NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Komisi Yudisial akan memeriksa Majelis Hakim yang menyidangkan perkara e-KTP (Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik). Hal tersebut lantaran hilangnya sejumlah nama besar yang menikmati aliran dana e-KTP.
Baca Juga: Sejumlah Nama Besar Hilang dalam Putusan Hakim, Ini Kata Jaksa KPK
Jubir KY, Farid Wajdi mengatakan seluruh materi dalam persidangan perkara dimanapun pada dasarnya merupakan otoritas hakim untuk dapat memeriksa, mengadili, dan memutusnya.
“Namun begitu, kewenangan tersebut tidak lantas menjadikan Hakim untuk memposisikan independensi sebagai bunker untuk berlindung, sekaligus tidak membuatnya menjadi kedap atau buta terhadal rasa keadilan di masyarakat,” tutur Farid melalui pesan singkat, di Jakarta, Selasa, (15/8/2017).
Menurut Farid setiap kasus memiliki komdisi masing-masing, tidak bisa disamakan persis satu dengan yang lainnya. Karenanya ia mengimbau kepada siapa pun yang mencermati kasus tersebut untuk menggunakan jalur yamg tersedia melalui upaya hukum.
“Proporsionallah dalam memandang hasil putusan pengadilan, tidak terlalu prejudice terhadap majelis, namun tetap waspada jika terhadap pelanggaran kode etik.Jika sudah etika yang dilanggar, maka sudah menjadi kewajiban kami untuk turun tangan,” katanya.
Diketahui, Majelis Hakim yang menyidangkan kasus e-KTP diantaranya, John Halasan Butarbutar sebagai Ketua, Franky Tambuwun, Emilia, Anwar dan Anshori Syaifuddin sebagai anggota. Ditanya lebih jauh apakah ada indikasi dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh mereka?
“KY masih mengkaji terhadap kemungkinan ada atau tidaknya dugaan pelanggaran kode etik dalam proses pengambilan putusan,” ucapnya.
Ia menjelaskan dalam melakukan pengkajian, yang dilihat adalah bagaimana proses pengambilan putusan hakim tersebut. Apakah terjadi penerimaan sesuatu atau tindakan-tindakan lain yang dapat mempengaruhi isi dan putusan pertimbangan.
“Jadi tidak terkait substansi atau pertimbangan putusan,” katanya.
Farid menambahkan sampai saat ini tim KY masih mendalami proses yang dimaksud. Proses ini dilakukan karena sebagai bagian dari proses pemantauan kasus tersebut sejak awal persidangan.
“Terlebih kasus ini cukup menarik perhatian publik,” pungkasnya.
Baca Juga: Sejumlah Nama Besar Hilang, KPK Ajukan Banding atas Vonis e-KTP
Sebagai informasi, sejumlah nama-nama besar dari daftar penerimaan uang bancakan proyek pengadaan e-KTP hilang dan tidak masuk dalam vonis hakim.
Mereka yang dimaksud diantaranya, Annas Urbaningrum sejumlah US$ 5,5 juta, Melcias Markus Mekeng sejumlah US$ 1,4 juta, Olly Dondokambey sejumlah US$ 1,2 juta, Tamsil Lindrung sejumlah US$ 700 ribu, Mirwan Amir sejumlah US$ 1,2 juta, Arief Wibowo sejumlah US$ 108 ribu, Chaeruman Harahap sejumlah US$ 584 ribu dan Rp 26 miliar, Ganjar Pranowo sejumlah US$ 520 ribu, Agun Gunandjar Sudarsa, selaku anggota Komisi II dan Banggar DPR RI sejumlah US$ 1,047 juta, Mustoko Weni sejumlah US$ 408 ribu, Ignatius Mulyono sejumlah US$ 258 ribu, Taufik Effendi sejumlah US$ 103 ribu, Teguh Djuwarno sejumlah US$ 167 ribu, Rindoko, Nu’man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz dan Jazuli Juwaini selaku Kapoksi Pada Komisi II DPR masing-masing sejumlah US$ 37 ribu, Yasona Laoly sejumlah US$ 84 ribu, Khatibul Umam Wiranu sejumlah US$ 400 ribu, M. Jafar Hafsah sejumlah US$ 100 ribu, dan Marzuki Ali sejumlah Rp 20 miliar.
Sedangkan dalam vonis terhadap dua mantan Pejabat Ditjen Dukcapil Kemendagri Irman dan Sugiharto, hanya ada tiga nama anggota DPR RI yang turut menerima uang haram proyek yang dikorupsi hingga Rp 2,3 triliun. Mereka adalah politikus Hanura Miryam S Haryani sejumlah USD 1,2 juta, politikus Partai Golkar Markus Nari sejumlah USD 400 ribu dan Rp 4 miliar, serta politisi Partai Golkar Ade Komarudin sebesar USD 100 ribu. Adapun terkait hal tersebut, KPK telah mengajukan banding.
Simak berita-berita lainnya terkait OTT KPK dan Kasus Korupsi hasil liputan wartawan nusantaranews.co, Restu Fadilah disini.
Pewarta: Restu Fadilah
Editor: Ach. Sulaiman