini terlihat sisiain dari tubuhnya, ia berhenti mengguratkan pena, wajahnya tertunduk pada buku catatannya. kulihat lengannya itu mencengkram kencang tanah sebgai pelampiasan pilunya, lalu kemudian dahinya terjatuh pada permukaan buku yang ia letakkan di atas lututnya.

Senja itu mulai tenggelam dan nyaris gelap itu datang, akupun mengumpulkan nyali untuk melangkahkan kaki kemudian menghampirinya, tiap derap langkah membuat jantung ini berdebar keras. Tak pernah aku menghampirinya dengan jarak sedekat ini, aku yang selalu mengamati dari kejauhan dan kini hampir tepat aku bersebelahan.

“Bukankah sudah ku katakan kau tak perlu mendekat? Atau mungkin lebih baik kau enyah dariku!.”

Akupun memaksa dan terus melangkah, kini aku tepat disebelah tubuhnya, dan lagi ia masih menundukan wajahnya. kulihat lengannya kotor sehabis mencengkram tanah, kini bisa kulihat ia tergulai payah.

“Senja ini indah bukan?.”

“Tentu lah indah.”

Kini ia angkat wajahnya itu menatap lurus kedepan tanpa penasaran dengan keberadaan ku. Dapat kulihat rintih air mata dari bola matanya, semakin gelap semakin banyak rintih air mata, ku alihkan pandanganku dan kutatapkan pada sebuah buku, buku yang kertasnya hancur oleh air matanya sendiri.

“Mengapa kau menangis?.”

“Tentu kau sudah tahu bahwa senja itu indah, namun hanya sesaat aku berjumpa, dan aku selalu rindu pada sang senja, karenaya lah aku menangis.”

“Bukankah sudah seharusnya seperti itu? kau terlalu berlebihan dalam meerindukan senja hingga kau kini menangisinya”

“Kau tak akan mengerti! ini bukan hanya sekedar senja namun ini soal cerita dan rasa.”

“Bagaimana mungkin aku bisa sepenuhnya mengerti sedangkan kau belum juga cerita, dan kulihat lembar kertas bukumu itu rusak nyaris tak tersisa, lalu apa yang sebenarnya kau tulis di buku catatan itu?.”

“Bukan apa-apa, hanya sebuah cerita rindu dan senja.”

“Lagi-lagi soal itu? maksudku ada apa gerangan?.”

Kini ia kembali menitihkan air mata, semakin pilu aku rasa. Air mata itu jatuh menghancurkan hasil guratan pena, kini tangis itu semakin dalam dan rintih air mata berubah menjadi isak tangis yang sesak, sambil menangis kemudian kembali ia berkata; “kau tau, segalanya itu bisa berubah. aku selalu merasakan senja yang teramat indah namun seperti kataku hanya sekejap aku berjumpa kemudian senja berubah menjadi gelap, lalu dalam tangis aku pun merindunya, teramat pilu kurasa, kala itu..”

Tangisnya menghentikan ia berkata, rindu pilunya seakan tak rela ia bercerita, nampaknya senja sedang cemburu padanya. Sambil terus membendung tangis ia kembali berkata; “kala itu aku diberi bahagia oleh cinta, hatiku masih utuh sebelum akhirnya terbelah. Aku memiliki seorang kekasih, kala itu aku sangat bahagia dengannya namun semua itu seakan hilang sekejap mata, mulanya aku percaya bahwa cinta itu kuat namun takdir hadir jauh lebih kuat, akupun dipisahkan olehnya tepat saat senja mulai menghilang, kini kisah itu selalu ku kenang dalam sebuah ukiran dikala senja itu datang.”

Entah apa yang kurasa, sedih, pilu ataupun cemburu namun tak rela aku melihatnya, ingin ku usapkan air mata di pipinya dan mulai menghapuskan pedihnya. Kemudian kulihat buku itu terjatuh dari lututnya lalu ku gengenggam buku itu dan mulai ku lihat tulisan pada tiap lembar catatan.

“Tak perlu kau lihat buku itu, kau tak akan mampu juga mengerti untuk membacanya, tiap lembar itu nyaris hancur dan catatan pun terlihat semu, dikala senja itu datang mulai ku tuangkan sebuah rasa sebuah cerita pada tiap guratan pena, namun dikala gelap itu hampir datang tiap guratan pena pun kujatuhi air mata, dan hingga tepat langit gelap menghitam itu tiba, lembar catatan itu pun nyaris hancur tak tersisa.”

“Apakah kau tak mampu lagi untuk menatap bahagia dan pergi meninggalkan kepedihan? banyak hal yang mampu kau ciptakan termasuk juga kebahagiaan.”

“Entahlah, aku begitu setia dengan kesedihan namun aku tidak sedikitpun membencinya. perihal catatan pun aku tak membencinya, meski nyaris hancur rupanya namun percayalah catatan itu begitu indah, segenap rasa rindu yang kutitipkan pada sang senja.”

Kutaruh kembali buku itu dilututnya, sungguh aku ingin menjadi penyejuknya dan membawanya pulang dalam bahagia. Begitu cemburu aku mendengarnya lantaran aku sungguh mencintainya, mencintai dalam diam. Namun aku tau cinta ia kepadanya sungguh begitu kuat bahkan ia merelakan jiwanya terikat dalam kepedihan. Mustahil aku mengharapkannya.

Saat itupun mulai kubiarkan ia bersama senja, saat itupun aku menyimpan namanya dalam doa. #

 

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 3,079