Terbaru

Seks dan Orgasme Spiritual Bagi Sastrawan Besar WS Rendra (Bag. II)

NUSANTARANEWS.CO – Dalam bab kenikmatan seks, Rendra mengaku tidak mau terjajah oleh kenikmatan, rasa nyandu dan rasa nagih. Sebab dirinya lebih mencintai kemerdekaan. Rendra pun merasa harus terbebas dari yang namanya candu dan nagih itu. Hal itu persis dengan apa yang dinyatakan oleh Vatsyayana dalam Kamasutra pada bagian sebelumnya.

Menariknya, Rendra sama sekali tidak percaya terhadap ilmu seks atau tips-tips tentang berhubungan intim. Sebab, menurut dia, ilmu seks itu hanya dibikin-bikin.

“Seks itu menyangkut vitalitas. Daya hidup. Nah, inilah yang diolah. Jadi, saya tidak percaya kepada ilmu seks, apalagi yang berasal dari Barat,” ungkapnya.

Rendra menerangkan, Ilmu kedokteran Barat itu masih sangat muda usianya. Para dokter-dokternya pun, kata dia, hanya sedikit pengetahuannya tentang kelentit. Sampai tahun 1965-an itu masuh banyak gadis-gadis Barat yang kelentitnya berwarna ungu dan sakit kalau disentuh.

“Dan tidak pernah menjadi sumber kenikmatan seksual, karena kencing tidak pernah cebok. Ilmu mereka nggak sampai ke situ. Di Zamannya hippies itu, banyak yang menderita Raja Singa, tanpa tahu penyakit apa yang diidapnya itu,” imbuhnya.

Baca Juga:  Ar-Raudah sebagai Mercusuar TB Simatupang

Dalam hal ini, sambung Rendra, kebudayaan Timur lebih paham. “Mereka mengerti soal jalan darah, seksual organ dan pentingnya orgasme. Dunia Timur lebih paham karena subyektifitas menghayati persetubuhan dan kenikmatan rohaniah dalam persetubuhan. Itulah yang terdapat dalam Kamasutra,itulah yang terdapat di Perfumed Garden. Ilmu senggama Timuritu kan bagaimana memberikan orgasme kepada wanita, kalau perlu lebih dari satu kali. Itu yang tidak ada di Barat. Mereka tidak menganggap penting orgasme pada wanita. Jadi secara spiritual, seksualitas itu seakan-akan ditolak oleh peradaban Barat-Kristen itu,” papar Rendra.

Tak hanya itu, Rendra pun tidak percaya kepada yag namanya obat-obat penguat seks. Bahkan, pesan Rendra, obat-obatan itu mesti diwaspadai. Apalagi obat perangsang dan obat penenang. “Itu racun,” tegasnya.

“Kadang-kadang kita memang perlu racun untuk mengimbangi, seperti nikotin dan kopi. Asal jangan berlebihan. Tapi kan, syaraf kita bisa kita tenangkan dan kita rangsang dengan gagasan kita. Untuk itu syaraf kita harus dilatih dan harus dikendalikan. Kultur syaraf itu harus dilatih,” lanjutnya tegas.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Serahkan Bantuan Bagi Imam, Marbot, Guru Ngaji, dan Rumah Ibadah

Dalam konteks kultur Syaraf, Rendra mengumpamakannya selaik orang wudhu. Bagi Rendra, berwudhu itu dapat membangkitkan kesadaran syaraf. “Orang yang sedang marah, misalnya, nggak ada jeleknya kalau di aberwudhu,” cetus Rendra.

Saking menjurnya berwudhu, lanjut Rendra, menirukan gerakan orang berwudhu saja, syaraf pun bisa segar.”Syaraf itu kan ada syaraf merdeka, yaitu syaraf yang tidak bisa kita kendalikan, seperti jantung, paru-laru. Ada lagi syaraf yang tidak merdeka, yang bisa dikendalikan,” jelas Rendra.

Pengendalian syaraf, tegas Rendra dalam menhimpun energi hidup. Energi yang tiada habis-habisnya. Adalh, kata dia, melepaskannya dengan totalitas, dengan mesejatian.

“Jadi, salah kalau kita memikirkab agaimana menghimpun kembali energi itu. Ia akan menghimpun sendiri, asal, ya itu, melepaskannya dengan totalitas,” tukasnya.

Perihal seks, seksualitas, orgasme spiritual, dan barangkali tentang pengalama seksual pemuka teater modern di Indonesia ini, sebagain tersurat dan tersirat dalam sejumlah puisi-puisi yang ditulisnya. Sebut salah satu diantaranya ialah puisi yang berjudul “Rick dari Corona”, “Kepada MG”, “Nyanyian Duniawi”, “Perempuan yang Cemburu”, dll.

Baca Juga:  Direktur Guetilang Jadi Pembicara Program Sosialisasi BP2MI di Indramayu

Penulis: Riskiana
Editor: Achmad S.

 

Related Posts

1 of 3