Sosok

Sejarah Pemikiran Dr. Ir. Suwido Hester Limin, M.S

Suwido Limin
Railway along the Sabangau Catchment to the National Laboratory of CIMTROP, 3-1997
Viktor, Sulmin Susan, Jack and Suwido/via kalteng.org/nusnataranews.co

NUSANTARANEWS.CO – Enam puluh satu tahun yang lalu, tepatnya 24 Mei 1955, lahir bayi laki-laki di Daerah Aliran Sungai Kahayan Desa Bawan, Kabupaten Pulang Pisau (dulu masih Kabupaten Kapuas), Kalimantan tengah. Bayi itu diberi nama Suwido Limin yang kelak namanya dikenal oleh dunia.

Sewaktu kecil Suwido senang ikut ayahnya ke hutan. Padahal ayah itu seorang guru yang tak mampu mengasapi dapur keluarga mereka. Karenanya Suwido kecil pun kerap ikut ke hutan membantu sang ayah menebang hutan untuk berbagai keperluan. Kendati masih kecil, ia tahu untuk menebang pohon tan sembarangan. Tetapi diperhatikan, diteliti, dicari petunjuknya dulu, bahwa menunggu mimpi atau memberi sesaji sebelum akhirnya menebang. Khusus untuk pohon yang dianggap keramat tak dapat dilewati dengan sembarangan pula.

Baca Juga: Obituari: Kiprah Alm. Suwido Limin Pejuang Lahan Gambut Kelas Dunia

Peta Perjuangan Suwido

Suwido Limin mendapat gelar S1 sampai S3 nya dari Banjarmasin sampai Hokkaido. Tahun 1982 ia berhasil menyelesaikan pendidikan S1 di Agronomi Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Kemudian pada tahun 1992, lulus Pasca sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) jurusan Agronomi. Lima belas tahun kemudian, tahun 2007 ia sukes menggapai gelar doktor manajemen lahan gambut di Universitas Hokkaido, Jepang. Kabarnya, di Jepang, ia juga sempat kuliah S2.

Disertasinya yang membahas mengenai “Pengelolaan dan Penyelamatan Gambut Tropikal”, ternyata memberikan banyak perubahan terhadap diri dan lingkungannya. Hal ini ia rasakan tatkala menyimak secara saksama kondisi kekinian di kampung kelahirannya, Kalimantan. Pantaslah dirinya mendapat semua gelar yang dilekatkan pada namanya ini Dr. Ir. Suwido Hester Limin, M.S.

Gelar yang disandangnya tidaklah begitu berarti dibanding dengan pengabdian dan perjuangannya terhadap lingkungan hijau, lahan gambut, dan masyarakat khususnya. Dimana ia juga mendedikasiakn dirinya jadi pendidik yaitu sebagai dosen di Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya sejak 1982. Artinya Suwido terhitung  cerdas dan mumpuni di bidangnya waktu itu, terbukti dirahnya gelar sarjana di ULM Banjarmasin langsung disambut oleh Universitas Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Selain sebagai dosen, ia juga seorang pemerhati lingkungan dan pakar gambut Indonesia kelas dunia. Namanya terkenal di kancah dunia karena ide-ide segarnya di bidang perbaikan dan pelestarian lingkungan. Ide tersebut dijelmakan ke dalam aksi akademis yakni peneltian dan kerja keras menyelamatkan gambut di tanah kelahirannya.

Debut pertanya bermula dari penelitian gambut demi memenuhi bidang studinya pada tahun 1988. Selanjutnya pada tahun 1993 ia melakukan kerja sama dengan peneliti asing. Ia pun ditugasi oleh Rektor Universitas Palangka Raya Amris Makmur, berkaitan dengan rencana kerja sama penelitian gambut dengan Jack Rieley (Universitas Nottingham, Inggris) dan Bambang Setiadi (BPPT). Kerja sama ini disebut Kalimantan Peat Swamp Forest Research Project (KPSFRP), yang kemudian menjadi Center for International Cooperation in Sustainable Management of Tropical Peatland (Cimtrop). Dimana dia sempat menjadi direkturnya.

Dedikasi Suwido benar-benar diperhitungkan oleh bangsa Indonesia dan dunia. Lantaran dirinya memiliki andil besar dalam memotori berdirinya Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Universitas Palangka Raya di Kereng Bangkirai, Sabangau. Pada tahun 1993 ia berhasil memanfaatkan lahan seluas 50.000 hektare menjadi satu-satunya laboratorium alam untuk penelitian gambut tropis di Indonesia. Di sini pula ditemukan gambut berusia 9.600 tahun dengan ketebalan mencapai 17,3 meter.

Ide dan Langkah Besar Suwido

Sebagai pecinta gambut, Suwido tidak sekedar mengajukan ide atau gagasan. Tetapi ia merealisasikannya dengan tindakan nyata. Salah satunya dengan dibentuknya Tim Serbu Api untuk mengatasi kebakaran lahan dengan desain dam model “V” pada kanal lebar di gambut 2004-2006. Dam ini berguna menjaga ketersediaan air di gambut tropis, yang saat kemarau biasanya surut karena airnya mengalir lewat kanal.

Tim Serbu Api sampai sekarang masih diterakpakan. Tim ini dibentuk oleh Suwido tahun 1997 sewaktu terjadi kebakaran lahan akibat El Nino. Saat itu petugas hanya menyiram api dari pinggir jalan, lalu pulang. Baginya para petugas semaca itu kurang efektif sebab warga juga tak bisa ikut serta. Akhirnya dengan anggota 30 orang Tim Serbu Api pun beraksi. Suwido baru membina timnya secara intensif pada tahun 2005. Mere diberi jaminan karena tak mungkin ada gaji dari pemerintah.

Adapun konsep yang dijalankan Tim Serbu Api adalah Program Kana (Kalteng Nantilang Asep) yang berarti Kalimantan Tengah Mencegah Asap dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat lokal/sekitar untuk mencegah dan memadamkan kebakaran hutan dan lahan. Program tersebut diyakini sangat efisien, efektif, dan murah karena tindakan dapat dilakukan secara cepat, tepat, dan sedini mungkin dapat dilakukan sebelum bencana kebakaran terjadi.

Melengkapi hal tersebut, ia juga menggagas langkah reboisasi lahan dengan sistem beli tanaman tumbuh yang disampaikan dalam pertemuan bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Finlandia di Bali tahun 2008. Gagasan besar Suwindo itu pun disambut oleh banyak kalangan peneliti gambut, utamanya para peserta simposium internasional yaitu Singapura, Malaysia, Jepang, Finlandia, Jerman, Belgia, Australia, dan bahkan Amerika Serikat yang mendengar presentasi dari Suwido.

Dalam sistem itu, warga menanam pohon dan pemerintah memberi modal. Pemerintah membeli setiap tanaman hidup itu. Dengan begitu, persentase tanaman yang bertahan hidup di tanah reboisasi lebih besar karena warga memeliharanya. Alhasil, dengan adanya uji coba tahun 2005, persentase tanaman yang tumbuh hingga setahun mencapai 80 persen. Adapun biaya sistem beli tanaman tumbuh itu sebesar Rp 15 juta per hektar setahun.

Suwido sangat sensitif dengan gambut, pelestarian alam, dan masa depan hutan. Siapapun yang mencoba dan bahkan berencana melakukan pengrusakan alam, tak gentar ia untuk melawannya. Sekelas Presiden Joko Widodo pun berani ia tentang. Penentangan itu dilakukan karena ide Presiden Joko Widodo untuk membuat kanal sebagai solusi kebakaran lahan pada tahun 2015 dianggap aneh oleh Suwido.

Selaku pakar gambut yang berstatus Kepala UPT CIMTROP Universitas Palangka Raya (Unpar), Suwido menilai sikap Jokowi tidak konsisten terkait idenya tersebut. Di mana Jokowi pernah memerintahkah penutupan kanal di Riau, malah di Kalimantan membuat perintah membuat kanal. Padahal bagi Suwido, struktur tanah antara Riau dan Kalimantan Tengah sama saja, yaitu bergambut. Pembukaan kanal menurut Suwido hanya akan mengeringkan hamparan tanah dan merusak ekositem gambut. Dampaknya akan mengakibatkan kebakaran karena lapisan gambut mengalami kekeringan.

Kepada pemerintahan Jokowi, Suwido mengusulkan pembuatan sumur bor dengan kedalaman 25-30 meter. Selain biayanya ringan juga dapat dibuat di lokasi yang mengandung titik api hingga mampu menjangkau 200-300 meter. Aumsinya, sumur bor tersebut mampu menyediakan air secara nonstop. Jika pemerintah tetap menjalankan rencana Jokowi, berarti pemerintah bukannya membantu pemadaman kebakaran lahan malah sebaliknya yang tak lain adalah menambah kerawanan kebakarawanan.

Bagi Suwido semuanya harus ilmiah dan komprehensif supaya tidak asal buat rencana. Suwido dengan CIMTROP telah mengkoordinir para peneliti gambut dari luar dan dalam negeri dan semua sepakat untuk menutup kanal-kanal yang ada di PLG. Dengan tujuan supaya ekosistem gambut pulih kembali tentunya dengan kerja keras dan waktu yang cukup panjang.

Kritik Suwido

Kebakaran hutan bagi Suwido bukan peristiwa alamiah melainkan ulah manusia. Hal ini searah dengan pemikirannya tentang gambut. Menurut Suwido, masalah gambut menjadi semakin pelik ketika manusia masuk ke dalamnya. Kebakaran lahan pun muncul menambah daftar persoalan. Dimana setiap terjadi kebakaran rata-rata 20-30 cm lapisan gambut juga ikut musnah.

Suwindo juga menyebutkan bahwa salah satu kekeliruan memperlakukan gambut terjadi pada masa Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar. Hal tersebut berpengaruh hebat terhadap hidrologi gambut. Apalagi adanya kanal-kanal panjang yang membuat permukaan lahan gambut menjadi kering dan mudah terbakar. Padahal, gambut memiliki sifat mengikat air. Bandingkan saja dengan gambut di Sebangau yang belum dimasuki manusia dan belum dibangun kanal, walaupun mengalami kemarau panjang rasanya aman dari kebakaran.

Tahun 2014 lalu, Suwido selaku Wakil Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah menyatakan bahwa kekuasaan yang menyampingkan Adat akan berdampak terhadap kehancuran hutan. Seperti adanya REDD+ itu, ia hanya akan menimbulkan konflik secara vertikal dan horizontal. Padahal nilai ekonomisnya sama sekali tidak ada.

Pesan Suwido

Sebelum Dr. Ir. Suwido Hester Limin, M.S. meninggal dunia 6 Juni 2016 lalu karena penyakit kanker paru dan kelenjar getah bening, ia mewariskan pesan-pesan luhur kepada bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Kalimantan Tengah. Inilah beberapa pesan-pesan almarhum semasa hidup:

“Jangan tergiur oleh iming-iming bantuan uang, tetapi menjual harga diri kita sebagai orang Dayak”.

“Jangan ada lagi masker di tahun 2016”

“Lahan gambut sebaiknya dibiarkan apa adanya, sebab untuk mengolah biayanya mahal. Selain itu, cegahlah upaya eksploitasi dan segera lakukan restorasi terhadap lahan gambut yang rusak”

Selain itu, almarhum juga belum menuntaskan cita-cita untuk merampungkan buku yang sedang digarapnya yaitu “Perladangan Berpindah Suku Dayak, Kalimantan Tengah”. Apapun yang terjadi kini, namanya abadi di dalam jiwa para pecinta alam hijau, hutan, gambut, dan ekosistem di dalamnya. Selamat jalan pejuang Utus Dayak, selamat jalan sang pejuang gambut kelas dunia, selamat jalan putra terbaik Kalimantan Tengah. Namamu Abadi! (Selendang Sulaiman)

Related Posts

1 of 7