Budaya / SeniResensiRubrika

Seni Mencintai dan Mencintai Seni Ala Penyair Kesengsem dalam Esensialitas Cinta

NUSANTARANEWS.CO – Berbicara soal seni, kita tentu akan diingatkan pada suatu wadah untuk menampung emosi yang datang dari seluruh tempat; dari langit, dari bumi, dari secarik kertas, dari bentuk yang lewat, maupun dari jaring laba-laba sekalipun. Karena tujuan seni tidak mereproduksi realitas, tetapi untuk menciptakan realitas intensitas yang sama. Banyak sekali yang mempertanyakan apa hubungan antara seni dan cinta.

Erich Fromm, psikolog asal Jerman,  mengatakan dalam bukunya The Art Of Loving, bahwa cinta adalah sebuah seni yang harus dimengerti dan diperjuangkan, karena cinta adalah jawaban dari masalah eksistensi  manusia. Bentuk-bentuk kehidupan yang dipenuhi cinta kasih dan kasih sayang dapat membangkitkan kreativitas manusia. Contohnya, untuk mengungkapkan rasa kasih sayang dan cinta kasih dapat melalui beberapa media; melalui bahasa, lahirlah seni sastra; dengan garis, warna dan bentuk, lahirlah seni rupa; dengan nada, irama dan suara, lahirlah seni musik, dan lain sebagainya.

Baca:

Hal ini saya rasa juga terjadi pada Alfin Rizal, penulis buku Kesengsem ini. Bagi Alfin sendiri, ia berprinsip bahwa seni adalah media yang ada dalam jiwa, satu titik kecerdasan dan kepekaan dengan berbagai macam versi yang dimiliki oleh pribadi masing-masing. Pengkajian makna seni budaya sebagai manifestasi cinta kasih, kasih sayang dan belas kasihan terutama yang berkaitan dengan norma, moral dan nilai yang dimaksudkan untuk mengembangkan kepribadian dan wawasan pemikiran. Dengan demikian, hal ini dapat memperluas daya tangkap, persepsi, dan penalaran mengenai fakta seni budaya yang dihadapi dalam keseharian.

Judul Buku: Kesengsem

Penulis: Alfin Rizal

Baca Juga:  Kontrakdiksi Politisasi Birokrasi dan “Good Governance”

Penerbit: literISI

Cetakan: Pertama, Juli 2017

& Kedua, November 2017

Tebal: 78 halaman

ISBN: 978-602-60855-3-5

Peresensi: Anna Zakiah Derajat*

Hal menarik yang dikatakan oleh Gede Prama dalam bukunya, Percaya Cinta Percaya Keajaiban, yaitu meyakini bahwa cinta dapat menghadirkan keajaiban-keajaiban. Kini saya menemukan beberapa keajaiban seperti yang disebutkan Gede Prama dalam buku Kesengsem karya Alfin Rizal yang katanya membuat si pembaca disibukkan untuk kembali menata hati dan terpontang-panting juga semakin dibuatnya kesengsem oleh kelentikan jemarinya yang dapat dengan lihai memadukan antara seni mencinta dan mencintai  seni dalam bait-bait puisinya. Alfin juga mencoba mengolaborasikan antara puisi  dan rupa; seperti yang kita ketahui bahwa masalah sastra dan seni ini sangat erat kaitannya dengan ilmu budaya dasar.

Jika ditilik dalam sejarah, pada kenyataannya bangsa Indonesia ini berdiri atas beragam suku bangsa dengan segala keanekaragaman budaya yang tercermin dalam berbagai aspek kebudayaannya, dan biasanya tidak lepas dari ikatan-ikatan primodial, kesukaan dan kedaerahan. Dari  sinilah patut kita apresiasi saat si Penulis buku Kesengsem ini, ingin mengajak pembacanya mengerti apa itu seni mencintai dan mencintai seni; karena pada dasarnya mencintai  itu tidak sesederhana seperti apa yang digambarkan Eyang Sapardi Djoko Damono dalam puisinya.

Aku Bukan Sapardi

Jangan ingat lelaki hujan di bulan Juni

Saat kukatakan bahwa aku mencintaimu

dengan sederhana.

 

Sebab kesederhanaan cintanya

Lebih rumit dari kesabaran

Yang batasnya tiada

Atau lebih menjengkelkan dari ketenangan

Yang bergejolak membuatnya tiada

 

Cintaku padamu sederhana ssaja

Yang tak perlu kau ibaratkan

Hanya perlu mengerti dan rasakan

 

Sebab cintaku lebih sabar dari api

Yang mengubah kayu menjadi abu

Dan cintaku juga  lebih tabah dari

ketiadaan awan yang dihapus hujan

 

Baca Juga:  Makan Siang Bareng Cagub Khofifah, Ribuan Buruh Kedawung Kompak Dukung Dua Periode

sebab kau ialah hujanku

2017

Eksistensi manusia adalah ko-eksistensi. Dimana tidak ada manusia yang bisa hidup sendirian tanpa adanya orang lain, dan kekuatan yang menyatukan manusia dengan manusia lain ialah cinta. Cinta membuat “aku” dan “kamu” menjadi “kita”; dan “kita” adalah communion (kebersamaan). Tidak lain untuk mencapai kebersamaan yang ideal diperlukan keterbukaan dan kesiapan setiap pribadi untuk membangun relasi yang bersifat kreatif seperti yang dikatakan Alfin pada puisinya “Cintaku padamu sederhana saja, yang tak perlu kau ibaratkan. Hanya perlu mengerti dan rasakan”, maka jelaslah cinta merupakan kebutuhan dasar bagi perkembangan hidup manusia. Bukan hanya pada puisinya yang berjudul Aku Bukan Sapardi, Alfin juga menorehkan keajaiban cinta pada puisinya yang satu ini:

Pada Padahal

Mereka bilang,

ada dirimu dalam tulisan-tulisanku

padahal namamu tak  pernah sekalipun

kutuliskan untuk dibaca mereka

Mereka bilang,

ada dirimu dalam lukisan-lukisanku

padahal wajahmu tak pernah sekalipun

kulukiskan untuk mereka lihat

Mereka bilang,

ada dirimu dalam percakapanku

padahal kau tak pernah sekalipun

kukisahkan pada mereka

 

Jika begitu adanya,

mungkinkah dirimu sudah menjadi diriku

dalam takdir terciptanya kita

untuk menjadi satu; cinta

2017

Cinta memang menyatukan dua insan, tetapi tidak meleburkan pribadinya. Karena daya tarik cinta terletak pada keunikan masing-masing, sehingga adanya penyatuan atas dasar kemauan berpartisipasi aktif dalam ruang kehidupan yang sama untuk saling mendukung pertumbuhan serta perkembangan dua pribadi  dengan segala keunikannya. Selain itu, cinta menumbuhkan communion, yang mana kebersamaan tersebut sungguh komunikatif; karena “mencintai” selalu mengandung imbauan kepada sesama. Secara umum, antologi puisi Kesengsem ini merupakan bentuk suatu pengungkapan bagaimana harus mencintai dengan dibaluti seni-seni dalam esensialitas cintanya.

Baca Juga:  Politik Identitas dan Regenerasi pada Pilkada Serentak 2024

*Anna Zakiah Derajat, lahir di Bogor 02 Februari 1997, Jawa Barat. Mahasiswa Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan bergiat di Teater Eska, PMII RCC, Arabic Debate of Al-Motayat, IMATA, GPAN Yogyakarta, Relawan Hamada Foundation. Menulis puisi, cerpen, dan essay. Domisili Sapen Yogyakarta. Beberapa kali telah menjuarai  lomba menulis puisi diantaranya juara 2 Festival Pujangga Nasional, juara 3 Festival Literasi UHAMKA, Juara 1 Festival Literasi Gradasi, Juara 1 Festival Literasi Nasional Aksara Aurora, Juara 1 lomba cipta puisi Nasional Aksara Aurora, Juara 2 Festival Literasi Jawa Barat, kontributor penulis nasional di Penerbit Aksara Aurora, Kontributor penulis Nasional di FAM-Indonesia, Kontributor di Geotimes, kontributor Penulis Puisi Bersama UIN SUKA Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, pernah diterbitkan di Jangkar Nusantara.

Catatatan:

  1. Ada beberapa yang kuedit. Mungkin bisa kamu baca ulang.
  2. Kamu dalam tulisan ini cuma memuji buku (atau lebih ke arah promosi) bukan meresensi buku. Kamu bisa tambahi kritikmu terhadap buku itu. Misalnya dari segi layout, desain sampul, atau bentuk kertas, atau bentuk puisi itu sendiri.
  3. Tulisanmu sudah bagus. Haha.
  4. Oh, ya, ini ada sedikit puisi:

 

Selamat ulang tahun, Anna

Selamat mengulang suatu waktu

Yang pernah kau jadikan pintu pertama menatap dunia

Selamat mengulang suatu masa

Yang kau jadikan titik pertama

Melangkah sebagai manusia

Menulis dan membaca

Adalah cara terbaik merawat usia

 

Catatan Redaksi: Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

 

Related Posts

1 of 3,052