Berita UtamaOpini

Semangat Bastille Day, Runtuhnya Tirani Kekuasaan

Oleh : Ferdinand Hutahaean, Aktivis Rumah Amanah Rakyat

Bastille Day adalah peringatan hari kemerdekaan Perancis, yang dirayakan setiap tanggal 14 Juli setiap tahunnya. Hampir 2 Abad perayaan ini selalu diperingati oleh Prancis dengan mengundang perwakilan-perwakilan negara lain. Bastille Day dalam bahasa aslinya atau bahasa Prancis disebut La Fete Nationale atau dalam bahasa Inggris artinya adalah The National Celebration. Namun masyarakat Perancis lebih sering menyebutnya Le Quatorze Juillet atau dalam bahasa Inggris artinya The Fourteenth of July atau 14 Juli. Perayaan Bastille Day pertama sekali dirayakan pada tahun 1790 untuk memperingati hari penyerbuan penjara Bastille pada tanggal 14 Juli 1789. Sebuah Sejarah yang dianggap sebagai sejarah besar lepasnya prancis dari kekuasaan yang jahat, pengusa tirani, kekuasaan yang otoriter yang pada saat itu dipimpin oleh Raja Louis XVI yang berujung pada hukuman mati sang raja.

Perayaan Bastile Day ini pun akan dirayakan oleh Prancis pada tanggal 14 Juli 2017 nasnti, dan kabarnya akan dihadiri oleh beberapa pemimpin dunia seperti Presiden Amerika Donald Trumph.

Kondisi Prancis saat itu sedang berada dalam kondisi yang terpecah, rakyat semakin menunjukkan ketidak puasan dan ketidak sukaan kepada Raja Louis XVI yang memimpin kala itu. Kondisi tersebut membuat Rakyat akhirnya terbagi menjadi tiga kelompok yaitu Kaum Penguasa (Bangsawan), Kaum Religius yang terdiri dari Pendeta dan para Aktivis Gereja dan Sosial, serta Kaum Rakyat Jelata yang sering disebut Third Estate.

Kondisi tersebut hampir sama saat ini dengan kondisi negara kita yang mana rakyatnya semakin terpolarisasi kedalam kelompok tertentu, yaitu kelompok Penguasa dan para pendukungnya (Bangsawan), Kelompok Religius yaitu para Ulama, sebagian Pendeta dan Pemuka agama lainnya bersama para Aktivis Sosial politik serte kelompok ketiga adalah kelompok masyarakat biasa. Ada kemiripan situasi dalam pengelompokan masyarakat yang terjadi masa Louis XVI dengan kondisi saat ini.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Resmikan Pemanfaatan Sumur Bor

Sebelum pecahnya penyerbuan ke penjara Bastille untuk membebaskan para tahanan politik dan aktivis yang ditangkapi sewenang-wenang oleh Penguasa, keadaan ekonomi di Prancis sedang mengalami krisis yang berat akibat kebijakan Raja Louis XVI yang memerintah menjadikan dirinya diatas segalanya. Hutang membengkak tak terkontrol, ekonomi semakin sulit, rakyat semakin susah, namun kondisi itu tidak membuat Raja Louis XVI untuk memungut pajak dan menaikkan pajak dengan semena-mena yang harus dibayar oleh Rakyat, dan dengan sengaja serta tanpa memperdulikan jeritan Rakyat, Louis XVI merasa benar dengan kebijakannya yang salah. Sementara itu keluarga Kerajaan (Penguasa) hidup nyaman dan bermewah-mewah di Versailles bahkan acuh terhadap kondisi rakyat yang semakin tidka menentu masa depannya.

Kondisi tersebut hampir sama dengan kondisi yang terjadi saat ini di negara Indonesia. Penguasa tanpa mendengar jeritan Rakyat menacabuti subsidi, menaikkan pajak, memunguti pajak dari rakyat secara ugal-ugalan dan berhutang secara ugal-ugalan tanpa perduli dan tanpa mendengar pendapat pihak lain. Jawaban yang selalu muncul adalah jawaban: Kami yang Sedang Berkuasa, tidak berbeda dengan Louis XVI yang merasa dirinya adalah hukum dan merasa dirinya adalah negara. Penguasa hidup bermewah terlihat dari peningkatan anggaran belanja semua pejabat dan peningkatan penghasilan para pejabat kita.

Baca Juga:  Sampaikan Simpati dan Belasungkawa, PPWI Lakukan Courtesy Call ke Kedubes Rusia

Kondisi dan keadaan itu membuat keadaan semakin memanas, dan pada akhirnya Raja Louis XVI beserta istrinya, Marie-Antoinette kabur dari Paris. Situasi tersebut membuat Rakyat berkumpul dan merencanakan penyerbuan terhadap Penjara Bastille. Penjara Bastille adalah tempat penahanan para Aktivis perlawan kepada Louise XVI yang ditangkapi secara semena-mena dan tanpa pengadilan. Mereka dipenjara karena dianggap sebagai ancaman kepada kekuasaan Louise XVI. Hampir sama dengan kondisi yang terjadi sekarang dinegara kita, banyak aktivis yang harus ditangkapi dengan tuduhan macam-macam seperti makar, namun hingga kini tidak satupun yang dibawa ke pengadilan dengan tuduhan makar tersebut. Yang dianggap sebagai ancaman, ditangkap dan di bungkam.

Begitulah pada akhirnya Penjara Bastille yang dianggap sebagai simbol tirani kerajaan itu diserbu dan dihancurkan. Ratusan aktivis dibebaskan dari penjara tersebut sebagai simbol kebebasan bagi Prancis dari penguasa Louise XVI yang memeimpin dengan cara semena-mena dan otoriter. Memang di negara kita belum ada penyerbuan seperti ini, namun mungkin saja itu terjadi jika penguasa terus memerintah semena-mena dan memabawa bangsa kepada kehancuran.

Kemudian pada 21 Januari 1793, Louis XVI dihukum mati dengan cara di pancung. Sembilan bulan kemudian Marie Antoinett menyusul dihukum mati dengan Guillotine pada 16 Oktober 1793. Mereka berdua didakwa dengan tuduhan sebagai pengkhianat.

Baca Juga:  Safari Ramadhan, Pj Bupati Pamekasan Shalat Tarawih Bersama Masyarakat di Kecamatan Tlanakan

Apa yang ingin saya sampaikan dengan mengambil cerita Louis XVI dan menghubungkannya dengan keadaan negara kita saat ini? Tidak lain dan tidak bukan bahwa ini adalah pesan sejarah yang harus dipahami dan dimengerti oleh setiap penguasa, bahwa tidak ada kekuasaan yang abadi, dan kekuasaan yang absolut, otoriter dan semena-mena akan berakhir ditangan perlawanan Rakyat. Demikian juga dengan Jokowi yang saat ini memimpin bangsa, harus mengerti dan memahami sejarah karena sejarah pasti berulang.

Pesan kedua yang ingin Saya sampaikan dalam artikel ini adalah, bahwa saat ini Prancis dipimpin oleh seorang anak muda, Presiden termuda di Dunia, dia adalah Emmanuel Macron, anak muda berusia 39 tahun yang memimpin Prancis dan tampaknya akan membawa Prancis semakin maju dengan kebijakan-kebijakannya.

Generasi kepemimpinan memang sudah saatnya berubah, generasi masa lalu yang turut serta membawa bangsa ini kepada keadaan sekarang sudah sewajarnya angkat koper dan pensiun serta menjadi senior-senior bangsa yang berdasarkan pengalaman hidupnya bisa menjadi penasehat bagi Pemimpin yang muda. Pemimpin yang sudah gagal seperti Jokowi juga sudah selayaknya menerima kenyataan bahwa memang 2019 harus legowo menyerahkan kepemimpinan negara bagi yang mampu, demi bangsa dan negara, itulah pengorbanan.

Sekarang era kepemimpinan yang muda, sudah saatnya bangsa ini dipimpin generasi baru supaya bangsa ini memenuhi takdirnya menjadi bangsa yang besar, bangsa yang kuat dan bangsa yang hebat. Ayo anak muda… kita goncangkan dunia….!!. (Jakarta, 7 Juli 2017)

Editor: Achmad Sulaiman

Related Posts

1 of 14