Selamat Pagi Indonesia

Ilustrasi/Nasirun, “Rupawan (rupa one)”, 200 x 300 cm, acrylic on canvas, 2008

Ilustrasi/Nasirun, “Rupawan (rupa one)”, 200 x 300 cm, acrylic on canvas, 2008/Foto via http://lelang-lukisanmaestro.blogspot.co.id

Puisi HM. Nasruddin Anshoriy Ch
SELAMAT PAGI INDONESIA
17 Agustus sudah berlalu
Dan pagi ini salam damai dari desa kukirimkan padamu

Kemerdekaan tak bisa dirayakan hanya dengan upacara dan kata-kata
Apalagi dengan rasa nyinyir dan matirasa pada denyut kehidupan

Perjuangan tak mungkin membangkitkan perlawanan pada keserakahan
Sebab perjuangam adalah perlawanan terhadap penindasan dan kepongahan

Dulu kita berseteru melawan penjajah dengan runcing bambu
Agar tanah air dikangkangi oleh penjajah dan harga diri tak dipecundangi

Begitulah cara Pangeran Diponegoro mengucap takdirnya di atas pelana kuda
Mengacungkan keris pada Kumpeni yang bertindak culas dan mengumbar durjana

Kemerdekaan tak hanya lawan kata dari belenggu dan kekejaman
Sebab engkau pasti tahu betapa jahatnya kekuasaan yang buta-tuli pada keadilan
Keluasaan yang melecehkan ketuhanan dan daulat manusia yang bertabur kasih-sayang

Singgasana yang berpagar ketamakan dan berpilar kerakusan
Telah dilawan oleh Multatuli di Lebak Selatan

Selamat pagi Indonesia
Setiap jiwa merindukan cahaya agar kegelapan tak menyelimutinya
Jiwa-jiwa merdeka hanya bersemayam dalam sinar keabadian

Belajar pada Perang Jawa yang menggelora
Berguru pada Diponegoro yang mewakafkan jiwa-raganya dengan busana kain kafan
Walau ribuan peluru berdesing di telinga dan rantai tipu-daya Kumpeni menjerat lehernya
Ia terus berlaga bagi kemerdekaan bangsanya

Semua yang abadi tak akan sirna walau fatamorgana berdiri gagah di pelupuk mata
Dan kuda Sang Pangeran terus menerjang kepungan debu dan desing peluru

Jarak antara rindu dan debu begitu dekat
Dan takdir pun tak sanggup memaksa dan membuat aku harus takut mencintaimu
Begitulah bisik Tjut Nyak Din di telingaku

Itulah yang selalu kurindukan dalam keabadian yang terang
Ucap Kartini di bumi Rembang

17 Agustus sudah berlalu
Dan pada pekat malam ini rasa bimbang kuterjang
Aku mengamuk melawan remuk dan kantuk

Sebab kemerdekaan terasa berdiri pada serpihan paku, kaca dan kawat berduri
Sebab korupsi dan narkoba telah mengganyang sisa-sisa negeriku yang selalu dirundung nestapa

Saat hari ini tak ada lagi yang peduli
Saat Proklamasi dan Pancasila hanya meriah dalam kata-kata
Hanya sunyi yang setia menuruti kata hati

Hati yang kelu menderu-deru seakan belenggu yang memburu jerit batinku

Beradu rindu dengan waktu yang bisu

Di ketiak senjakala
Ternyata kemerdekaan hanya menunggu
Suara senyap dalam satu desah nafas
Saat aku dan kau terjerat dalam jaring laba-laba dan rimba fatamorgana
Pada satu jalan pulang menuju ajal Sang Waktu

(Renungan September 2017)

Baca puisi-puisi HM. Nasruddin Anshoriy Ch di rubrik Puisi (Indonesia Mutakhir).

*HM. Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dll. (Selengkapnya)

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.

Exit mobile version