Budaya / SeniCerpen

Selembar Daun Kering

Selembar Daun kering. (FOTO; Istimewa)
Selembar Daun kering. (FOTO; Istimewa)

Cerpen: Nurul Istiawati*

NUSANTARANEWS.CO – Sepasang mataku terpaku pada deretan lukisan di trotoar jalanan. Aku melihat satu persatu lukisan itu dan mencoba menangkap makna yang terselip di antara goresan warna. Hingga langkahku terhenti tepat di depan kanvas berlukiskan selembar daun kering berwarna coklat kekuningan dengan ranting kecil yang menyangga daun yang hampir gugur. Lukisan itu tak begitu istimewa, warna background-nya yang gelap ditambah cat minyak yang belum kering di sudut bawah kanvas. Tetapi ketika aku tak melepas pandang darinya, lukisan itu seolah menarik jiwaku dan membenamkanku pada perasaan paling sendu.

“Mau beli lukisan ini, Mba?” ujar si pelukis.

Saat itu juga lamunanku buyar lalu segera kuusap air di sudut mataku sebelum ia mengalir ke pipi. Tanpa pikir panjang, aku mengeluarkan sejumlah uang dari dompetku dan membeli lukisan itu.

Hujan selalu tahu kapan ia harus datang dan kapan ia harus pergi. Waktu takkan pernah menukar kedatangan dan kepergian setiap tetes air hujan yang mencipta kenangan. Mataku terus menatap lukisan yang baru saja kubeli yang kemudian sengaja kuletakkan di dinding putih ruang makan. Entah kudapat ide dari mana untuk meletakkan lukisan itu di ruang makan.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Baca Juga:

“Lukisan siapa Key?” tanya Sindi yang sedang membuat coklat panas sedikit mengaketkanku.

“Lukisanku tadi beli Sin” jawabku sambil sesekali menghirup aroma coklat panas yang khas.

“Lukisan daun jelek kok dibeli sih Keara” protes Sindi seperti ingin mengingatkanku untuk berhenti membeli lukisan kualitas kaki lima.

“Itu ‘kan seni Sin” elakku. Yang pasti bukan itu alasanku membelinya. Aku bahkan tak tahu menahu soal seni. Sebab selama tiga tahun ini aku tercatat sebagai mahasiswi akuntansi di universitas ternama Jakarta. Bukan tanpa alasan aku membelinya. Saat aku menatap lukisan itu, seolah-olah aku sedang bercermin. Kurasakan kisah selembar daun kering itu ialah kisahku di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.

***

Lukisan itu selalu membawaku pada kenangan masa kecilku. Masa kecil yang seharusnya indah. Dulu kebanyakan anak usia tujuh tahun sangat senang bermain hujan-hujanan. Tapi tidak denganku, kala itu aku sangat benci hujan di luar rumah. Apalagi hujan di dalam rumahku yang tak pernah membiarkanku tidur dengan tenang; hujan pertengkaran Ayah dan Bunda. Usiaku masih terlalu kecil untuk memahami perceraian di antara mereka.

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

Kata ‘cerai’ yang selalu Bunda lontarkan kepada Ayah adalah PR terberatku waktu itu. Bahkan aku masih belum bisa memahaminya sampai detik terakhir Ayah mengecup keningku dan berlalu pergi dengan wanita lain. Mulai hari itu, Bunda bekerja keras membiayai segala kebutuhanku sehingga ia harus pergi ke luar negeri. Dengan sangat terpaksa Bunda menitipkanku kepada Nenek. Kemudian Nenek membawaku ke Jakarta, menetap di sana.

“Mulai sekarang ini adalah rumahmu” kata Nenek setelah kami pindah ke rumahnya di Jakarta.

Aku hanya tersenyum untuk menjaga perasaan Nenek. Meski sebenarnya aku tak benar-benar merasa bahwa itu adalah ‘rumah’. Bagiku rumah bukan hanya tempat berteduh. Tetapi rumah adalah tempat pulang yang utuh; Ayah dan Bunda.

Aku merasa seperti selembar daun kering yang hampir gugur dalam lukisan itu. Menunggu angin untuk meniupku dan membawaku entah ke mana. Seperti selembar daun kering yang rindu pulang namun angin bahkan badai selalu melemparku ke luar musim.

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

***

Coklat panas yang tersaji di depanku mulai dingin, sedingin hujan di luar yang menyisakan gerimis.

Sementara aku beranjak mengambil cangkir baru dan membuat kopi hitam pekat yang sangat pahit. Sengaja memang. Kopi hitam, pahit, dan pekat seperti hidupku.

“Kamu kenapa, Key?” tanya Sindi.

“Aku rindu pulang ke rumah”

“Kamu itu aneh Key. Ini ‘kan rumahmu, kamu sudah pulang Keara” ucap Sindi tertawa heran, tanpa pernah mengerti arti ‘rumah’ sebenarnya.

Bagaimana bisa tempat ini kusebut rumah? Sedangkan pilar rumah ini telah runtuh bercerai. Entah sampai kapan aku tak bisa merasakan teduhnya rumah yang sesungguhnya. Aku selembar daun kering yang rindu rumah

Selesai

Pemalang, 18 Sept 2018

*Nurul Istiawati, gadis berusia 17 tahun yang berasal dari Pemalang. Tercatat sebagai pelajar di SMKN 1 Randudongkal. Tinggal di Desa Semingkir Rt 07/04 kec. Randudongkal kab. Pemalang 52353.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 3,175