KolomPuisi

Seminar Dibaui Komunis Dibubarkan, Penyair Denny JA: Negeriku Penuh Trauma

NusantaraNews.co, Jakarta – Bulan September seolah menjadi bulan latihan perang. Di luar Indonesia, sejumlah negara unjuk kekuatan senjata, alutsista dan bom nuklir. Bahkan mereka sudah gigih melakukan latihan perang. Belum lagi tragedi Rohingya di Myanmar.

Sementara di dalam negeri, aroma detik-detik menjelang G30S/PKI tercium oleh sejumlah kalangan. Sebagaimana yang terjadi, jauh-jauh hari, rencana acara seminar sejarah 1965 (seminar pendukung PKI, kata sejumlah kalangan) bertajuk ‘Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/66’ pun bocor. Sehingga menggerakkan orang-orang anti PKI untuk menggagalkan acara yang rencananya akan digelar tanggal 16-17 September 2017 kemarin.

Baca: Aliansi Mahasiswa Anti Komunis Terus Galang Dukungan Tolak Pendukung PKI

Entah bagaimana ceritanya, semi proposal kegiatan yang menghadirkan sejumlah pembela (Korban, klaim mereka) PKI tersebar viral di banyak Grup-grup WhatsApp. Tak ayal, satu, dua, belasan, puluha, bahkan ratusan orang kompak bersatu yang mengatasnamakan aliansi mahasiswa dan pemuda Anti PKI melakukan aksi di hari pelaksanaan seminar.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Aparat kepolisian, seolah tak bisa berdalih untuk berpihak pada penyelenggara seminar. Maka, seminar pun dibubarkan. Selain karena izin tidak dikeluarkan oleh aparat kepolisian, massa penolak acara yang benar-benar mencium aroma PKI itu kian merangsek ke gedung LBH Jakarta, tempat acara akan digelar.

Simak: Kecaman ke YLBHI Bukan Masalah Izinnya, Sri Bintang: Tetapi PKI-nya

Situasi ini, menggedor mata batin seorang penyair, Denny JA. “Melihat LBH dikepung massa, membuat kita merenung, apa yang terjadi dengan ini negeri tercinta?,” tulis Dennya mengantari sebuah puisi terbarunya, “Negeriku Penuh Trauma”, Senin, 18 September 2017.

Berikut ini puisi lengkap Denny JA yang diterima Redaksi NusantaraNews.co:

Negeriku Penuh Trauma
Puisi Denny JA

Rosa namanya, gadis remaja,
diminta guru sastra, bacakan puisi
apapun tentang dirinya, di depan kelas.

Dengan mata sedih, Rosa
Berekspresi.

Aku penuh trauma.
Ayah dan ibuku penuh luka.
Jika berbeda,
Berkelahi tak jera
Rusak banyak benda
Pernah terbunuh banyak saudara.
Aku tersiksa.
Oh aku penuh trauma,
dan negriku, Indonesia, seperti aku.

Aku penuh trauma.
Ayah dan ibuku beda agama.
Dulu baik baik saja
Entah mengapa suatu ketika,
datang guru agama.
Tapi aneh ajarannya,
tak seperti guru biasa.

Kini ayah dan ibu tak seirama
Jika sedang bala,
celaka, aku yang kena.
Lukaku semakin menganga.
Oh aku penuh trauma.
Negriku, Indonesia, seperti aku.

Guru dan murid terdiam.
Di kelas itu,
Ada anak PKI,
Ada anak Ahmadiah,
Ada anak Syiah.
Ada yang ibunya guru Pancasila.
Ada yang ayahnya percaya bumi datar.
Ada yang pamannya tentara.
Ada yang tantenya aktivis,
pejuang hak asasi manusia.

Selama ini semua baik baik saja.
Ketika mendengar Rosa,
mereka saling tatap mata.
Astaga kini mereka lihat neraka,
berkobar perkasa,
di mata murid lainnya.

Merekapun saling caci,
Serang sana dan sini
Ruang kelas penuh benci

Ya Allah kini mereka berkelahi
Semua melawan semua
Kaca jendela pecah
Papan tulis retak
Ibu guru bengong saja.
Tak tahu harus apa

Kepala sekolahpun tiba,
Membawa team keamanan.
Memaksa semua berhenti bicara.
Dan kini semua diminta berbaris,
bersama menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Mereka patuh menyanyi
lagu yang sama.
Tapi itu rasa benci
tetap menyala.
Benci kepada yang beda.
Walau mulut menyanyi Indonesia Raya,
tapi sinar matanya,
Ya Allah, mereka kini marah,
marah kepada yang beda.

Tiba-tiba lampu di kelas bersuara,
Pintu, jendela, ubin, kertas dan pensil
Ikut koor bersama:
“Aku penuh trauma,
Negriku, Indonesia, seperti aku.”

Baca juga: Ini Pengakuan Para Pengurus LBH-YLBHI, Pasca Gedungnya Terkepung

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

“TV memberitakan LBH dikepung massa, ada gereja disegel di sana, mesjid dirusak di situ, diskusi dibubarkan massa di sini, putar film dihentikan di kota, dan sepasang kekasih memilih putus cinta karena beda calon presiden,” renung Dennya mengakhiri di luar kesatuan puisi di atas.

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 5