SosokTerbaru

Semangat Membara di Raga Yang Tak Lagi Muda

Ibu Indira Sugandhi
Indrawati Soegandi

NUSANTARANEWS.CO – Jiwanya begitu “muda” di usianya yang sudah lebih dari separuh abad. Namun, fakta itu tak menyurutkan semangat nasionalisme dalam dirinya. Bagi Indrawati Soegandi semangat kebangsaan pada generasi muda sekarang ini sangat abu-abu, karena menurutnya masih kurangnya anak muda yang bangga kepada budaya nya sendiri. “What’s wrong with this country?” ucapnya berapi-api.

Generasi muda adalah harapan bangsa. Mungkin sudah seringkali kita dengar kalimat bijak ini. Atau anda masih ingat kalimat sakti Bung Karno yang mengatakan Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya, berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia. Dari sini jelas terlihat bahwa pemuda lah yang memegang peranan penting bagi bangsa. Bahkan, pemuda pula yang dapat mengguncang dunia.

Dalam obrolan, sosok Soekarnois ini begitu semangat menceritakan bagaimana generasi muda pada saat zamannya dulu, yakni berbilang pada jaman pra dan pasca kemerdekaan.

Perempuan kelahiran 1941 ini bercerita bahwa ketika remaja, ia sudah diwajibkan untuk membaca tiga Koran, yakni Harian Rakyat, Kedaulatan Seluruh Indonesia dan Korannya NU. Dari tiga Koran tersebut ia mengungkapkan bahwa banyak sekali inspirasi yang ia dapatkan dan juga mengetahui secara lebih rinci tentang kondisi Negara tercinta.

“Saya juga aktif di kepanduan rakyat Indonesia, pimpinannya salah satunya Alm. Muchtahar, yang mencipta lagu syukur. Nah, dari itu saya terinspirasi banyak hal yang membangkitkan rasa kebangsaan saya,” ucapnya sambil mengenang. “Di rumah kami kadang-kadang berbicara bahasa Belanda tapi bukan untuk kebanggaan. Ini satu yang mesti dicatat, tetapi untuk apa sih sebenarnya Belanda itu?”

“Kita berbahasa Belanda bukan untuk melebihkan diri dari bahasa yang lain. Nah, oleh orang tua saya, saya diajarkan ini loh tatanan sosial yang dibuat oleh Belanda dan bagaimana pikiran Belanda tentang strata sosial kependudukan.” Sejak dari situ ia terinspirasi untuk bergaul dengan teman-teman yang beragam, mulai dari china, keturunan arab atau belanda.

Diskusi Kebangsaan

Wanita yang juga aktif dalam kegiatan Obade pada saat remaja ini mengaku merasa bangga terhadap bangsa Indonesia. Bahkan pemikiran-pemikirannya kala itu sudah jauh berpikir mengenai kondisi bangsa yang demikian memperihatinkan.

Di masa kelas 2 SMA, Indrawati bahkan sering mengadakan diskusi-diskusi kecil bersama dengan kelompoknya. Terkadang, diskusi diadakan bergilir, baik di rumah Indrawati ataupun di rumah temannya. Semangat perjuangan kental sekali terasa pada waktu itu. Aspirasi yang datang dari teman-teman dijadikan bahan diskusi seru hingga membahas apa saja.  “There must be something. Negeri kita ini terlalu menarik untuk didiamkan menjadi maju gtu loh,” ungkapnya.

Baca Juga:  Mobilisasi Ekonomi Tinggi, Agung Mulyono: Dukung Pembangunan MRT di Surabaya

Rasa kebangsaan lebih ia rasakan ketika berkesempatan mengikuti Jambore Nasional yang pertama. “Saya ikut Jambore pertama tahun 1954 di Pasar Minggu, itu terasa sekali (kebangsaannya). Saya sampai punya teman-teman korespondensi dari Ambon, dari mana-mana. Itu seperti apa ya rasanya, rasa kebangsaan yang begitu kuat.”

Dari Calon Pramugari Hingga Obrolan Singkat dengan Bung Karno

Di usia 19 tahun, Indrawati nekat mengikuti tes calon pramugari Garuda. Padahal persyaratan yang diajukan ialah wanita berusia minimal 21 tahun atau sudah berada di tingkat 2 Universitas. Berbagai tes pun dijalani hingga akhirnya ia terpilih sebagai perwakilan Jawa Barat. “Ya udah saya jalani aja itu. Latihan lah waktu itu kami sebulan lebih dikit. Nah, saya waktu itu tidak memikirkan hal hal lain selain training itu belajar banyak tentang, apa sih negeri ini?,” istri almarhum Soegandi, penempur penerbang Angkatan Udara.

Ketika sedang asyik megikuti pelatihan, tanpa diduga ia bertemu dengan proklamator RI, Bung Karno. Seorang ajudan Soekarno memanggilnya untuk bertemu dengan Founding Father of Indonesia. Ia pun mengikuti dengan tanda tanya besar. Ketika sudah dipertemukan, Bung Karno yang kala itu memakai kacamata hitam dan topi tak melihat Indrawati secara langsung.

Mendapati hal itu, Indrawati dengan lantang berkata, “I don’t wanna turn my face because I can’t see the person I’m talking with.” Bung Karno tersentak dengan ucapan Indrawati dan langsung membuka kacamata hitamnya. “What a beautiful,” ucap Bung Karno kala itu.

Kesempatan berbincang dengan presiden pertama RI ini tak disia-siakan begitu saja. Ia langsung menanyakan berbagai hal yang memang ingin sekali diketahui jawabannya segera. Dibandingkan semua pertanyaan, dia memilih satu pertanyaan yang sudah mengusiknya sejak lama. Sejak ia melihat siaran Soekarno ketika memberikan pidato di PBB. Bahasa inggris yang begitu bagus dan ketika mengucapkannya tanpa melihat teks hingga mendapatkan standing occasion dari seluruh peserta yang hadir saat itu.

Sir, did you make your speeches all by yourself?” ucap Indrawati. “Coba kalo pemimpin jaman sekarang udah marah, lu pikir gue siapa, kan begitu, haha.” Pertanyaan yang sudah begitu lama membuatnya penasaran akhirnya terjawab sudah. “Yes, I do,” ucap Bung Karno tegas.

Perbincangan pun mengalir ke banyak hal. Salah satu nya, Indrawati mengungkapkan kepada Bung Karno mengenai keinginannya untuk bisa bersekolah di luar negeri, di Amerika atau di Eropa. “Saya mau ke Amerika kalo nggak ke Eropa, ke Sorbone, saya bilang. Makanya dari SMA kelas dua saya latih bahasa Prancis saya karena pingin ke sana, ceritanya itu loh. Itu cerita cerita anak muda,” ungkapnya sambil tersenyum.

Baca Juga:  Mengawal Pembangunan: Musrenbangcam 2024 Kecamatan Pragaan dengan Tagline 'Pragaan Gembira'

Belajar Kembali Konteks Kebangsaan

Lain lagi, ketika wanita “muda” ini menuturkan semangat kebangsaan pada jaman pergerakan Gerakan 30 September PKI (G30 S/PKI). “Pada waktu itu, sebelum G30 S saja sudah terbuat segmentasi tajam,” ungkapnya. “CNI itu organnya PKI, HMI yang sekarang masih ada PMKRI (Persatuan Mahasiswa Kristen). Nah, yang suka menonjol dan kedengeran di kuping itu PMKRI. Ketika itu segmen dari mahasiswa juga, ada lokal terbagi dua seperti IMAJA (Ikatan Mahasiswa Jakarta) di  daerah Menteng dan sekitarnya. Lalu Gerakan Mahasiswa Jakarta, yaa pegawai negeri yang tinggal di Manggarai dan sekitarnya. Nah, kalau saya berteman dengan dua duanya.Yang satu ini trojing-trojing gitu, yang satu lagi yaa sesuai dengan status sosialnya.”

Lebih lanjut, melihat kondisi kebangsaan saat ini, wanita “muda” yang juga pernah membaca kitab Injil, Weda dan Al-Qur’an ini mengaku prihatin. “Untuk menumbuhkan semangat kebangsaan kita tidak bisa berdiam diri seperti katak dalam tempurung. Kita harus mempunyai kelenturan dan keluwesan,” ungkap Cendikawan Marhaenis ini.

Terlebih, ia mengatakan bahwa nuansa abu-abu yang terlihat dari generasi muda kini diakibatkan oleh tidak adanya rasa bangga terhadap budaya sendiri. Lantas, apa yang harus dilakukan?

“Kalau menurut saya mari kita sama-sama memahami kesejarahan negaranya sendiri, itu satu. Kemudian lepaskan diri dari paham paham yang mengikat diri kita, isme apapun kecuali kebangsaannya.”

“Jadi ini menurut saya yang harus kita bangunkan. Kembalikan lagi sejarah, saya kira barangkali ya pemeran-pemeran pada jaman kemerdekaan itu jangan dikucilkan, secara objektif siapa pun yang punya andil dalam perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Semua anak bangsa yang ikut memerdekakan bangsanya adalah pejuang, bagi saya.”

Membedakan Fanatisme dengan Ideologi

Ketika disinggung dengan fanatisme yang sedang bertumbuh di Negara kita cenderung lebih ke keagamaan dan ideologi, seperti yang terjadi ketika pemilu lalu. Ketika banyak pihak yang bertarung wawasan. Ketika memilih Prabowo atau KPK yang mati-matian bertempur sudah seperti ideologi. Fanatisme sekarang ini sudah melebur seperti menjadi ideologi.

“Kita melihat nya dari luar itu adalah ideologi padahal itu adalah pembodohan diri sendiri. Nah, begitu juga dengan yang sekarang sedang marak, terorisme, seperti ISIS dan segala macam. Indonesia ini nantinya akan kehilangan mindset salah satu nya ialah dari pendidikan. Bisa saya rasakan itu. Kedua dari kebudayaan dan paling akhir adalah ekonomi.”

“Melihat itu saya pikir, saya nggak bisa, walaupun saya sudah semuda ini, saya nggak boleh, saya harus melakukan sesuatu. Saya juga mengalami kegagalan-kegagalan yang saya pikir kemudian ini adalah matter of  kekuatan mental.”

Baca Juga:  Demokrat Raup Suara Diatas 466 Ribu, Ibas Kokoh 312 Ribu Lebih

Ada pendapat yang mengatakan bahwa negara kita mulai hancur dengan mulai digunakannya demokrasi. Dan demokrasi yang digunakan cenderung lebih ke barat, sedangkan yang kita anut seharusnya adalah demokrasi lokal. pendapat ini dibenarkan oleh Indrawati.

“Anda 75% benar. Saya ulas sedikit ya, sebetulnya kenapa Soekarno mengatakan sosiodemokrasi? Dia mencoba menggabungkan, yang sosio itu kesejahteraan dan yang satu lagi kapitalisme.”

“Saya mempelajari ini dari pikiran Soekarno, koreksi kalau saya salah. Soekarno menarik esensi komunisme dan sosialisme itu kan karena terjadinya kekuasaan yang otoriter, sehingga terjadinya proletar. Kita bukan proletar, bukan. Dia mencoba menelaah bahwa manusia itu makhluk sosio yang punya hak dan kewajiban lalu demokrasi. Kemudian dia ambil jalan tengah ini.”

Pancasila sebagai Gaya Hidup

Lain halnya dengan demokrasi yang begitu membabi buta tumbuh dalam kebanyakan generasi muda. Justru nilai utama dalam lima pilar Pancasila sudah jauh terlupakan. Indrawati mengakui bahwa jaman pasca kemerdekaan, Pancasila dipahami sebagai gaya hidup. “Saya dari kecil bergaul sama Cina Belanda, Cina totok, Kristen tidak ada itu istilahnya gap. Justru yang membikin perbedaan ya itulah strata yang dibikin oleh Belanda.”

“Pancasila kini itu harus bisa dipahami oleh meraka yang even seorang tukang becak. Misalnya ada tawuran, terus kita bantu untuk melerai, itu kan termasuk salah satu mengejawantahkan nilai dari Pancasila, kemanusiaan dan gotong royong.”

Pancasila, ungkapnya harus lebih aplikatif.  Bukan hanya sebagai hiasan bibir atau ditulis didinding kemudian dibaca, tapi lebih pada keteladanan. Dengan penerapan gotong royong sebagai karakter bangsa.

“Buat anak anak muda, gotong royong itu seperti jadul. Itu harus diberangus pengertian seperti itu. Karena gotong royong sudah diberangus dengan profesional, dan professional itu harus perform sendiri, sasaran harus dicapai, peduli setan dengan di sini.”

Terakhir ketika ditanyakan, apa yang akan dilakukan oleh sosok pejuang semuda Indrawati jika masih memiliki kekuatan. “Saya mau membantu teman-teman yang memahami kondisi saat ini. Ayo dengan upaya saya yang ada saat ini, saya coba membaca, mempelajari dan memberikan masukan kepada teman-teman yang sedang menyusun pelurusan-pelurusan ini, karena sebenarnya saya sudah mulai tahun 2010. Cuma ya itu tadi, sudah sepuh-sepuh, dalam perjalanan sudah out out,” ucapnya sambil tertawa. “Jadi, ke depan saya dengan segala yang saya bisa akan mencoba membantu,” tutupnya.(as/Nusantara)

Artikel Terkait:
Globalisasi Cenderung Berbenturan Dengan Nasionalsime
Ketahanan Ideologi Kita Paling Rapuh
Pancasila Menjawab Tantangan Zaman

 

Related Posts