Esai

Sedih atau Bahagia, Apa Makna di Balik Tangisan Hewan Kurban?

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Di hari Raya Idul Adha banyak sekali hewan ternak yang akan dikurbankan. Umat Islam meyakininya sebagai warisan Nabi Ibrahim AS. Kepada Ibrahim, Tuhan mengajarkan kesediaannya untuk berkurban. Kemudian ajaran itu diabadikan lewat Nabi-Nabi yang datang kemudian.

Setiap mahluk hidup yang tunduk kepada Tuhannya tentu bahagia bersama dan suka hati menjalani perintah-Nya. Termasuk hewan-hewan ternak tersebut. Namun, apakah setiap hewan kurban bersuka cita kala pengorbanan itu tiba?

Di masa kecil, hati sering dipenuhi oleh kisah-kisah indah yang menceritakan berkenaan hewan-hewan yang suka jika dipilih untuk menjadi kurban para umat. Meskipun mereka nantinya akan mati, tetapi kematiannya bisa membuat Tuhan senang dan akhirnya hewan kurban itu jadi disayang Tuhan.

Setelah dewasa, sudut pandang mulai berubah, panca indera merasakan adanya hewan yang meneteskan air mata kala dia terpilih menjadi kurban. Semakin tua, makin banyak cerita berkenaan hewan-hewan yang menangis itu. Timbul pertanyaan di dalam hati, “Apakah hewan-hewan di jaman ini telah enggan untuk diajak lebih dekat bersama Tuhan?”

Cukup lama membayangkan sebuah jawaban. Kemudian aku teringat akan kisah-kisah masa kecil dulu. Sewaktu kecil, aku adalah penggembala domba, dan aku biasa berbicara bersama domba dan kambing. Kali ini aku mencoba untuk seolah berdiskusi dengan mereka. “Wahai domba-dombaku, mengapa saat ini kalian enggan menjadi hewan kurban?”

Domba-domba itu terperanjat, selanjutnya menjawab; “Embeeeekk….” bunyinya.

“Kok gitu sih jawabnya?” balas saya. Lalu mereka berkata: “Mbeeekk, eeeeeemmbbeeeeek….”

Anda yang tidak paham bahasa para domba dan kambing tidak akan mengerti jelas akan isi dialog kami. Tapi akhirnya aku paham mengapa banyak hewan kurban yang menangis di hari raya Idul Adha.

Para domba itu bilang, mereka menangis karena banyak sekali orang yang berkurban bukan untuk mecari karunia Tuhan dan pahalaNya. Melainkan hanya mengidamkan pujian dari sesama.

Parah dan anehnya, penerima daging kurban tidak tepat sasaran. Orang kaya lebih banyak mendapat daging dan mendapat bagian spesial dari hewan itu, dibandingkan orang miskin yang hanya mendapat sedikit daging, itupun dicampur lemak dan jeroan.

Pantas saja, para domba dan sesama hewan kurban lainnya sedih sekali melihat tingkah laku para manusia. Mereka mengira bahwa kurbannya itu bakal diterima Tuhan dan dianggap sebagai suatu amalan. Padahal bersama niatnya yang tidak lurus lagi.

Diantara manusia yang bersedia untuk kurban kebanyakan dengan alasan ‘tidak enak’ sama tetangganya. “Orang mampu kok tidak berkurban, apa kata dunia?” Selain itu banyak pula manusia yang berkurban hanya untuk pameran. “Lihat nih, hewan kurban gue yang paling gede!”

Kini Ibadah telah beralih menjadi hanyalah ritual yang hampa bakal makna. Wajar jika para hewan kurban itu sedih karena pengorbanannya tidak lagi punya nilai spiritual seperti halnya yang diajarkan Tuhan kepada Ibrahim.

Domba-dombaku itu juga bercerita bahwa betapa banyaknya manusia yang mengira bahwa kurbannya bakal diterima oleh Tuhan. Padahal, Tuhan telah berfirman bahwa tidak sedikitpun anggota dari hewan kurban itu bakal sampai kepada-Nya. Tidak dagingnya. Tidak darahnya. Bahkan tidak sama sekali pula sehelai bulunya.

Domba-dombaku juga menjelaskan betapa sedihnya mereka melihat tingkah polah manusia yang telah kehilangan esensi dari kurbannya. Mereka cuma melihat jasad kasar hewan-hewan yang dikurbankan.

Padahal pada hakekatnya, makna dari kurban adalah melampaui batasan-batasan kasat mata belaka. Karena hakekat kurban adalah prinsip untuk menyembelih nafsu kebinatangan yang tetap berkeliaran di dalam diri manusia.

Binatang terlihat tidak malu membuka aurat didepan umum. Manusia sudah berkurban, tetapi malah berbangga hati memperlihatkan aurat-aurat kita. Binatang juga tak segan untuk merebut makanan milik teman. Manusia berkurban, tetapi masih berani merampas harta benda yang bukan hak kita.

Binatang tidak sungkan untuk mengumbar syahwat di mana saja dan bersama siapapun. Manusia sudah berkurban, tetapi tidak lagi menghiraukan siapa yang muhrim dan siapa yang haram untuk menjalin keintiman.

Prinsip binatang, siapa yang paling kuat fisiknya, dialah yang menjadi rajanya. Manusia sudah berkurban, tetapi tetap senang menerapkan hukum rimba dam akhirnya akal dan nurani tidak lagi bermanfaat sebagaimana mestinya.

Domba-dombaku bercerita, betapa sedihnya mereka lihat tingkah polah manusia yang sudah berkurban tetapi senantiasa melepaskan hidup sifat-sifat kebinatangan di dalam dirinya.

Sehingga di hari raya Idul Adha, banyak umat yang kehilangan arti dari kurbannya. Diakhir pertemuan itu sebelum disembelih domba-domba itu berpesan, “Jika engkau berkurban, maka luruskanlah niatmu cuma untuk Tuhanmu. Dan sembelihlah nafsu-nafsu kebinatangan di dalam dirimu. Maka aku bakal bersuka cita untuk menjadi simbol kurbanmu”.

Sesaat sebelum disembelih, domba itu nampak meneteskan air mata. Merasa aneh, kemudian aku bertanya;”Mengapa kau menangis lagi? Apa kau melihat aku belum meluruskan niatku?” Dia menjawab; “Eemmbbeeeekk… Sekarang aku menangis oleh rasa syukurku, karena Tuhan telah memilihku menjadi hewan kurbanmu….”

Penulis: Ricard Andhika

Related Posts

1 of 6